Ainun Saniah, Menyulap Sampah Menjadi Kreasi dan Menyelamatkan Bumi
Ainun Saniah (65) tak tinggal diam melihat sampah menggunung di TPA Medan. Ia mengumpulkan sampah plastik dan menyulapnya jadi tas hingga tikar. Lebih 15 tahun ia konsisten melatih orang membuat kreasi daur ulang.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Ainun Saniah (65) menunjukkan sejumlah produk hasil kreasi daur ulang sampah plastik seperti tas, tikar, bunga tiruan, dan tempat tisu pada pertemuan bank sampah di Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/1/2023).
Ainun Saniah (65) tak mau tinggal diam melihat tumpukan sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terjun, Kota Medan. Ia mulai mengumpulkan sampah plastik dari rumah, sekolah, dan warung agar tidak berakhir di tempat sampah. Ainun lalu menyulapnya menjadi kerajinan tangan seperti tas, tikar, atau tempat tisu yang punya nilai ekonomi sirkular tinggi.
Semangat Ainun tak surut meladeni puluhan pengunjung yang tak henti-henti bertanya tentang kerajinan tangan berbahan sampah plastik yang ia jajakan pada pertemuan tahunan bank sampah di Bank Sampah New Normal, Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/1/2023). Tak lupa ia mengajak para pengunjung, khususnya kaum ibu, untuk datang ke rumahnya belajar membuat kreasi dari sampah plastik.
“Ayo datang ke rumah saya di Medan Belawan. Ibu-ibu cukup bawa sampah plastik saja untuk bahan belajar membuat kerajinan. Nanti bawa bekal makan sendiri ya karena saya tidak sempat memasak,” kata Ainun kepada para pengunjung sambil membagikan nomor ponselnya.
Warna-warni kerajinan tangan buatan Ainun memang cukup menarik perhatian. Ia membuat beberapa tas pakaian dari plastik bekas kemasan detergen dan pewangi pakaian. Plastik kemasan minyak goreng yang tebal dibuatnya jadi tas hadiah (goodie bag). Sementara, plastik saset dianyam menjadi tikar, tempat tisu, atau tas tangan. Ada juga styrofoam yang dibentuk menjadi hiasan berbentuk bunga.
Para pengunjung melihat hasil kreasi daur ulang sampah plastik yang dibuat Ainun Saniah pada pameran pertemuan bank sampah di Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/1/2023).
Ainun mulai membuat kerajinan dari sampah sejak 2007. Ketika itu, ia yang bergabung sebagai kader kelurahan dan posyandu mendapat pendampingan dari sejumlah lembaga tentang pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Mereka dibawa ke TPA Terjun untuk melihat tumpukan sampah yang menggunung. Para ibu-ibu diajak untuk memilah dan mengelola sampah sejak dari dapur agar sampah yang sampai ke TPA bisa dikurangi.
“Ibu-ibu punya peran penting untuk mengurangi sampah yang berakhir di TPA karena banyak sampah yang berasal dari dapur seperti kemasan detergen, minyak goreng, saset makanan, hingga sampah organik,” kata Ainun.
Mereka membuat bank sampah untuk memilah dan mengelola sampah. Ainun sendiri menekuni kreasi daur ulang sampah plastik terutama sejak suaminya meninggal. Sebelumnya, suaminya yang bekerja di perusahaan perkapalan di Pelabuhan Belawan menjadi satu-satunya tulang punggung ekonomi keluarganya. Ainun lalu membeli mesin jahit dan beberapa peralatan untuk membuat kerajinan tangan.
Usaha yang dilakukan Ainun lalu berbuah hasil. Permintaan hasil kerajinan tangan untuk memenuhi perlengkapan seminar atau diskusi yang dilaksanakan pemerintah, perusahaan, dan lembaga lain cukup besar. Pesanan paling banyak adalah tas hadiah untuk peserta seminar. Setiap ada seminar dia mendapat omzet Rp 5 juta – Rp 10 juta. “Dari sampah, saya bisa menyekolahkan empat orang anak saya hingga ke perguruan tinggi,” kata Ainun.
Ainun tidak mau menikmati sendiri manfaat ekonomi sirkular dari sampah. Ia mengajak tetangga, keluarga, dan teman-temannya untuk membuat kerajinan tangan dari sampah. Selama lebih dari 15 tahun menggeluti kerajinan tangan itu, hampir setiap hari ada saja orang yang datang ke rumahnya untuk belajar membuat kerajinan.
Mereka juga bekerja sama untuk memproduksi dan memasarkan produk dari sampah. Produk-produk itu dijual dari harga Rp 5.000 sampai Rp 600.000 per buah. Sejauh ini, mereka baru menjual produk kepada lembaga pemerintahan atau menjajakannya di pameran-pamerah. Produk mereka biasanya langsung ludes setiap ada acara.
