Banyak Peternak Babi di NTT Belum Mendapat Disinfektan
Peternak menilai penanganan demam babi Afrika tidak maksimal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Lebih kurang sebulan terakhir, lebih dari 250 ekor babi ternak di Nusa Tenggara Timur mati akibat virus demam babi Afrika (ASF). Sayangnya banyak peternak belum mendapat disinfektan untuk mengatasi virus yang beberapa tahun sebelumnya telah membunuh ratusan ribu ekor babi di daerah tersebut.
Laurens Lesu (40), peternak di Desa Pandai, Kecamatan Wotan Ulumado, Kabupaten Flores Timur, pada Kamis (26/1/2023), menuturkan, banyak peternak di desa itu hanya pasrah. Mereka tak punya cara selain memindahkan ternak ke kebun atau jauh dari permukiman. Itu pun masih ada yang terjangkit dan mati.
”Ada barang itu (disinfektan)-kah? Kami tidak pernah tahu. Kalau ada, pasti sangat membantu. Kami harap dinas peternakan bisa membagi barang itu ke desa-desa,” ujarnya.
Ia menuturkan, sejak African Swine Fever (ASF) merebak sekitar 2020, ratusan ekor babi di desa itu mati. Harga babi yang mati berkisar Rp 1 juta hingga Rp 10 juta. Kematian babi melumpuhkan ekonomi masyarakat setempat.
Hampir setiap rumah di desa itu memelihara babi. Babi dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ongkos pendidikan anak, dan biaya berobat. Babi juga digunakan untuk bahan persembahan kepada leluhur dalam upacara adat setempat.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur Sebastian Sina Kleden mengatakan, dalam satu bulan terakhir, 33 ekor babi di daerah itu mati. Ia sudah memerintahkan petugas kesehatan hewan di setiap kecamatan untuk membagi disinfektan.
”Peternak bisa langsung datang ke pusat kecamatan untuk mendapatkan disinfektan dan vitamin untuk disuntikkan ke babi. Nanti ada petugas kami yang membantu. Kami juga akan koordinasi dengan para kepala desa,” katanya.
Ia menegaskan komitmen pemerintah untuk membantu peternak mengatasi virus ASF. Kendati demikian, para peternak di sejumlah desa mengaku perhatian pemerintah untuk kasus itu sangat minim.
Kalau kasus PMK, Presiden dan Menteri Pertanian pasti bicara. Terus banyak bantuan untuk peternak. Kalau masalah babi, hampir tidak terdengar.
Johakim Naba (34), peternak dari Amarasi, Kabupaten Kupang, menuturkan, empat ekor babi miliknya mati akibat ASF. Sayangnya, tidak ada petugas kesehatan hewan yang datang memberi bantuan obat. Ia lalu membandingkannya dengan penanganan penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi.
”Kalau kasus PMK, Presiden dan Menteri Pertanian pasti bicara. Terus banyak bantuan untuk peternak. Kalau masalah babi, hampir tidak terdengar. Kami merasa ada diskriminasi. Padahal, babi di NTT sangat membantu menggerakkan ekonomi,” katanya.
Melky Angsar, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan NTT, mengatakan, kasus ASF yang merebak sejak 2020 kini masih endemik. Kasus ASF terjadi di semua wilayah NTT yang berjumlah 22 kabupaten/kota.
Menurut Melky, pihaknya sudah membuat 6,5 juta liter larutan disinfektan ke 166.000 kandang. Larutan itu sudah didistribusikan ke sejumlah daerah terdekat seperti Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan. Setiap kabupaten diminta membuat larutan dan mengedarkannya ke setiap desa.