Pahit Manis Kisah Tionghoa di Kota Malang
Imlek menjadi salah satu perayaan sukacita bagi etnis China di seluruh dunia. Begitu juga di Malang. Namun, di balik sukacita Imlek di Kota Malang, ada kisah mengejutkan yang tak banyak orang paham. Harus jadi pelajaran.
Imlek menjadi salah satu perayaan sukacita etnis China di seluruh dunia. Begitu juga di Malang, Jawa Timur. Namun, di balik sukacita Imlek di Kota Malang, ada kisah mengejutkan yang tak banyak orang paham. Sesungguhnya, pahit manis kisahnya bisa menjadi pembelajaran.
Imlek identik dengan perayaan tahun baru bagi etnis Tionghoa. Di beberapa tempat, hiasan lampion merah menyemarakkan suasana. Salah satunya di Klenteng Eng An Kiong, Kotalama, Malang, Jawa Timur.
Halaman kelenteng yang dibangun tahun 1825 tersebut memerah indah dengan deretan lampion yang tertata simetris. Pada malam hari, warna merah dari lampion memanjakan mata mereka yang melihat.
Selain pernak-pernik imlek, salah satu hal tak bisa dilupakan dalam merayakan Imlek adalah kuliner. Di Kota Malang, salah satu makanan khas Malang paling diburu adalah Bakpao Boldy.
Bakpao Boldy lahir usai kemerdekaan RI, tepatnya tahun 1950 di kawasan Boldy, Kotalama. Pelanggan bakpao tersebut dari dalam dan luar kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali.
Baca juga: Memasukkan Tionghoa dalam Sejarah Indonesia
Harga sebuah Bakpao Boldy cukup mahal jika dibandingkan bakpao biasa, yaitu Rp 13.000-Rp 17.000 per buah. Isian Bakpao Boldy antara lain kacang merah, kacang hijau, ayam, atau babi.
”Jelang Imlek ini banyak pesanan dari dalam dan luar kota, dari kelenteng maupun dari orang biasa,” kata Rita (50), salah satu pekerja di Bakpao Blody.
Menurut Rita, bakpao yang sudah ada sejak tahun 1950 itu sudah memiliki pelanggan setia. Ibaratnya, pelanggannya sudah menikmati kelembutan bakpao dan isian yang sangat menggugah selera itu sejak puluhan tahun lalu. ”Lamanya bisa saja kayak lama kami bekerja di sini, puluhan tahun, ha-ha-ha,” kata perempuan yang sudah bekerja di sana selama 30 tahun itu.
Selama pandemi Covid-19, pembeli Bakpao Boldy merosot drastis. Mereka masih mengirim bakpao ke luar kota, tetapi jumlahnya menurun drastis.
”Sekarang tidak seperti dulu. Kalau dulu, pekerja di sini bisa mencapai 15 orang. Kini hanya 5 orang. Namun, untuk Imlek ini pembelian lumayan meningkat,” kata Rita. Sebut saja jika biasanya hanya satu kali masak (100 buah), pada imlek kali ini mereka setidaknya bisa masak lebih dari tiga kali angkatan.
Baca juga: Imlek, Awal Kehidupan Baru
Momen spesial seperti Imlek menjadi salah satu titik balik kebangkitan usaha. Termasuk usaha bakpao yang saat ini dikelola oleh sang istri, Tjan Li song (80).
Selain kiprah di bidang ekonomi, etnis Tionghoa di Malang juga berkiprah dalam bidang kesehatan. Berkaca pada masa-masa kelam tahun 1911 saat merebak wabah pes di Malang, komunitas Tionghia di Malang akhirnya membuat poliklinik Tiong Hwa Ie Sia (sekarang bernama RS Panti Nirmala) pada 1929.
Poliklinik itu melayani warga kurang mampu tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial dan ekonomi. Di antara pasien poliklinik tersebut adalah warga Tionghoa dan pribumi yang saat itu mendapat diskriminasi layanan kesehatan dari Pemerintah Belanda. Poliklinik tersebut muncul sebagai institusi kesehatan pertama di Malang yang diinisiasi kaum Tionghoa.
