Tidak jarang, untuk memobilisasi perolehan suara, politik identitas digunakan. Isu perbedaan ras, etnis, agama, dan kepercayaan diangkat serta digunakan untuk menggalang kekuatan. Imlek melebur sentimen perbedaan itu.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Merayakan tahun baru China, Imlek, ini diam-diam kita kembali teringat pada sebuah isu lama, tetapi masih tetap hangat dan kerap ditawarkan kepada pembacanya, yaitu isu kita dan mereka, pribumi dan nonpribumi, seperti yang tetap kembali dimunculkan akhir-akhir ini.
Di Indonesia, sejarah negeri ini tidak pernah sepi dari konflik atau kerusuhan sosial yang kerap memunculkan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam sekaligus korban. Awal mula rasisme terhadap Tionghoa sendiri sudah terjadi sejak masa kolonial sebagai strategi politik pemerintah kolonial untuk memelihara kebencian di antara masyarakat Hindia Belanda.
Dengan begitu, mereka dapat memainkan peran ganda, berdiri di antara dua pijakan untuk menjaga stabilitas politik. Dalam situasi seperti itu, kelompok paling lemah akan cenderung dikorbankan.
Hingga masa Orde Baru, sentimen anti-Tionghoa dimanipulasi dalam bentuk tekanan politik, tindak kekerasan, atau diskriminasi yang dikemas dalam bentuk nasionalisme atau ekonomi nonpribumi. Hubungan keduanya ditempatkan dalam aneka ”bingkai” (frame) dan ”pembingkaian” (framing) yang di dalamnya prinsip dan ekspresinya dibatasi, baik melalui bingkai antropologis, ekonomi, kultural maupun politik.
Namun, isu-isu seputar Tionghoa yang kerap diembuskan bertujuan politik identitas sebenarnya tidak lebih dari usaha memperkuat posisi politik kelompok tertentu.
Namun, isu-isu seputar Tionghoa yang kerap diembuskan bertujuan politik identitas sebenarnya tidak lebih dari usaha memperkuat posisi politik kelompok tertentu. Karena sesungguhnya interaksi sosial dan kultural orang-orang Tionghoa dan masyarakat etnis lain telah berlangsung dalam kehidupan yang kompleks dan dinamis.
Dalam realitas sosial orang-orang etnis Tionghoa memang senantiasa mendapat stigma dan citra jelek. Namun, sebaliknya dalam interaksi kultural, mereka melebur ke dalam nilai-nilai dan unsur-unsur kebudayaan setempat. Dalam realitas kultural, orang-orang etnis Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan kebudayaan.
Mereka mewariskan teknologi pembuatan alat dan senjata dari logam, serta teknologi pengolahan dan peralatan pertanian. Denys Lombard menyebut bahwa Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dipimpin oleh Raden Patah, seorang raja keturunan China. Di bidang kuliner, banyak menu makanan kita merupakan akulturasi resep dapur China seperti mi, capcai, kecap, dan tahu.
Orang-orang Tionghoa juga memperkaya keahlian dan karya-karya dalam bidang seni kriya, terutama batik yang kemudian lebih dikenal sebagai produk seni Jawa. Di Solo, ada nama Go Tik Swan, pengusaha batik yang dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk menciptakan ”batik Indonesia”, bukan batik Solo, batik Yogya, batik Pekalongan, batik Cirebon, batik Lasem dan lain-lainnya.
Go Tik Swan mengembangkan batik tradisional atau klasik sehingga memiliki ciri tersendiri dalam gagasan nasionalisme dan identitas-kultural Indonesia, sebagai ”batik Indonesia” (Mawardi, 2011).
Dekonstruksi
Oleh karena itu, kita perlu mendekonstruksi stereotifikasi terhadap etnis Tionghoa itu dengan meletakkan kesadaran bersama dalam sebuah medan ”transkultural”, yang menekankan kaitan antara logika sejarah, kondisi kontekstual, dan ”struktur komunalisme” dalam satu bangsa yang sama.
Perluasan horizon pikir ini pada saat yang sama membuka kemungkinan harmoni kebudayaan dalam masyarakat, sesuatu hal yang rentan dan kerap tersulut api emosi.
Dalam konteks lebih luas, hal ini bisa diwujudkan lewat pergaulan kebudayaan sebagai upaya memahami problematika hidup dan kehidupan, kemudian berupaya mengambil peran yang berguna bagi sesama.
Orang-orang Tionghoa juga memperkaya keahlian dan karya-karya dalam bidang seni kriya, terutama batik yang kemudian lebih dikenal sebagai produk seni Jawa.
Ruang di mana semua pihak bercakap dan berdialog, melempar dan menerima kritik, menyodorkan dan menerima solusi, kemudian bergerak bersama dalam peran serta kapasitas masing-masing dengan kesadaran untuk saling menggenapi (Wisetrotomo, 2020).
Relasi sosial ini bisa terwujud dalam sistem respons dan resiprositas sosial atau timbal balik antarindividu di dalam masyarakat dalam wujud saling respek, tak berpandangan sempit, tak mudah menstigma atau mengklaim secara sepihak.
Karena Indonesia, seturut Restu Gunawan (2022), selain sebagai komitmen politik, juga mengandung makna sebuah komitmen kebudayaan. Upaya membangun Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan perlu terus diwacanakan.
Terlebih dalam perkembangan politik saat ini, sering kali masyarakat lupa bahwa tanah air Indonesia lahir atas kontrak politik untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada ke dalam kerangka Tanah Air yang satu, yaitu Indonesia.
Terlebih menjelang pesta demokrasi 2024, dalam kontestasi, tidak jarang, untuk memobilisasi perolehan suara, politik identitas digunakan. Isu perbedaan ras, etnis, agama, dan kepercayaan lazim diangkat serta digunakan untuk menggalang kekuatan.
Sebagian elite politik memakai politik identitas untuk menjatuhkan lawan politik.
Lebih lanjut dikatakan bahwa propaganda dalam komunikasi politik seperti ini sering kali menimbulkan segregasi yang semakin tajam di dalam kehidupan masyarakat, bahkan dapat menjurus kepada konflik sosial. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memecah kesatuan dan persatuan bangsa.
Dengannya, bangsa dan negara ini perlu melakukan transformasi logika kehidupan dengan menguatkan kohesi sosial, dalam bentuk toleransi, solidaritas dan juga apresiasi dalam berbagai bentuk kegiatan dan kebijakan publik yang memfasilitasi keberagaman latar kultural dan keragaman kondisi faktual yang dihadapi.
Nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik dengan memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik, dalam hal ini pengelolaan setiap aspek terkait sosial, ekspresi komunal, identifikasi, hingga religiositas (dalam makna luas).
Jangan sampai kebinekaan ini justru menjadi bom waktu ancaman tragedi kemanusiaan bagi bangsa dan negara.
Imlek melebur rasa sentimen kesukuan, agama, ras, dan menjadikan kebersamaan dalam keragaman etnik itu sebagai modal yang diperlukan dalam menghadapi masalah bangsa sekarang dan masa depan.
Selamat Tahun Baru Imlek. Gong Xi Fa Cai.
Purnawan Andra; Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek