Ketentuan tentang Harga Pembelian Dinilai Rugikan Petani
Ketentuan tentang harga pembelian gabah/beras dinilai berisiko merugikan petani karena dipatok lebih rendah dari ongkos produksi. Surat edaran baru Badan Pangan Nasional juga dinilai kurang menguntungkan petani.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Buruh tani memindahkan hasil panenan padi ke tempat yang kering di kawasan Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (4/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional menetapkan harga batas atas pembelian gabah dan beras. Tujuannya mengendalikan laju kenaikan harga gabah/beras. Namun, kalangan petani menilai ketentuan itu bakal merugikan mereka karena harga pembelian pemerintah lebih rendah dari ongkos produksi. Kebijakan itu juga berisiko tidak efektif mengendalikan harga jika tidak disokong produksi dan pengelolaan cadangan yang baik.
Badan Pangan Nasional menerbitkan Surat Edaran Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras yang bertujuan untuk mengendalikan laju kenaikan harga gabah/beras. Dalam surat itu, terdapat tanda tangan sejumlah perwakilan pelaku usaha dan pihak terkait yang menyepakati harga pembelian gabah/beras.
Perwakilan-perwakilan itu berasal dari Perum Bulog, Satuan Tugas Pangan Polri, Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Wilmar Padi Indonesia, PT Surya Pangan Semesta, PT Buyung Poetra Sembada Tbk, PT Belitang Panen Raya, dan Menata Citra Selaras.
Dalam surat itu, perwakilan-perwakilan tersebut menyepakati harga batas bawah pembelian gabah atau beras mengikuti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras, yakni Rp 4.200 per kilogram (kg) di tingkat petani untuk gabah kering panen (GKP). Sementara batas atasnya, sesuai surat edaran itu, disepakati Rp 4.550 per kg di tingkat petani. Kesepakatan itu merupakan hasil rapat pada Senin (20/2/2023).
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, perwakilan petani dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) terlibat dalam perumusan harga tersebut. ”Pastinya (kebijakan harga tersebut) untuk menjaga harga petani dan konsumen,” katanya saat dihubungi, Selasa (21/2/2023).
Menurut Arief, kesepakatan harga batas atas penting agar saat panen raya tidak terjadi pembelian gabah/beras di tingkat petani dengan harga tak terkendali akibat persaingan bebas antarpenggilingan. Harga batas atas tersebut juga sudah memperhitungkan kenaikan harga pokok produksi.
Rugikan petani
Di sisi lain, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai, kebijakan harga tersebut merunyamkan keadaan petani. Berdasarkan perhitungannya, harga pembelian pemerintah (HPP) semestinya sekitar Rp 5.600 per kg GKP di tingkat petani. Artinya, rentang harga pembelian yang ditetapkan berada di bawah angka tersebut.
Dengan nilai yang berada di bawah usulan petani, Henry berpendapat, kebijakan tersebut hanya menguntungkan korporasi yang bergerak di perberasan. ”Korporasi dapat membeli beras dengan harga murah dan menjualnya di pasar premium,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa berpendapat, kebijakan harga pembelian beras terbaru mengancam kesejahteraan petani. Berdasarkan survei asosiasinya, ongkos produksi padi tahun 2019 mencapai Rp 4.523 per kg GKP di tingkat petani. Pada September 2022, angkanya sudah menyentuh Rp 5.667 per kg GKP. Oleh sebab itu, dia berharap, harga pembelian sekitar Rp 5.700 per kg.
Sayangnya, lanjut dia, harga pembelian sesuai surat edaran itu akan jadi referensi bagi perusahaan beras swasta dan penggilingan. ”Saat ini, ongkos produksi (yang dikeluarkan) petani sudah naik 25-35 persen karena kenaikan tajam pada biaya sewa lahan, tenaga kerja, pupuk, dan pestisida. Apabila petani dibiarkan merugi, produksi beras nasional ke depannya akan terancam,” katanya.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, ketetapan harga pembelian tersebut berada di bawah nilai keekonomian produksi GKP oleh petani. Padahal, HPP menjadi instrumen yang dapat menyelamatkan petani dari risiko harga jatuh saat panen raya. Dia memperkirakan biaya usaha tani naik sekitar 15 persen.
Yeka juga menggarisbawahi kebijakan yang tertera hanya dalam bentuk ”surat edaran”. Menurut dia, surat tersebut tidak cukup kuat bagi pelaku perberasan untuk mematuhinya. Selain itu, tidak ada mekanisme pengawasan pelaksanaan serta sanksi bagi yang melanggar.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh tani mengumpulkan padi varietas Ciherang yang sudah dirontokkan di Desa Sukamaju, Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (29/11/2022).
Secara keseluruhan, Yeka berpendapat, kebijakan harga tersebut tidak akan efektif tanpa manajemen stok cadangan beras pemerintah yang baik yang dikelola Perum Bulog. ”Dengan adanya stok cadangan (beras) yang cukup, pemerintah dapat mengguyur pasar saat harga beras tinggi. Manajemen stok (yang baik) akan membuat pengendalian harga beras selaras dengan mekanisme pasar,” katanya.
Kepuasan rendah
Pada Januari 2023, survei Litbang Kompas yang dipublikasikan, Senin (20/2/2023), mencatatkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam aspek perekonomian mencapai 53,5 persen. Pada aspek itu, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam memberdayakan petani dan nelayan berada di bawah 50 persen, yakni 46,8 persen.
Menurut Dwi, kebijakan harga yang baru diterapkan petani mencerminkan capaian tingkat kepuasan publik tersebut. Petani dapat tidak berdaya apabila kebijakan harga tidak menguntungkan mereka.
Henry menilai, ketidakpuasan tersebut dapat menggambarkan tidak tuntasnya program pemerintah dalam memberdayakan petani. ”Misalnya, konflik agraria yang masih terjadi di kalangan petani serta pemanfaatan pupuk organik yang tidak berjalan di tengah mahalnya pupuk non-organik,” ujarnya.