Begitulah, beberapa kisah manis komunitas Tionghoa di Malang.
Baca juga: Momentum Kemunculan Wisata Kampung Pecinan Surabaya
Kisah pilu
Namun, di balik kisah manis itu, ada kisah pilu yang sepatutnya kita tahu. Bahwa, kisah Tionghoa di Malang tidak melulu legit, tetapi juga pahit.
Catatan kisah pahit Tionghoa di Malang muncul dalam artikel Arsip Nasional Republik Indonesia Volume 18 nomor 1 tahun 2022 berjudul ”Kekerasan terhadap Golongan Tionghoa pada Masa Revolusi di Malang 1945–1949” karya Geza Surya Pratiwi.
Sebagai gambaran awal, saat itu etnis Tionghoa Malang terdiri dari kelompok Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok. Istilah Tionghoa peranakan digunakan untuk menyebut mereka yang dilahirkan di Hindia Belanda, sedangkan Tionghoa totok adalah mereka yang dilahirkan di China daratan. Pada tahun 1930, penduduk Tionghoa peranakan berjumlah 5.553 orang, terdiri dari 2.873 laki-laki dan 2.680 perempuan. Berdasarkan kelompok umurnya, kelompok umur 0-14 tahun merupakan yang paling banyak, yakni 2.073 orang.
Adapun kelompok Tionghoa totok tercatat berjumlah 2.263 orang, terdiri dari 1.741 laki–laki dan 522 perempuan. Berbeda dengan golongan peranakan, golongan totok didominasi oleh kelompok umur 20–49 tahun yang berjumlah 1.286 orang (Volkstelling 1930 Deel VII: Chinezen en Andere Vreemde Oosterlingen in Nederlandsch Indie, 1930: 262-263).
Baca juga: Wayang Potehi, Seni yang Lahir di Penjara
Dari sisi etnisitas, Tionghoa di Malang didominasi oleh kelompok Hokkian, yaitu 4.292 orang. Jumlah ini disusul oleh kelompok Kwong Foe sebanyak 670 orang dan kelompok Hakka 103 orang. Jumlah paling sedikit adalah kelompok Tio Tjoe, yaitu 23 orang.
Dengan latar belakang berbeda itu, boleh dibilang etnis Tionghoa di Malang bersatu karena Perkumpulan Ang Hien Hoo. Itu adalah perkumpulan sosial kematian yang didirikan pada 1910. Perkumpulan ini menggunakan Kelenteng Eng An Kiong sebagai tempat berkumpul (Budianta, 2012: 257). Perkumpulan ini menjadi sarana bagi golongan Tionghoa untuk berkumpul dan bersama-sama dalam berkarya dalam hal budaya. Perkumpulan sering mengadakan pertunjukan seperti wayang Tionghoa dan tarian naga.
Pada tahun 1940, dari total penduduk Malang sebanyak 169.316 jiwa, jumlah penduduk Eropa sebanyak 13.867 jiwa dan penduduk Tionghoa sebanyak 12.233 jiwa (Volkstelling 1930 Deel VII: Chinezen en Andere Vreemde Oosterlingen in Nederlandsch Indie, 1930: 262-263). Mereka dikelompokkan berdasarkan etnis (segregasi sosial) dengan pola permukiman mengelilingi alun-alun kota.
Orang Belanda tinggal di dekat pusat-pusat pemerintahan dan jalan yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka tinggal di sebelah barat daya alun-alun, yaitu daerah Taloon, Tongan, Sawahan, Rampal, Klodjenlor, Tjelaket, Oro–Oro Dowo, Kayutangan, dan sekitarnya. Sementara orang-orang Tionghoa, yang sebagian besar merupakan pedagang, tinggal di sebelah tenggara alun–alun. Daerah tersebut dekat dengan Pasar Besar yang kemudian disebut Pecinan. Adapun penduduk pribumi tinggal di gang-gang kecil di sebelah selatan alun–alun (Handinoto, 1996: 21).
