Ratusan Ternak Babi di NTT Mati Terpapar Demam Babi Afrika
Demam babi Afrika meluas di NTT. Jika pemda dan peternak tidak segera mengatasi penyakit ini, virus ASF bakal membunuh semua ternak di daerah itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sedikitnya 233 ternak babi mati di enam kota dan kabupaten di Nusa Tenggara Timur akibat penyakit demam babi Afrika. Pernah mematikan ratusan ribuan ternak babi periode akhir 2019-2021, masih banyak peternak belum paham cara mengatasi penyebaran penyakit ini.
Sebelumnya, demam babi Afrika (African swine fever/ASF) kembali muncul di Nusa Tenggara Timur. Penyebabnya diduga dari 50 babi bantuan Kementerian Pertanian yang didatangkan dari Kabupaten Kupang ke sejumlah daerah melalui kapal feri pada 18 Desember 2022.
Setelah itu, 20 babi tercacat mati di Flores Timur, salah satu daerah penerima bantuan. Data Dinas Peternakan NTT menyebutkan, hingga 20 Januari 2023, 233 babi mati terpapar ASF di enam daerah.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan di Dinas Peternakan drh Melky Angsar di Kupang, Senin (23/1/2023), mengatakan, kasus kematian terbanyak ada di Kabupaten Kupang dengan 51 ekor. Selanjutnya, babi mati terdata di Kota Kupang (45), Flores Timur (33), Sumba Barat Daya (20), dan Sikka (41).
Jumlahnya berpotensi bertambah. Sejauh ini, enam daerah itu menjadi bagian dari 22 kota/kabupaten di NTT yang berstatus endemik ASF setelah wabah menyerang pada Desember 2019.
Kepala Dinas Peternakan, Pertanian, dan Perkebunan di Kabupaten Flores Timur Sebastianus Sina Kleden mengatakan, selain virus yang ada di tubuh babi, besar kemungkinan ternak itu kelelahan saat menempuh perjalanan panjang. Ditambah dengan asupan gizi yang rendah, saat tiba di lokasi penerima bantuan, ASF dengan mudah mematikan ternak itu.
Akan tetapi, belum semua petani paham dengan pencegahan itu. Masih ada peternak yang mengonsumsi dan menjual babi mati karena ASF. Jika dibiarkan, bakal semakin banyak ternak mati. Periode akhir tahun 2019 hingga medio 2022, sedikitnya 122.000 babi mati terpapar ASF (Kompas, Jumat, 6/1/2023).
Joni Tamael (32), peternak di Kelurahan Naioni, Kota Kupang, mengatakan, peternak belum sepenuhnya paham mencegah penyebaran virus ASF. Akibatnya, kematian ternak masih terjadi.
Sejauh ini, belum semua peternak menyisihkan uangnya untuk membeli vitamin, memberikan pakan terbaik, memperketat arus lalu lintas manusia di kandang, hingga rajin membersihkan kandang dengan disinfektan. ”Banyak petani butuh sosialisasi dari pemerintah. Belum semua peternak paham soal penyebaran ASF,” kata peternak dengan 165 babi itu.
Bernadus Reo (62), peternak babi di Desa Mewet, Flores Timur, mengatakan, sangat berharap perhatian pemerintah mencegah penyebaran ASF. Dia tidak ingin pengalamannya rugi hingga Rp 250 juta setelah 25 babinya mati akibat ASF beberapa tahun lalu bakal terulang kembali. Bagi dia, babi adalah ”tabungan” untuk biaya hidup dan pendidikan anak.
”Kini saya memelihara 20 babi setelah katanya ASF hilang. Namun, saat ada kabar kematian babi akibat ASF di desa tetangga, kami sangat khawatir,” ujarnya.
Ke depan, ia meminta pengawasan keluar masuk dari daerah terpapar ASF. Tujuannya, mencegah penularan guna menekan angka kematian babi. ”Jika sudah terungkap bahwa ternak bantuan dari Kabupaten Kupang itu terpapar virus, daerah itu segera diisolasi. Ternak dari daerah itu tidak boleh keluar sebelum virus dibasmi,” katanya.