Mudik Lebaran dan Pemilu
Lebaran dan pemilu menjadi momentum pergerakan orang bermigrasi ke kampung halaman. Jika Lebaran didorong untuk bersilahturahmi, saat pemilu, menggunakan hak pilih di daerah asal juga menjadi daya tarik tersendiri.
Tradisi mudik sebenarnya bukan monopoli terjadi saat momentum Lebaran. Fenomena mudik ke kampung halaman juga bisa terjadi ketika masa pemilihan umum digelar. Tak jarang fenomena mudik pun jadi ajang para peserta pemilu untuk menarik simpati pemilih.
Jika mengacu peraturan Komisi Pemilihan Umum, pemilih yang menggunakan hak pilihnya di luar tempat pemungutan suara yang ditetapkan, ia harus mengurus administrasi terkait pindah memilih. Sesuai aturannya, proses administrasi pindah tempat memilih itu hanya bisa dilakukan selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
Pemilih yang ingin pindah tempat memilih harus melalui proses administrasi yang perlu dilakukan yang diawali dengan menginformasikan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau KPU kabupaten atau kota asal atau tujuan.
Muncul fenomena mudik pemilu, pulang kampung yang didorong kepentingan untuk mencoblos saat pemilu.
Setelah itu, data pemilih tersebut dihapus dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) awalnya. Saat proses ini selesai, calon pemilih akan mendapatkan formulir A5. Formulir A5 ini digunakan sebagai bukti pemilih telah pindah memilih. Formulir A5 bisa didapatkan pemilih dengan menunjukkan e-KTP maupun identitas lainnya.
Nah, tak jarang informasi soal pindah memilih ini tidak banyak dipahami atau kalaupun memahami, pemilih cenderung tidak melakukannya. Ada yang kemudian tidak menggunakan hak pilihnya, namun tak jarang ada yang memilih untuk tetap menggunakan hak pilihnya di daerah asal kampung halamannya.
Di titik inilah kemudian muncul fenomena mudik pemilu, pulang kampung yang didorong kepentingan untuk mencoblos saat pemilu.
Tidak heran jika kemudian fenomena mudik di Indonesia tidak hanya terkait mudik Lebaran, namun juga mudik yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum.
Jika mengacu rekam jejak pelaksanaan pemilu dan Lebaran, memang terlihat pengaturan jadwal pemilu selalu dihindari untuk berdekatan dengan momentum Lebaran. Kalaupun berdekatan, pelaksanaan pemilu umumnya dilakukan setelah Lebaran.
Pengaturan jadwal pemilu selalu dihindari untuk berdekatan dengan momentum Lebaran.
Pemilu 1955, misalnya, digelar di akhir tahun, yakni di bulan September atau tiga bulan setelah Lebaran. Sebaliknya, Pemilu 1971 dan 1977 digelar lebih dulu sebelum Lebaran atau selisih 4-5 bulan. Sementara di Pemilu 1982 dan 1987 jarak antara pemilu dan Lebaran relatif dekat, yakni 1-3 bulan sebelum Lebaran.
Fenomena menarik justru terjadi di Pemilu 1992 dan Pemilu 1997. Di Pemilu 1992, memang digelar dua bulan setelah Lebaran Idul Fitri.
Namun, jadwal ini tentu sedikit berdekatan dengan Lebaran Idul Adha yang umumnya berjarak kurang lebih dua smapai tiga bulan setelah Idul Fitri. Maka, tak heran jika kemudian fenomena mudik pemilu di 1992 ini relatif menonjol karena berdekatan dengan momentum Lebaran Haji tersebut.
Dalam penelurusan pemberitaan di Kompas, fenomena mudik di Pemilu 1992 ini tampak menguat. Dalam laporan Kompas 8 Juni 1992 tampak belasan ribu penumpang memadati Terminal Bus Antarkota Pulogadung. Lautan manusia yang memenuhi terminal Pulogadung itu tidak terlihat berkurang, kendati sudah lebih dari 50 bus cadangan diperbantukan.