Baca juga: Merayakan Imlek dengan Semangkuk Soto
Sentimen negatif
Kisah pilu Tionghoa di Malang menguat pada masa revolusi kemerdekaan. Meskipun, sebenarnya sentimen negatif pada komunitas Tionghoa sudah muncul pada masa kolonial. Itu karena mereka dianggap telah mendapat keuntungan secara ekonomi pada masa kolonial (Kahin, 1985: 12).
Menurut Geza, kekerasan pada komunitas Tionghoa mulai menguat ketika tentara Inggris mulai menginjakkan kakinya di Surabaya dan pecah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Saat itu, Malang menerima gelombang pengungsi dari Surabaya.
Saat itu, muncul isu bahwa sejumlah orang Tionghoa direkrut Belanda menjadi mata-mata pada peristiwa 10 November 1945. Mereka inilah yang kemudian dipanggil ”Andjing NICA”. Bahkan, Bung Tomo dalam pidato-pidatonya menganggap bahwa bangsa Tionghoa juga harus dilawan karena mereka adalah antek Belanda.
Pada akhir tahun 1946, kembali muncul rumor bahwa di Kota Malang dibentuk sebuah organisasi Tionghoa anti-kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini menamakan diri Anti Indonesia Merdeka. Belakangan, organisasi berganti nama menjadi Peta (Penak Toeroet Amerika atau Enak Ikut Amerika). Organisasi dipimpin oleh seorang bernama Kwee Djoen Siang yang tinggal di Jalan Jagalan Malang. Usaha yang dilakukannya adalah mencetak uang palsu dan menyelenggarakan pertunjukan sandiwara untuk melemahkan kekuatan Republik.
Baca juga: Tionghoa, Apa Kita Sudah Kenal?
Walaupun organisasi ini tidak terlalu massif, tetapi telah berkontribusi terhadap menguatnya anggapan di kalangan masyarakat Malang bahwa orang-orang Tionghoa tidak mendukung perjuangan revolusioner Indonesia.
Saat agresi militer Belanda I, Kwee Thiam Tjing, penulis Tionghoa yang dikenal dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri, menggambarkan suasana Kota Malang cukup mencekam bagi golongan Tionghoa. Saat itu marak kekerasan massal pada etnis Tionghoa, terutama pada 21-31 Juli 1947 (Berdoeri, 2004: 225).
Masuknya Belanda ke Malang dibarengi dengan aksi bumi hangus Kota Malang. Aksi kekerasan dengan dalih bumi hangus pun menguat. Pada 31 Juli 1947, pembakaran dan penjarahan terjadi di pusat kota oleh beberapa kelompok yang menyebut diri laskar perjuangan (Hui, 1947: 15). Tjamboek Berdoeri mencatat sekitar 30 orang Tionghoa dibawa oleh sekelompok pemuda bersenjatakan bambu runcing, klewang, granat tangan, dan senapan menuju ke luar kota.
Baca juga: Menyambut Imlek di Petak Sembilan
Sesudah dikumpulkan di gedung Tiong Hwa Ie Sia atau Balai Pengobatan Tionghoa, mereka digiring ke sebuah pabrik di Mergosono dan Gadang. Mereka dibawa karena didakwa sebagai mata-mata musuh sebab ditemukan membawa uang kertas NICA.
Padahal, sikap itu sebenarnya sangat wajar mengingat kondisi inflasi kala itu. Geza menyebut pada 22 Maret 1947 tercatat nilai tukar ORI dengan uang NICA adalah 5,45 berbanding 100. Untuk itulah beberapa orang Tionghoa lebih memilih menggunakan uang NICA dibandingkan uang ORI karena lebih menguntungkan.
Keesokan harinya, orang-orang Tionghoa yang dibawa tersebut ditemukan telah menjadi mayat. Menurut beberapa sumber, beberapa orang ada yang berhasil melarikan diri karena bantuan salah seorang golongan terpelajar Indonesia. Chung Hua Tsung Hui melaporkan bahwa dari total 30 orang yang dibawa oleh kelompok tersebut, 26 orang di antaranya ditemukan telah menjadi mayat. Menurut Algemeen Indisch Dagblad (edisi 20 Agustus 1947), 21 dari mayat-mayat tersebut dikuburkan dalam keadaan mengenaskan.
