Kalteng dapat jatah perhutanan sosial seluas 18.000 hektar. Sayangnya, hingga kini belum ada hutan adat baru yang diberikan pemerintah, pun pengakuan masyarakat hukum adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Provinsi Kalimantan Tengah menerima surat keputusan perhutanan sosial dengan total 18.000 hektar. Perhutanan sosial diharapkan bisa benar-benar dikelola masyarakat untuk kesejahteraan bersama. Namun, belum ada hutan adat baru yang diberikan pemerintah di Kalteng.
Hal itu disampaikan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Edy Pratowo saat ditemui di Palangkaraya, Senin (6/3/2023). Edy menjelaskan, total terdapat 18.000 hektar izin perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria (TORA). Perhutanan sosial itu terdiri atas dua skema, yakni hutan kemasyarakatan dan hutan desa.
”Izin perhutanan sosial itu ada di beberapa wilayah, termasuk di Kabupaten Gunung Mas dan beberapa kabupaten lainnya,” ungkap Edy.
Edy menambahkan, surat keputusan (SK) perhutanan sosial dan TORA itu diberikan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 22 Februari 2023 lalu. Total pemerintah pusat mengeluarkan 514 SK untuk perhutanan sosial dan 46 SK untuk TORA dengan luas seluruhnya mencapai 321.800 hektar.
”Perhutanan sosial dan TORA ini sangat penting. Ini kesempatan untuk masyarakat mengelola hutan dan wilayah kelola mereka sendiri untuk kesejahteraan masyarakat juga,” katanya.
Menurut dia, dengan diberikannya izin perhutanan sosial dan TORA, masyarakat tidak terpinggirkan di tanah sendiri. ”Ini kesempatan baik agar masyarakat mengelola dan mengembangkan sebaik mungkin hutan dan lahan mereka,” katanya.
Perhutanan sosial dan TORA, lanjut Edy, bakal terus ditambah karena hutan Kalteng masih luas. Pemberian izin melalui skema perhutanan sosial ini juga merupakan bentuk solusi dari banyak masalah agraria yang selama ini mendera Kalteng. Banyak warga yang tak maksimal memanfaatkan hutannya karena terbentur izin atau kawasan.
”Sebelumnya sudah ada 27.000 hektar yang diberikan pemerintah, sekarang ini 18.000 hektar lagi. Ke depan pasti ditambah terus,” ungkapnya.
Pemberian izin perhutanan sosial, lanjutnya, memberikan kepastian kepada masyarakat Kalteng agar lebih leluasa dan aman dalam mengelola tanah yang sudah bersertifikat untuk kegiatan-kegiatan usaha yang bermanfaat. ”Ini bermanfaat untuk ekonomi, pengembangan pariwisata, tanaman, dan berbagai macam bentuk usaha,” ujarnya.
Sayangnya, dalam izin tersebut belum ada hutan adat yang diberikan meski selama ini masyarakat adat sudah beberapa kali mengajukan permohonan pengakuan masyarakat hukum adat akan hutan adatnya kepada pemerintah.
Dari data yang dikumpulkan Kompas, di Kalteng setidaknya terdapat 151 izin perhutanan sosial yang diberikan pemerintah ke masyarakat dengan total luas kawasan mencapai 205.381,95 hektar atau sama dengan tiga kali luas DKI Jakarta. Dari total luas perhutanan sosial itu, hutan adat hanya ada satu izin, yakni di Kabupaten Pulang Pisau, yaitu hutan adat Pulau Barasak dengan luas hanya 102 hektar.
Pemberian izin melalui skema perhutanan sosial ini juga merupakan bentuk solusi dari banyak masalah agraria yang selama ini mendera Kalteng. Banyak warga yang tak maksimal memanfaatkan hutannya karena terbentur izin atau kawasan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata berpendapat, pemberian SK perhutanan sosial hanya untuk hutan adat dan hutan kemasyarakatan masih jauh dari upaya memberikan keadilan penguasaan dan pengelolaan wilayah untuk masyarakat. Skema selain hutan adat masih bisa dievaluasi kembali untuk dicabut atau dikembalikan.
”Skema selain hutan adat masih berupa rezim izin, di mana masih setengah hati untuk pengelolaannya, sedangkan dorongan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayahnya tidak ada progres signifikan oleh pemerintah daerah,” ungkap Bayu.
Pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah kelola adat atau hutan adat, menurut dia, menjadi penting karena merupakan salah satu penyelesaian atas konflik agraria dan tenurial yang berkepanjangan di Kalteng. ”Harusnya kalau dari sisi urgensi, hutan adat dan pengakuan masyarakat adat jadi yang utama,” katanya.