Berbagi ilmu
Selain mengajar di rumahnya, Ainun juga sering diundang menjadi pembicara dan pelatih di hampir semua kabupaten/kota di Sumut. Ia juga diundang ke berbagai kota di luar Sumut seperti Banda Aceh, Bangka Belitung, Surabaya, hingga Bandung. “Semangat untuk mengurangi sampah plastik harus disebarkan ke semua orang. Dan saya selalu sampaikan kalau sampah itu adalah barang yang mempunyai nilai jadi sangat sayang kalau dibuang,” kata Ainun.
Ainun juga membagikan teknik kreasi daur ulang itu di berbagai media sosial seperti di Instagram (ainunsan2008), Facebook (Ainun San), dan Youtube (Omasan Kreatif). Akun-akun media sosialnya itu dia gunakan untuk berbagi agar orang-orang yang tidak bisa datang ke rumahnya bisa menonton cara membuat produk dari sampah plastik.
Apalagi, belum banyak video di media sosial tentang pembuatan kerajinan tangan dari sampah. Beberapa video yang diunggah Ainun di Youtube cukup populer dan ditonton hingga 13 ribu kali. Ainun merekam sendiri konten-konten video yang dia bagikan. Ia hanya mengatur posisi kamera ponsel pintarnya menggunakan tripod lalu memulai proses rekaman.
Untuk urusan mengedit dan mengunggah video juga langsung ditangani Ainun. “Setelah beberapa kali saya belajar dari anak, saya lakukan semuanya sendirian. Tujuan saya megunggah di media sosial untuk mengajak lebih banyak orang yang memilah dan mengelola sampah sendiri sejak dari rumah. Jadi tidak perlu saya membayar orang untuk pembuatan video,” ujar Ainun.
Produk kreasi daur ulang sampah plastik itu, kata Ainun, juga menjadi media kampanye agar orang-orang menyadari betapa banyaknya sampah yang dihasilkan. Namun, sampah-sampah itu masih bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dan bisa menciptakan ekonomi sirkular baru.
Satu tikar plastik berukuran 2,8 meter x 2,1 meter, misalnya, bisa menyerap lebih dari 100.000 lembar sampah plastik saset. Ainun bisa menyelesaikan kerajinan itu 1-2 hari per tikar. Ainun mengutamakan penggunaan plastik saset karena tidak bisa didaur ulang dan tidak laku dijual kiloan. “Kemarin saya baru jual tikar itu dengan harga Rp 600 ribu,” kata Ainun.
Para pembeli hasil kerajinan dari sampah juga biasanya membeli ulang produk karena menjadi daya tarik bagi orang di sekitarnya. Ainun selalu mengekspos bentuk sampah plastik dan merk produknya agar orang tahu produk itu memang terbuat dari sampah. Hal itu sekaligus sebagai kampanye untuk mengajak orang ikut mengelola sampahnya. Ia tidak mau membuat produk yang berusaha menutupi warna dan bentuk asli sampah plastik itu.
Pernah ada pembelinya memesan ulang tas pakaian karena tas miliknya diminta orang di bandara. Awalnya pembeli itu tidak mau memberikan tas itu meskipun diganti dengan harga jauh lebih tinggi karena memang harus dipakai sebagai tempat pakaiannya ke luar kota. Namun, orang yang tidak dikenalnya itu sangat tertarik dengan tas dari sampah itu sehingga rela menukarkannya dengan tas kopernya yang jauh lebih mahal.
KOMPAS/ EDDY HASBY
Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Dengan pengalaman-pengalaman itu, Ainun yakin, kampanye untuk mengelola sampah sejak dari rumah sebenarnya bisa lebih maksimal dilakukan karena masyarakat sebenarnya sudah punya kesadaran. Ia berharap semakin banyak orang yang mau terlibat mengurangi produksi sampah yang sampai di TPA.
Direktur Bank Sampah New Normal Yasra Al-Fariza mengatakan, pengelolaan sampah sangat penting di tengah banyaknya sampah yang diproduksi warga kota metropolitan Medan. “Ada 2.000 ton sampah per hari yang dihasilkan masyarakat Medan, sekitar 800 ton di antaranya berakhir di TPA,” kata Yasra.
Yasra menyebut, baru sekitar 13 persen atau 260 ton per hari sampah Kota Medan yang dipilah dan dikelola sehingga tidak berakhir di TPA. Sampah-sampah itu dikelola bank sampah, kreasi daur ulang, atau dimanfaatkan oleh perusahaan pengolah sampah menjadi energi atau daur ulang plastik. Sisanya sekitar 1.000 ton per hari tidak terkelola dan mencemari lingkungan.