Mereka diduga menjadi korban atas kekerasan sebelum akhirnya dibunuh dan dibakar dalam pabrik tersebut. Tindakan kejahatan yang mengerikan itu disebut dipimpin oleh seorang bernama Lasmoe, yang akhirnya ditangkap dan dihukum.
Surat kabar De Gooien Eenlander, edisi 7 Agustus 1947, mengutip surat kabar Tionghoa, Keng Po, melaporkan bahwa 23 orang Tionghoa telah diculik dari daerah Kotalama dan semuanya ditemukan mati dalam keadaan menyedihkan. Selain itu, surat kabar yang sama juga melaporkan bahwa rumah dari menteri negara baru Republik, Thio Giok Tjan, di Kayutangan telah dikosongkan dan dijarah.
Di Watugong juga ditemukan sebuah kuburan massal. Setidaknya ada 12 kuburan digali yang diperkirakan berisi korban dari aksi kekerasan beberapa bulan sebelumnya. Penggalian dilakukan di hadapan para pengamat dari UNCI (United Nation Commission for Indonesia), Belanda, dan Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa korban berhasil diidentifikasi meskipun mayat-mayat tersebut ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Disebutkan, kekerasan oleh beragam kelompok pada masa agresi adalah karena aparat keamanan RI dan pemerintahan Kota Malang sibuk menghadapi Pasukan Belanda, yang telah berhasil menguasai sebagian wilayah Kota Malang.
Baca juga: Jejak Visual Masyarakat Tionghoa di Hindia-Belanda
Pelajaran
Dalam penutup artikelnya, Geza menyimpulkan bahwa kekerasan menimpa golongan Tionghoa pada masa revolusi umumnya sebagai kulminasi kemarahan rakyat Indonesia atas ketidakadilan yang dialami selama masa kolonial. Sementara itu, komunitas Tionghoa yang posisinya sebagai minoritas perantara sering menjadi sasaran kemarahan karena mereka dipandang sebagai kelompok yang mendapatkan keuntungan baik secara ekonomi maupun politik.
Sebagai perantara antara pemerintah kolonial dan pribumi, orang Tionghoa sering kali dijadikan kambing hitam oleh pemerintah kolonial dan sekaligus menjadi sasaran stigma yang kurang baik di mata golongan pribumi. Di Kota Malang, stigma buruk itu diperburuk tindakan beberapa orang Tionghoa pada masa penjajahan Jepang yang banyak merugikan penduduk pribumi, seperti melakukan penimbunan barang hingga penguasaan atas rumah-rumah milik orang Eropa.
”Berkaca pada kisah Tionghoa di Malang, sebenarnya ada beberapa pelajaran bisa dipetik. Pertama, bahwa di setiap situasi selalu ada orang atau kelompok yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan dengan melakukan tindakan kekerasan,” kata sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono.
Oleh karena itu, menurut Dwi, masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi dan tetap berpikir jernih dalam situasi sesulit apa pun.
Hal lain bisa dipetik, menurut Dwi, adalah segregasi atau pemisahan sosial ala pemerintah kolonial (terhadap Tionghoa dan komunitas masyarakat lain berbasis etnis) yang mudah dimanfaatkan untuk mengembuskan rumor negatif. Pemisahan sosial ini menyebabkan komunikasi dan interaksi antarkomunitas menjadi terbatas bahkan terputus.
”Segregasi ini menyebabkan hubungan antarkomunitas menjadi berjarak dan komunikasi tidak berjalan baik. Terjadi eksklusivitas komunitas yang bisa memicu kecurigaan dengan komunitas lain. Itu sebabnya, menjaga inklusivitas masyarakat sangatlah penting. Semua berbaur dan berkomunikasi dengan baik guna meminimalkan gesekan dan mengedepankan keterbukaan bersama,” kata Dwi.
Demikianlah, sejarah mengajarkan banyak hal akan pahit dan manisnya kehidupan. Selamat Imlek atau Tahun Baru China 2023.
Baca juga: Imlek, Politik Identitas dan Kohesi Sosial