Silaturahmi mempererat tali persaudaraan tanpa sekat-sekat. Silaturahmi pada Lebaran 2023 harus dijaga tidak hanya terjadi saat hari raya, tetapi hingga seterusnya.
Oleh
Stephanus Aranditio, Ayu Nurfaizah, HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik tahun ini mencapai 123,8 juta orang. Jumlah ini meningkat 44,79 persen dibandingkan dengan tahun 2022, atau sebanyak 85,5 juta orang. Kehadiran pemudik untuk menyambut Lebaran 2023 ini memberikan ”nyawa” pada makna silaturahmi yang sesungguhnya, yaitu silaturahmi yang bukan sekadar pertemuan fisik, melainkan semangat mempererat tali persaudaraan tanpa sekat-sekat suku, agama, ras dan antargolongan, serta mencegah konflik dan perselisihan di Indonesia.
Dengan dicabutnya pembatasan sosial, masyarakat berbondong-bondong mudik ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Tidak hanya momentum merayakan Lebaran, masyarakat juga merayakan kembali pertemuan yang telah terdisrupsi pandemi Covid-19.
Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi dari Universitas Pasundan, Idi Subandy Ibrahim, dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/4/2023), mengatakan, momentum mudik tahun ini lebih bermakna. Sebab, setelah pandemi Covid-19 terkendali, aktivitas masyarakat tak lagi dibatasi oleh protokol kesehatan ketat. Setelah tiga tahun tidak bebas bertemu keluarga dan kerabat karena pandemi, sekarang masyarakat punya keleluasaan untuk bersilaturahmi langsung dengan orang-orang terkasih.
”Silaturahmi sejatinya menyambungkan yang putus dan mengeratkan yang renggang, serta menjalin kembali kasih sayang dengan memaafkan dan memberi maaf. Momen ini harus dimanfaatkan. Kini kita bisa lebih merasakan kedekatan fisik untuk melampiaskan kerinduan dan untuk mengikat kembali tali silaturahmi,” kata Idi.
Silaturahmi adalah kultur yang erat dalam kehidupan sosial di Indonesia. Dalam pengalaman sehari-hari, interaksi masyarakat selalu diwarnai nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan silaturahmi.
Idi menyebutkan, momentum silaturahmi yang terjadi pada Lebaran 2023 ini harus dijaga tidak hanya terjadi saat hari raya saja, tetapi hingga seterusnya. Apalagi, Indonesia memasuki tahun politik menjelang Pemilihan Umum 2024.
Dalam setiap kontestasi, polarisasi masyarakat karena perbedaan pilihan dan pandangan politik mungkin saja terjadi.
Idi berharap masyarakat menjadikan semangat silaturahmi untuk mencapai keutuhan bangsa. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar silaturahmi yang terbangun terlaksana secara tulus tanpa kepentingan.
Ia mengkritisi istilah ”silaturahmi politik” yang kerap ditampilkan politisi tidak termasuk dalam semangat silaturahmi yang sesungguhnya karena punya unsur kepentingan.
Menurut dia, silaturahmi itu seharusnya tulus tanpa kepentingan. ”Mungkin silaturahmi politik itu bisa menyambungkan orang, tetapi niatnya adalah kepentingan politik. Kepentingan politik itu hanya menang dan kalah. Silaturahmi harus kembali ke arti sejati, yaitu tulus tanpa kepentingan,” tutur Idi.
Silaturahmi sejati juga punya makna setara. ”Sangat jarang pemimpin mau bersilaturahmi ke bawahan, kebudayaan ini perlu diubah. Silaturahmi yang tulus itu harus memanusiakan manusia dan egaliter, jangan menganggap kita lebih tinggi dari orang lain,” ucap Idi.
Komunikasi
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Inayah Rohmaniyah menjelaskan, silaturahmi berfungsi memperkuat hubungan antarsesama manusia dan memperbaiki hubungan yang sebelumnya renggang karena konflik. Hal ini karena adanya ruang-ruang komunikasi dua arah yang dibuka dalam silaturahmi.
”Silaturahmi menjadi mekanisme kultural yang luar biasa untuk mengurai konflik. Dalam budaya kita, silaturahmi mengharuskan untuk bertemu dan saling memaafkan. Salah satu cara mengurai konflik yang cukup efektif adalah dengan berkomunikasi,” tutur Inayah.
Selain itu, silaturahmi menghubungkan ikatan antargenerasi dan tidak mengenal diskriminasi. Silaturahmi membuka ruang seluasnya pada keberagaman, tanpa perbedaan gender, ras, dan agama.
”Tidak ada yang bisa menggantikan komunikasi fisik. Saling bersalaman, berpelukan, sungkem, dan bermaafan. Ini mampu menjadi mekanisme sosial yang efektif mengembalikan fungsi keluarga. Setelah bermaafan, orang akan menjadi lebih ringan dan mendapatkan semangat baru,” ujar Inayah.
Lebih jauh, silaturahmi dapat menjadi modal sosial yang baik untuk mendorong agenda pembangunan bangsa. Menurut dia, selama ini banyak permasalahan yang bermula dari buruknya komunikasi. Silaturahmi menghadirkan orang-orang yang berbeda pemahaman, keyakinan, hingga pandangan politik untuk bertemu, berkomunikasi, dan membangun kerukunan.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung Rektorat UIII, Depok, Jumat (15/4/2023), memuji hubungan antara agama dan budaya di Indonesia telah menyatu menjadi karakter bangsa. Bahkan, pemerintah sebagai regulator turut memfasilitasi mudik Lebaran sebagai momentum perayaan kemenangan spiritual umat Muslim.
”Dari dahulu, tradisi mudik Lebaran sepenuhnya agenda masyarakat tanpa minta APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia). Namun, pemerintah memfasilitasi dengan menyediakan infrastruktur yang memudahkan silaturahmi,” ucapnya.
Silaturahmi yang terjalin dari tradisi mudik itu turut membawa pada pemerataan ekonomi. Perkembangan ekonomi itu merupakan usaha rakyat dalam sebuah tradisi mudik. ”Masyarakat kita pada dasarnya memiliki nilai cinta kampung, keluarga, dan mau berbagi dengan warga desa. Karakter akomodatif, lentur, dan rendah hati itu yang dinilai mampu menjaga keutuhan bangsa Indonesia,” ujarnya. (Z05/Z14/Z04)