Jika mengacu agenda libur nasional tahun 1992, Idul Adha bertepatan dengan tanggal 11 Juni 1992 atau dua hari setelah hari pemungutan suara, yakni 9 Juni 1992. Artinya, lonjakan arus penumpang ini tidak lepas dari jadwal pemungutan suara pemilu yang jatuh berdekatan dengan perayaan Idul Adha.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Pemilu 1997. Jika mengacu jadwal pemungutan suara, pemilu dilakukan pada 29 Mei 1997 atau 2-3 bulan setelah Lebaran Idul Fitri.
Namun, ada kecenderungan pemilih tetap menggunakan hak pilihnya di kampung halaman. Hal ini terekam dari menuruunya jumlah pemudik Idul Fitri saat itu. Salah satu yang dilihat sebagai faktor adalah masyarakat menunda mudik karena sekalian mudik saat pemilu.
Fenomena ini salah satunya terjadi pada komunitas pemudik dari Wonogiri, Jawa Tengah. Hal ini seperti yang pernah dilaporkan Kompas dimana jumlah pemudik ke Wonogiri saat Lebaran tahun 1992 menurun 20 persen karena sebagian akan mudik pada pemilu. Mereka tidak pulang saat Lebaran untuk menghemat biaya. (Kompas 13/2/1997).
Baca juga : Pemudik, Cerminan Fenomena Migrasi Indonesia
Mudik politik
Fenomena mudik, baik Lebaran maupun mudik pemilu, terutama jika kedua momentum tersebut berdekatan, tak jarang juga melahirkan strategi-strategi politik, terutama bagi elite maupun partai politik yang memanfaatkan momentum ini untuk mendekati pemilih. Salah satunya melalui ajang mudik gratis.
Di Pemilu 2004, misalnya, dalam laporan Kompas disebutkan ratusan warga asal Indramayu, Cirebon, dan Kuningan, Jawa Bawat, mengikuti mudik gratis ke kampung halaman mereka dengan mancarter 12 bus. Mudik ini berdekatan dengan pelaksanaan pemilihan presiden yang digelar 5 Juli 2004 (Kompas 5/7/2004).
Hal ini tidak lepas dari mmomentum pemilihan presiden secara langsung yang baru pertama kali digelar. Berdasarkan Data KPU, pemilihan presiden langsung di putaran pertama yang digelar 5 Juli 2004 tersebut tercatat memiliki tingkat partisipasi pemilih tertinggi dibandingkan pemilihan presiden berikutnya, yakni sebesar 78,23 persen.
Fenomena yang kurang lebih sama juga digelar oleh PDI Perjuangan dengan mengadakan mudik gratis Lebaran khusus bagi warga atau pemilih PDI-P.
Saat itu kegiatan ini memecahkan rekor Muri sebagai mudik terbesar di Indonesia pada 2008 yang melibatkan 425 bus dan mengangkut sekitar 23.000 pemudik jurusan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gelaran ini juga tidak lepas sebagai “pemanasan” kampanye jelang pemungutan suara pemilu legislatif yang digelar pada 9 April 2009.
Sejumlah tokoh memanfaatkan momentum mudik untuk “cek ombak” sekaligus mendekati calon pemilih.
Kini, potret serupa juga terjadi dengan fenomena mudik gratis yang “disponsori” oleh sosok atau elite yang sejauh ini masuk dalam bursa kandidasi untuk pemilihan presiden 2024.
Sejumlah sosok potensial, terutama mereka yang kini menduduki jabatan publik, baik menteri maupun kepala daerah, memanfaatkan momentum mudik ini untuk “cek ombak” sekaligus mendekati calon pemilih.
Sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang melepas mudik gratis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Terminal Pulo Gebang, Jakarta. Hal yang sama dilakukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Jakarta yang melepas mudik gratis di Jakarta untuk para perantau dari Jawa Tengah.
Demikian juga Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir yang melepas mudik gratis. Termasuk juga Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang melepas mudik gratis yang digelar partainya.
