Penanganan Sampah Perlu Kolaborasi, Termasuk Produsen
Penanganan sampah memerlukan kolaborasi multipihak, termasuk produsen. Produsen juga berperan dalam menggerakkan putaran ekonomi pengelolaan sampah.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Suasana di gudang Bali Waste Cycle (BWC), Kota Denpasar, Sabtu (11/2/2023). Direktur BWC Olivia Anastasia Padang (kedua dari kiri) menerangkan perihal sampah plastik, termasuk kemasan multilapisan (MLP), yang dikumpulkan di BWC ke Director of Corporate Responsibility L'Oreal Indonesia Mohamad Fikri (kiri).
DENPASAR, KOMPAS – Kolaborasi multipihak dalam menangangi sampah sangat diperlukan demi keberlangsungan lingkungan, terutama dari pihak produsen. Produsen bisa berperan mengurangi sampah dan menggerakkan putaran ekonomi pengelolaan sampah sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Direktur Bali Waste Cycle (BWC) Olivia Anastasia Padang mengatakan, kelancaran dan keberlanjutan penanganan sampah membutuhkan kerja sama dan kolaborasi banyak pihak, termasuk swasta, pemerintah, dan komunitas atau masyarakat. BWC selama ini bekerja sama dengan komunitas, kepolisian, rumah sakit, ataupun pengelola usaha pariwisata, dan pemerintah daerah telah mengumpulkan dan mengelola sampah
”Kami bekerja sama (salah satunya) dengan Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) Center di Kabupaten Klungkung karena Bupati Klungkung antusias dalam penanganan sampah,” ujar Olivia ketika menerima kunjungan Director of Corporate Responsibility L’Oreal Indonesia Mohamad Fikri ke BWC, Sabtu (11/2/2023). Selain mengunjungi BWC, pihak L’Oreal Indonesia bersama Yayasan Pemulihan Kemasan Indonesia (Indonesia Packaging Recovery Organization/IPRO) mengunjungi mitra IPRO lainnya dalam pengumpulan dan daur ulang kemasan bekas pakai di Kota Denpasar, yakni UD Jaya Abadi Plastik dan Bali PET Collection Center, Jumat-Sabtu, 10-11 Februari.
Dukungan dan kerja sama dari multipihak menjadi hal penting dalam memastikan keberlanjutan pengelolaan sampah di daerah, khususnya di Bali. Hal itu, antara lain, berupa sosialisasi dan edukasi serta pengalokasian anggaran yang mencukupi dalam pengelolaan sampah, termasuk pengangkutan ataupun pengoperasian peralatan pengolahan sampah.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga mewajibkan produsen mengelola kemasan atau barang, yang diproduksinya, yang tidak dapat atau sulit terurai dengan proses alam. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen memperjelas tanggung jawab produsen dalam upaya menangani sampah, antara lain, melalui pengurangan produksi sampah kemasan.
”Sebelum adanya mandatori oleh peraturan menteri itu, L’Oreal sudah memulai dengan perubahan atau transformasi cara berbisnis, yang dimulai dari transformasi internal dalam upaya mengurangi dan membatasi dampak terhadap lingkungan dan iklim, termasuk sampah,” kata Fikri.
L’Oreal telah menjalankannya dengan strategi L’Oreal for The Future melalui tiga pilar strategi pembangunan berkelanjutan. Targetnya adalah pengurangan dampak yang terukur dengan batas waktu pencapaian target pada 2030. Untuk itu, L’Oreal Indonesia bekerja sama dengan IPRO dan menjadi anggota IPRO dalam kolaborasi daur ulang plastik.
Mengambil dan mengumpulkan sampah jenis MLP ini menjadi tantangan karena sampahnya dianggap tidak berharga dan tidak banyak pabrik yang mau mengambilnya.
Fikri menyebutkan, L’Oreal Indonesia berfokus pada pengelolaan dan pengolahan plastik PP dan MLP karena jenis plastik tersebut masih jarang dan sedikit didaur ulang. PP atau polipropena adalah jenis plastik yang digunakan sebagai kemasan dan berbagai jenis wadah, misalnya gelas kemasan minuman. PP juga dikenal dengan istilah gelasan.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Suasana di gudang Bali Waste Cycle, Kota Denpasar, Sabtu (11/2/2023).
Adapun MLP adalah kemasan multilapis (multi-layered packaging) yang banyak ditemukan pada kemasan saset. Sampah dari kedua jenis tersebut banyak ditemukan menjadi polutan karena masih minimnya usaha pendaurulangan kedua jenis sampah itu.
Olivia menambahkan, dukungan dari produsen melalui IPRO berdampak terhadap pengumpulan sampah plastik jenis MLP. Volume sampah plastik jenis MLP di Bali juga besar, tetapi sampah plastik jenis MLP kurang diminati lantaran dianggap kurang bernilai ekonomi. ”Mengambil dan mengumpulkan sampah jenis MLP ini menjadi tantangan karena sampahnya dianggap tidak berharga dan tidak banyak pabrik yang mau mengambilnya,” ujar Olivia.