Derita Rakyat Jambi Terimpit Angkutan ”Emas Hitam”
Meskipun telah banyak aksi keprihatinan disampaikan warga, penertiban angkutan batubara di Jambi lambat. Jumlah angkutan kini membeludak hampir tiga kali lipat dibandingkan tiga tahun lalu.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Antrean panjang angkutan batubara menuju SPBU memenuhi bahu jalan di Kabupaten Sarolangun, Jambi, Jumat (3/6/2022). Padahal, telah berlaku larangan bagi angkutan batubara membeli bahan bakar bersubsidi. Larangan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jambi Nomor 1165 Tahun 2022 tentang penggunaan kendaraan bermotor untuk kegiatan pengangkutan mineral dan batubara di Provinsi Jambi itu ditandatangani gubernur pada 17 Mei 2022.
Hiruk-pikuk angkutan batubara telah menjajah ketenteraman masyarakat Jambi. Saban hari, ribuan truk menumpuk di sepanjang jalan lintas Sumatera. Jika dihitung, panjangnya mencapai sekitar 70 kilometer, melebihi jarak Jakarta-Bogor.
Kondisi itulah yang bertahun-tahun lamanya dialami masyarakat dan semakin parah dalam tiga tahun terakhir. Kemacetan parah itu membuat warga bagaikan hidup dalam neraka yang tak berkesudahan.
”Masyarakat sudah tak tahan menghadapi situasi seperti ini,” ujar Turino, Lurah Sridadi di Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi, Rabu (8/6/2022).
Senin (6/6/2022), masyarakat Sridadi beramai-ramai memblokade jalan. Tak satu pun angkutan batubara boleh melintas. Akibatnya, antrean kendaraan mengular panjang.
Di tengah antrean, seorang ibu menangis keluar dari mobilnya. Ia mengadu kepada aparat yang bertugas untuk membantunya agar bisa melewati kemacetan itu. Rupanya, di dalam mobil, sang ibu membawa bayinya yang telah meninggal. Keluarga telah menunggu.
Hampir tiga jam lamanya mereka terjebak macet. Setelah dibantu polisi lalu lintas, akhirnya rombongan ibu yang membawa jenazah bayinya itu berhasil menerobos macet.
IRMA TAMBUNAN
Angkutan batubara memenuhi sepanjang jalan negara yang menghubungkan Kabupaten Batanghari menuju Kota Jambi, Jumat (3/6/2022). Kemacetan terjadi setiap sore hingga menjelang pagi, mengganggu kenyamanan masyarakat pengguna jalan.
Selepas pukul 18.00, kemacetan bertambah parah. Sebab, seluruh angkutan batubara keluar dari mulut tambang untuk bertolak menuju pelabuhan. Kemacetan itu baru mulai mereda menjelang pagi.
Turino menceritakan masifnya angkutan batubara tak hanya menimbulkan kemacetan, tetapi juga kecelakaan lalu lintas. Dua bulan terakhir, kata Turino, sudah empat korban meninggal di wilayah itu akibat kecelakaan yang melibatkan angkutan batubara.
”Sopirnya sering ngebut, padahal bawa muatan berat. Akibatnya sering terjadi kecelakaan,” tuturnya.
November lalu, seorang mahasiswa Universitas Jambi tewas ditabrak angkutan batubara yang tengah melintas. Sepekan kemudian, kejadian serupa berulang merenggut nyawa mahasiswa lainnya dari Universitas Islam Negeri Jambi. Rentetan musibah itu menimbulkan gelombang protes kampus yang lokasinya dilintasi angkutan-angkutan batubara untuk menuju pelabuhan.
Data Kepolisian Daerah Jambi menunjukkan, sejak 1 Januari 2022 hingga 9 Juni 2022 terjadi 176 kali kecelakaan lalu lintas di jalan umum yang melibatkan angkutan batubara. Insiden itu menelan 41 korban jiwa. Pada periode yang sama tahun lalu, terjadi 144 kecelakaan dengan 43 korban jiwa.
Tak sampai di situ, warga pun kesal karena angkutan batubara selalu memenuhi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Sering kali warga jadi tak bisa membeli solar karena habis.
Setiap hari Polda Jambi bahkan menerima 7-11 pengaduan masyarakat terkait angkutan batubara. Pengaduan seputar kemacetan baik di jalan raya dan sekitar SPBU.
Sebelumnya pada 2019, masyarakat Sridadi juga telah memprotes angkutan batubara yang menimbulkan macet di jalan publik. Waktu itu, pengangkutan batubara memanfaatkan tronton. Selain macet, jalan jadi cepat rusak dan kecelakaan lalu lintas makin sering terjadi.
Aksi-aksi serupa juga dilakukan masyarakat di Muara Kumpeh di Kabupaten Muaro Jambi serta di batas Kota Jambi. Meskipun telah beragam aksi dan keprihatinan disampaikan warga, persoalan pengangkutan batubara tak serta-merta diatasi. Malahan, jumlah angkutan akibatnya membludak hampir tiga kali lipat dibandingkan tiga hingga empat tahun silam.
