Perlu Posko Pengaduan ASF di Setiap Kelurahan dan Desa di NTT
Peternak mengusulkan dibangun Posko ASF di setiap desa dan kelurahan NTT. Ini untuk berkomunikasi cara mengatasi demam babi Afrika.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pemerintah provinsi perlu mendorong pemerintah kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur agar membangun posko pengaduan penyebaran demam babi Afrika di setiap kelurahan dan desa. Dengan cara ini, pemerintah daerah memiliki data akurat soal jumlah ternak babi yang mati akibat ASF dan berapa yang bertahan hidup.
Ketua Kelompok Tani ”Oe Tnana”, Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Daniel Aluman (48), Selasa (31/1/2023), mengatakan, kasus kematian babi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan minggu pertama, Januari 2023.
Kendati demikian, sampai hari ini kelompok peternak, khususnya ternak babi, belum mendapatkan petunjuk yang jelas dari pemerintah daerah setempat cara mengatasi African Swin Fever (ASF).
Menurut dia, peternak meminta pemerintah memanfaatkan aparatur di kelurahan dan desa agar menyiapkan posko pengaduan ASF ini. Posko untuk mengetahui secara rinci berapa babi yang mati akibat ASF, berapa yang masih hidup di tingkat peternak, dan bagaimana mengamankan yang masih hidup agar tidak tertular virus itu.
Petani teladan tingkat provinsi 2018 ini mengatakan, data yang disampaikan Pemkot Kupang bahwa kematian babi di kota itu baru mencapai 40 ekor per 30 Januari 2023 itu tidak benar.
Babi mati di tingkat peternak, yang bertetangga dengan Aluman saja tercatat 45 ekor, milik dua peternak, yakni Dance Klase sebanyak 40 ekor dan Yonas Klase 15 ekor. Belum termasuk, peternak yang memelihara 2-10 ekor dan mati akibat ASF di lingkungan itu.
Ia mengatakan, di tingkat Kelurahan Fatukoa saja sudah lebih dari 300 babi yang mati. Fatukoa adalah kelurahan pinggiran Kota Kupang. Hampir semua petani memelihara ternak, dengan jumlah bervariasi, 2-200 ekor per petani.
Petani terintegrasi ini juga membantah data populasi babi di Kota Kupang hanya 32.050 ekor. Populasi babi mesti lebih dari data yang dimiliki pemkot. Petugas dari kelurahan atau pemkot tidak pernah turun ke petani (peternak) melakukan pendataan.
”Kalauturun ke warga, melakukan penyuluhan, semua harus tunggu proyek, sampai kapan pun tidak bisa maju,” kata Aluman.
Semua data soal ternak di Kota Kupang bahkan NTT, termasuk ternak babi, tidak terlaporkan ke pemda. Petani tidak tahu kantor di mana, lapor ke siapa, dan minta bantuan ke siapa. ”Kami lapor ke kantor Lurah, mereka bilang langsung saja ke Dinas Peternakan Kota. Padahal, setiap saat kita berurusan di kantor lurah,” ujarnya.
Kalauturun ke warga, melakukan penyuluhan, semua harus tunggu proyek, sampai kapan pun tidak bisa maju. (Aluman)
Mestinya ada koordinasi antara Dinas Peternakan dan semua kelurahan dan desa di Kota Kupang, dan NTT secara kelurahan menyangkut ASF ini. Sekarang koordinasi itu tidak perlu turun langsung. Cukup memanfaatkan ponsel pintar saja sudah cukup.
Pemda/pemkot memanfaatkan tenaga aparat kelurahan, termasuk RT/RW setempat untuk menangani Posko ASF ini. Mereka tidak perlu diberi honor lagi karena sudah dibayar pihak kelurahan. Mereka bisa menerima laporan lewat grup WhatsApps (WA) kemudian merekap dan melaporkan secara rutin ke dinas peternakan.
Nomor telepon seluler Posko ASF di kelurahan dan desa disebarkan kepada semua petani. Mereka sudah memiliki telepon pintar. Komunikasi tidak sulit lagi. Asal ada kemauan dan semangat melayani, semua pasti bisa. Saat ini, sudah grup WA di setiap anggota RT, RW dan LPMD. Tidak sulit membentuk grup ini.
Petani terintegrasi ini mengaku memiliki 200 ternak babi. Sekitar tiga ekor mengami diare, tiga hari lalu. Namun, langsung dipisahkan dengan babi lainnya, diberi suntikan vitamin, dan pakan yang bergizi. Babi itu sehat kembali.
Gejala awal ASF yang dialami setiap babi berbeda-beda. Ada yang diare, ada pula malas makan, tidur saja dan sulit bangun, keluar lendir di hidung, dan ada pula yang terasa panas di dahi atau kepala.
Joni Anus Tamael (32), peternak Kelurahan Naioni Kota Kupang, mengatakan memiliki 45 babi, 16 ekor di antaranya bunting. Biasanya sekali melahirkan menghasilkan 12-15 anak babi. Babi-babi itu masih aman dari ASF.
Ia mengatakan, peternak di kelurahan ini bentuk grup WA sendiri. Kami saling menginformasikan cara menangani gejala awal ASF ini. Ada peternak yang membebaskan ternak dari ASF dengan memberi makan daun pepaya mentah.
Babi tersebut tidak makan dua hari berturut-turut, tetapi ketika diberi makan daun pepaya, langsung bersemangat dan makan seperti biasa. ”Jadi, setiap hari, kami beri makan juga dengan daun pepaya mentah, selain makanan toko dan makanan biasa,” kata Joni.
Peternak di Bajawa, Lorens Ngai (47), mengatakan sudah mendengar soal virus ASF melanda sebagian wilayah NTT. Ngada belum terpapar virusini. Tetapi, peternak siap siaga mencegah masuknya ASF ini.
”Tidak perlu tunggu pihak lain. Kita cari jalan sendiri, bagaimana merawat babi ini agar bebas dari ASF. Sekarang ini, dunia internet sudah menyediakan semuanya, termasuk cara mencegah ASF. Kita bisa praktikkan itu,” katanya.
Kabid Kesehatan Ternak Dinas Peternakan NTT drh Melky Angsar mengatakan, dinas peternakan kabupaten/kota sudah menviralkan cara-cara praktis menghindari babi dari ASF. Informasi itu sudah beredar sejak dua pekan lalu setelah ditemukan kasus ASF di Kabupaten Kupang.
Tim dari Dinas Peternak Provinsi dan Dinas Peternakan Kabupaten Kupang pun sudah turun ke beberapa kecamatan di Kabupaten Kupang, membagikan disinfektan dan memberikan sosialisasi soal ASF ini.
”Kasus ini sudah memasuki gelombang kedua. Sebagian besar masyarakat sudah tahu prosedur pencegahan ASF,” ujarnya.