Jika mengacu hasil survei, termasuk survei Litbang Kompas, Anies dan Ganjar masuk dalam kelompok elektabilitas tinggi ( di atas 10 persen), sedangkan Erick dan Airlangga masuk dalam kelompok elektabilitas di bawah itu.
Meskipun demikian, dengan waktu sekitar dua tahun menjelang pemilihan umum serentak 2024, semua sosok memiliki peluang yang sama untuk mendongkrak popularitas sekaligus tingkat keterpilihannya.
Pada akhirnya mudik Lebaran menjadi salah satu media yang bisa dimanfaatkan oleh para kandidat tersebut. Bahkan, khusus isu mudik gratis ini sempat viral di sosial media dimana warganet membandingkan antara mudik gratis yang diinisiasi Anies, Ganjar, dan Erick.
Sempat viral soal pembagian kaos bergambar Anies yang diunggah oleh salah seorang warganet, namun kemudian isu ini dibantah karena yang dibagikan Anies bukanlah kaos, namun hand sanitizer kit yang diperlukan selama perjalanan mudik.
Isu kemudian juga merembet pada warganet yang membanding-bandingkan spanduk mudik gratis dimana foto Ganjar dan Erick terpasang, sedangkan foto Anies tidak terpasang di spanduk mudik gratis tersebut.
Komentar antar warganet terkait mudik gratis yang melibatkan para sosok yang berpotensi maju di pemilihan presiden ini seakan menjadi “pemanasan” dari kampanye politik menuju kontestasi 2024.
Baca juga : Saat Figur Potensial Capres dan Parpol ”Membonceng” Momen Mudik Lebaran
Membangun citra
Pengamat politik sekaligus Direktur Riset Perdana Syndicates, Fajar Nursahid, menilai fenomena mudik gratis memiliki dua makna yang bisa dilihat. Pertama, mudik gratis ini tidak lepas dari kebutuhan untuk pencitraan bagi politisi.
“Sebagai politisi, mereka ingin dicitrakan sebagai politisi yang peduli dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Berbagai momen yang terkait erat dengan urusan publik, akan benar-benar dimanfaatkan untuk mendapatkan citra positif ini,” ungkap Fajar.
Kerja-kerja pencitran ini sekaligus “permanent campaign” yang mereka lakukan dalam posisi mereka, tetapi menurut Fajar, pencitraan seperti ini upaya yang absah bagi para politisi, bukan sesuatu yang menjadi masalah.
Hal kedua yang bisa dimaknai dari mudik gratis ini adalah sebagai relasi politisi-konstituen. Kita tentu membayangkan, relasi politisi dan konstituen berlangsung secara dinamis dan terjadi setiap waktu, misalnya dalam situasi krisis, bencana alam, atau lainnya.
Menurut Fajar, politisi memang sebaiknya hadir tidak saja setiap lima tahunan pada saat mereka membutuhkan dukungan suara dalam pemilu, tetapi hubungan politisi-konstituen ini dapat dibangun dalam pola relasi yang lebih produktif dan saling menguntungkan. “Fenomena mudik gratis yang diselenggarakan para politisi, dapat dilihat dalam kerangka ini,” jelas Fajar.
Tentu, mudik gratis, terutama saat Lebaran, apalagi yang mendekati pelaksanaan pemilu, akan menjadi agenda-agenda yang marak dilakukan pada elite.
Politisi memang sebaiknya hadir tidak saja setiap lima tahunan pada saat mereka membutuhkan dukungan suara dalam pemilu,
Seperti halnya dua makna di atas, pada akhirnya makin menguatkan tesis bahwa dua tahun menjelang pemilu, fenomena-fenomena kerja-kerja populis akan marak dilakukan untuk mendekati konstituen, calon pemilih potensial di 2024.
Bagi publik, tentu menjadi kesempatan untuk merekam bagaimana rekam jejak para kandidat-kandidat yang potensial berlaga di pemilu 2024 nanti. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Aliran Dana Pemudik ke Daerah Diharapkan Dorong Perekonomian