
Saat saya masih SD, dua teman saya beretnis Tionghoa. Tetangga depan rumah adalah murid sekolah swasta mahal, punya mobil-mobilan mengilap yang ia mainkan di balik pagar tinggi rumah mereka. Anak Tionghoa satunya adalah kawan sekelas saya di SD negeri terdekat, putra pemilik toko kelontong di pasar. Alih-alih mobil-mobilan, sepeda pun harus pinjam ke abangnya.
Dua tak banyak, tapi karena mewakili kutub berlawanan, cukup untuk mengajari saya, tanpa ceramah, bahwa Tionghoa tak sewarna. Ya, banyak China kaya, tapi ada juga China yang harus berbagi sepeda di sebuah ruko petak di sudut pasar.
Saya sering menceritakan ini karena, walau kesannya klise, adalah fakta. Fakta yang sayangnya kerap luput dari ingatan kolektif puak Melayu, salah satu etnis mayoritas dan penikmat privilese tertinggi di Indonesia. Apalagi kalau sentimen ras sudah dibakar dendam kelas dan hasrat politik, urusan Tionghoa jadi begitu gaduh dan pelik. Terus dipersoalkan, terutama oleh kaum yang mungkin tahu Tionghoa sebatas stereotip yang digenderangkan oleh orang lain.
Jadi, daripada tak selesai menyoal, mari mencoba lebih mengenal Tionghoa.
Walau Indonesia miskin tradisi museum, kegigihan usaha pribadi ternyata bisa melahirkan Museum Benteng Heritage (MBH) dan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa (MPPT).
Didirikan pada 2011 oleh wiraswastawan Udaya Halim, MBH bertempat di shophouse khas pedagang Tionghoa yang ditengarai berasal dari abad ke-17 di dalam Pasar Lama Tangerang, tempat Udaya dibesarkan.
Lantai batu kecoklatan, bagian asli bangunan yang terkuak dalam dua tahun proses restorasi, menyapa kaki pengunjung di lantai dasar. Langit-langit tinggi berlampion merah menggoda lensa kamera di ruangan utama yang dipenuhi perabotan antik Tionghoa. Memorabilia bersifat pribadi, seperti pakaian, aksesori, kartu ceki dan perangkat candu, ada di lantai dua. Terkadang MBH menggelar acara untuk lebih mengenalkan budaya Tionghoa kepada masyarakat.
Diapit kedai pasar dengan segala keriuhannya, MBH adalah etalase sejarah sekaligus realitas terkini. Berjualan dari kue sampai bunga, pedagang Tionghoa yang memenuhi Pasar Lama Tangerang berbaju sederhana dan bersandal jepit, bukan taipan di dalam Lamborghini. Realitas ini sebenarnya juga terpampang di banyak pasar seantero Indonesia—penjual Tionghoa yang gigih berjualan, bahkan saat liburan, karena memang hanya itu penghidupan mereka.
Mungkin realitas masa kini jarang dilirik kaum mayoritas karena masa lalu Tionghoa banyak ditutupi sejak 1965. Azmi Abubakar, pria Aceh mantan aktivis, juga tergerak mengumpulkan kisah puak Tionghoa di Nusantara yang terserak atau tersembunyikan demi menyampaikan sejarah seutuhnya.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa didirikan sekitar 2011 di sebuah ruko di Tangerang Selatan milik Azmi dan Rini, perempuan Minang berkerudung yang ia peristri. Dua lantai ruko ini dipenuhi ribuan lembar kepustakaan tentang kehidupan Tionghoa sejak pra-kemerdekaan, dari majalah, resep masak, komik, catatan kependudukan kolonial Belanda, sampai jurnal seorang mayor Tionghoa di zaman Jepang. Studi sosial dan biografi tokoh Tionghoa setelah kemerdekaan pun bisa ditemukan.
Selain literatur, MPPT menyimpan juga patung, papan nama, dan setumpuk foto menguning yang kadang tak dipahami narasinya oleh Azmi dan Rini yang tidak menguasai bahasa Mandarin. Kepustakaan MPPT yang dimulai dari koleksi Azmi pribadi sekarang diwarnai donasi literatur dari beberapa keluarga Tionghoa.
Memaksudkan MPPT sebagai jembatan antara mayoritas Melayu dan minoritas Tionghoa, Azmi dan Rini selalu membuka pintu bagi penggemar sejarah. Dilihat dari kerapnya peneliti asing menyambangi MPPT, sudah waktunya lebih banyak orang Indonesia yang tergugah mengenali penggalan sejarah dalam arsip-arsip berharga di sana.
Enggan dibatasi museum? Budaya Tionghoa juga bisa dilihat dalam pesta rakyat di Semarang dan Singkawang.
Seminggu jelang Imlek, pecinan di Semarang menggelar Pasar Semawis yang legendaris. Setelah senja, berbagai tenda jualan dipadati warga yang sukarela berdempetan. Malam itu saya berbagi meja dengan perempuan paruh baya Tionghoa yang mengajak dua pegawai barunya menikmati keriaan. Sang encik menyantap hidangan khas setempat, sementara saya dan pegawainya memilih versi halal dari tenda sebelahnya.
Di bagian lain, ada kedai peramal, panggung komedi berbahasa Jawa, dan wayang potehi. Saat malam melarut, gemuruh barongsai keluar dari salah satu sudut. Ramai orang berwisata ke Kelenteng Sam Po Kong, tetapi potret keragaman Semarang terpatri dalam kebersamaan di Pasar Semawis dan Karnaval Imlek di pusat kota.
Pada purnama pertama Tahun Baru Lunar, Cap Go Meh dirayakan. Tiap puak Tionghoa punya tradisi sendiri, tapi perkawinan budaya China dengan Dayak di Kalimantan Barat melahirkan Cap Go Meh unik tak tertandingi.
Sejak pagi, ratusan kelompok menapaki jalan-jalan utama Singkawang dalam Parade Tatung di mana para tatung (pengampu roh) melakukan atraksi kekebalan tubuh dalam keadaan trance sebagai proses menyatu dengan roh dewa dan leluhur. Begitu populernya Parade Tatung Singkawang sampai beberapa grup kelenteng Malaysia ikut bergabung.
Demografi tatung—Tionghoa, Melayu, Dayak, laki-laki, perempuan, tua, muda adalah potret keragaman Singkawang seutuhnya. Di antara jejalan warga di tengah kota kecil yang hanya 5 jam perjalanan darat dari perbatasan Malaysia itu, Bhinneka Tunggal Ika bukan slogan, melainkan keseharian yang dirayakan. Ketionghoaan direngkuh dan dikenal, tak semata dipersoalkan.
Sungguh pekerjaan rumah besar untuk Indonesia.
Selamat Tahun Tikus Logam 2571.