Babak Baru Gugatan Masyarakat Jambi Soal Angkutan Batubara
Dalam sidang perdana gugatan warga, 6 dari 13 tergugat dan turut tergugat tidak hadir pada sidang. Ketidakhadiran itu dikecam para penggugat.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Gugatan hukum masyarakat Jambi soal angkutan batubara yang melewati jalan umum memasuki babak baru. Sebanyak 13 tergugat dan turut tergugat mulai menjalani persidangan dengan isi tuntutan bayar denda Rp 5 triliun.
Sidang gugatan perdata itu berlangsung perdana di Pengadilan Negeri Jambi, Rabu (12/4/2023). Sidang dipimpin Hakim Ketua Alex Mangatur dan anggota Budi Chandra dan Tatap Urasima.
Dalam sidang, hakim memeriksa seluruh kelengkapan berkas penggugat. Mereka dinyatakan hadir dan memenuhi syarat kelengkapan berkas. Sebaliknya, hanya 7 pihak dari 13 pihak tergugat dan turut tergugat hadir dalam sidang. Enam lainnya tidak hadir dan sebagian lagi belum memenuhi kelengkapan berkas.
Keenam tergugat dan turut tergugat yang tidak hadir meliputi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua DPRD Provinsi Jambi, PT Lintas Raya Sakti, CV Berkat Sabar, dan PT Kurnia Alam Investasi.
Tidak hadirnya sebagian tergugat dan turut tergugat dikecam oleh para penggugat yang diwakili Aliansi Masyarakat Jambi Menggugat. Di antaranya tidak ada wakil dari Kementerian ESDM, KPK, dan bahkan Ketua DPRD Provinsi Jambi.
”Ini menunjukkan rendahnya komitmen negara melindungi kepentingan masyarakat,” ujar Jamhuri, salah seorang penggugat.
Adapun, tujuh tergugat dan turut tergugat lainnya yang hadir dalam sidang perdana itu, kuasa hukum Gubernur Jambi, kuasa hukum Kepala Kepolisian Daerah Jambi, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), PT Nan Riang, PT Kasongan Mining Mills, PT Tebo Agung Internasional, dan PT Sarolangun Bara Prima.
Masyarakat menggugat hukum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Gubernur Jambi, dan tujuh perusahaan tambang terkait masalah pengangkutan batubara yang terus berlarut di Jambi. Mereka dituntut membayar denda Rp 5 triliun.
Juru bicara aliansi, Ibnu Kholdun, mengatakan, gugatan itu sebagai respons atas keresahan warga akibat kemacetan berkepanjangan, serta jalan rusak, dan rentetan kecelakaan lalu lintas akibat buruknya pengaturan pengangkutan batubara di Jambi.
Setiap hari, katanya, jumlah angkutan lebih dari 10.000 unit melintasi jalan umum. Membeludaknya jumlah angkutan batubara tak diiringi peningkatan kapasitas jalan. Tidak disediakan pula jalan khusus hingga kini. Akibatnya, masyarakat menjadi korban aktivitas distribusi hasil tambang itu.
Tuntutan pembayaran denda itu akan dipergunakan untuk perbaikan jalan-jalan yang rusak. Sisanya untuk pemulihan kesehatan masyarakat terdampak.
Para tergugat juga dituntut menyetop angkutan batubara melintasi jalan umum, sampai adanya jalan khusus. Jalan umum yang dimaksud adalah jalan lintas Kabupaten Sarolangun, jalan lintas Kabupaten Tebo, jalan lintas Kabupaten Batanghari, jalan lintas Kabupaten Muaro Jambi, dan jalan lintas dalam Kota Jambi. Angkutan batubara dilarang melintas jalan-jalan umum tersebut hingga jalan khusus pengangkutan batubara selesai dibangun.
Mereka juga menuntut hukuman bagi para tergugat membayar uang paksa (dwangsom) kepada para penggugat sebesar Rp 25 juta untuk setiap harinya atas keterlambatan dan lalai dalam menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kuasa hukum Gubernur Jambi, Musri Nauli, mengatakan, isi gugatan itu tak tepat diajukan ke gubernur. Gugatan semestinya hanya ditujukan ke Kementerian ESDM selaku yang berwenang mengatur perizinan dan operasional izin usaha pertambangan batubara.
Adapun Manajer PT Tebo Agung Internasional Stevy Jacob mengatakan, gugatan itu ditujukan kepada pihak yang salah. Pihaknya mengaku tidak memanfaatkan jalur umum yang dipersoalkan para penggugat.
”Selama ini kami lewat jalan swasta, bukan jalan umum,” katanya.
Hakim Alex selanjutnya menetapkan sidang berikutnya dilanjutkan 10 Mei mendatang dengan agenda pemenuhan berkas yang belum lengkap dari para tergugat dan turut tergugat.