Harga gabah di tingkat petani di Sumatera Selatan anjlok tajam dalam dua minggu terakhir. Penurunan terjadi setelah pemerintah menetapkan harga pokok penjualan gabah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Harga gabah di tingkat petani di Sumatera Selatan anjlok tajam dalam dua minggu terakhir. Penurunan itu terjadi setelah pemerintah menetapkan harga pokok penjualan gabah. Sejumlah pihak berharap pemerintah merevisi HPP yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi ongkos produksi saat ini.
Pembina Kelompok Tani dan Nelayan Putra Sriwijaya di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Efendi Setia Budi, Jumat (3/3/2023), mengatakan, saat ini harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menurun tajam.
Pada Januari hingga awal Februari 2023, harga GKP di tingkat petani sebesar Rp 5.300 per kilogram (kg). Namun, harga GKP sekarang berada pada kisaran Rp 4.300 hingga Rp 4.000 per kg.
Penurunan ini kian signifikan ketika pemerintah menetapkan harga pokok penjualan GKP di tingkat petani sebesar Rp 4.200 per kg untuk harga batas bawah dan 4.500 per kg untuk harga batas atas. Setelah HPP diterbitkan, para pengepul beras langsung mengirimkan surat itu kepada kelompok tani dan keesokan harinya harga gabah berlangsung turun.
Dengan kondisi seperti itu, Efendi menyebut, petani tidak bisa berbuat banyak. ”Padahal, kami sempat berharap harga gabah tetap bertahan di angka 5.300 per kg karena harga sebesar itu belum pernah terjadi pada masa panen sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Efendi, penetapan HPP gabah sangat tidak berpihak kepada petani karena penetapan HPP tak sebanding dengan ongkos produksi yang harus dibayarkan. ”Saat ini, harga pupuk dan pestisida naik. Dengan harga Rp 4.300 per kg, untung petani sangat tipis,” ucapnya.
Efendi memaparkan, saat ini, petani di Kecamatan Air Sugihan harus mengeluarkan modal tanam sebesar Rp 18 juta per hektar untuk sekali musim tanam selama empat bulan. Adapun rata-rata produksi gabah sekitar 6 ton per hektar. Dengan harga gabah Rp 4.300 per kg, petani hanya bisa mendapatkan untung sekitar Rp 1,9 juta per bulan dalam satu kali musim tanam.
Padahal, dalam satu tahun, rata-rata petani di Kecamatan Air Sugihan hanya bisa menanam satu kali karena kondisi lahan yang merupakan lahan rawa pasang surut. Selain itu, petani juga dibayangi risiko gagal panen karena perubahan cuaca yang tidak menentu.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumsel Widya Astin menyebut, SPI secara tegas menolak HPP gabah yang ditetapkan pemerintah pada 27 Februari 2023. Menurut dia, penetapan HPP itulah yang memicu harga gabah turun signifikan.
Widya menuturkan, penentuan HPP yang sangat rendah oleh pemerintah akan sangat berdampak di pasaran. ”Ini sudah terjadi setiap tahun, seperti strategi mafia untuk mempermainkan petani yang sedang tersudut,” katanya.
Jika melihat dari ongkos produksi, Widya mengusulkan HPP gabah Rp 5.400-Rp 5.800 per kg. Penetapan harga yang lebih baik itu penting agar petani bisa lebih sejahtera walau ongkos produksi melonjak.
Dengan harga gabah Rp 4.300 per kg, petani hanya bisa mendapatkan untung sekitar Rp 1,9 juta per bulan dalam satu kali musim tanam.
Sebelumnya, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berpendapat, gejolak harga ketika panen raya memang kerap terjadi. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar.
Oleh karena itu, penentuan HPP memang sangat diperlukan agar petani tidak menjadi korban dari permainan pasar itu. Namun, Herman berharap HPP disesuaikan dengan ongkos produksi saat ini.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Aida S Budiman, dalam soft launching Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) tahun 2023 di Palembang mengatakan, ketersediaan bahan pangan sangat penting lantaran komoditas itu cukup besar pengaruhnya terhadap inflasi.
Aida menjelaskan, apabila tingkat inflasi mencapai 11 persen, sumbangan inflasi dari sektor pangan mencapai 2 persen. Apabila tingkat inflasi mencapai 5,6 persen, sumbangan inflasi dari sektor pangan mencapai 1,1 persen. Oleh karena itu, menjaga pasokan komoditas pangan, terutama komoditas yang rentan bergejolak, dinilai krusial.
Aida menambahkan, fokus saat ini adalah melihat perkembangan komoditas dari hulu sampai hilir. Mulai dari produksi sampai pengolahan pascapanen sampai tahapan pemasaran. Permasalahan yang kerap terjadi di lapangan ketika panen adalah gabah tidak terserap sehingga harga naik.
Sebaliknya, ketika tidak panen, harga juga berisiko naik karena keterbatasan pasokan. Belum lagi tidak lancarnya distribusi yang sangat dipengaruhi oleh cuaca.