Warga di Muaro Tembesi, Kabupaten Batanghari, Resti, mengeluh aktivitas warga jadi terganggu. ”Macetnya betul-betul bikin stres karena kendaraan stagnan berjam-jam lamanya,” katanya.
Menurut pengemudi usaha travel, Andri, perjalanan dari Kota Jambi menuju Kerinci semestinya bisa ditempuh 8 jam. Sejak ramai angkutan batubara, perjalanan jadi molor hingga 12 jam. Ongkos bahan bakar pun jadi bengkak.
”Penggunaan bensin jadi bengkak Rp 50.000 per trip,” keluhnya.
Pengangkutan hasil tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Pekatnya debu yang beterbangan di udara menghalangi jarak pandang dan mengancam keselamatan pengguna jalan lainnya.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Provinsi Jambi, jumlah angkutan batubara yang beroperasi mencapai 6.000-an unit. Sekitar 1.500 unit yang telah terdata pemerintah daerah. ”Selebihnya belum terdata,” ujar Ismed Wijaya, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jambi.
Sementara Asosiasi Pengemudi Angkutan Batubara Provinsi Jambi menyebut ada 8.000 angkutan batubara yang melintas setiap harinya dari mulut tambang ke pelabuhan. Sebagian besar angkutan itu belum terdaftar dan belum berafiliasi dalam usaha pertambangan tetapi selama ini dibiarkan saja oleh pemda.
”Selama ini dibiarkan saja, belum ditertibkan,” kata Ning Nawi, Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Pengemudi Angkutan Batubara Provinsi Jambi.
Kalau dulu, angkutan batubara yang melintas dibatasi maksimal 3.500 truk per hari. Sekarang tidak ada pembatasan jumlah. Akibatnya, macet lebih parah di mana-mana.
Jika dihitung setiap truk penjangnya 4 meter, untuk 8.000 truk yang beroperasi akan memakan 32 kilometer panjangnya. Ditambah jarak aman 5 meter antrean truk dalam kondisi macet menjadi sepanjang 40 kilometer. Maka, jika ditotal, iring-iringan kendaraan itu akan mencapai lebih dari 70 kilometer alias lebih jauh dari jarak Jakarta-Bogor.
Asosiasi Pengemudi Angkutan Batubara Provinsi Jambi menyebut ada 8.000 angkutan batubara yang melintas setiap harinya dari mulut tambang ke pelabuhan. Sebagian besar angkutan itu belum terdaftar dan belum berafiliasi dalam usaha pertambangan, tetapi selama ini dibiarkan saja oleh pemda.
Persoalan itu coba diatasi pemerintah lewat sejumlah aturan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Migas Nomor 4 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor untuk Kegiatan Pengangkutan Mineral dan Batubara serta Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penataan dan Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batubara di Provinsi Jambi. Gubernur Jambi juga mengeluarkan dua surat edaran yang mengatur hal serupa. ”Untuk mengawal aturan ini telah dibentuk tim satuan tugas di tingkat provinsi,” ujar Kepala Biro Ekonomi Provinsi Jambi Johansyah.
Aturan yang terbit pada April dan Mei itu, ironisnya hingga kini belum kunjung mengentaskan persoalan kemacetan di jalan publik. Antrean angkutan batubara bahkan kian mengular seiring kenaikan harga. Para pelaku usaha mengejar target hasil tambang sebesar-besarnya di tengah kenaikan harga batubara di pasar dunia.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Pengangkutan hasil tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Pekatnya debu yang brterbangan di udara menghalangi jarak pandang dan mengancam keselamatan pengguna jalan lainnya.
Itu terlihat dari angka ekspor yang naik tajam. Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi menunjukkan, volume ekspor batubara tahun 2021 mencapai 2,16 juta ton. Naik signifikan dari 2019 yang masih 79.061 ton.
Saat ini, harga batubara telah menyentuh 323 dollar AS per ton. Naik dari 2021 yang masih 115 dollar AS, serta di tahun 2019 yang hanya 70 dollar AS.
Dengan tingginya kenaikan itu, Dewan Penasihat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Provinsi Jambi Usman Ermulan menilai akan sulit menekan produksi batubara demi menghindari kemacetan di jalan. Yang dibutuhkan saat itu adalah agar para investor membangun jalan khusus. Jalan itu bisa melalui jalur darat dan sungai. Jika di darat, jalan menghubungkan mulut tambang ke pelabuhan.
Sementara pada jalur air, investor perlu mengeruk dulu titik-titik sungai yang mendangkal. ”Jadi, investor seharusnya menyediakan sendiri jalan khusus, bukan memanfaatkan jalan publik,” katanya.
Hal itu agar Turino, Resti, Andri, dan warga lainnya tidak terganggu lagi dengan angkutan batubara.