Tanpa Mitigasi, Bencana Alam Bisa Jadi Hambatan Pembangunan di Aceh
Bencana alam jadi penghambat pembangunan ekonomi di tingkat akar rumput di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Bencana alam yang dipicu degradasi lingkungan seperti banjir, longsor, banjir bandang, dan kebakaran lahan menjadi hambatan pembangunan di Provinsi Aceh. Pengurangan risiko bencana dapat dilakukan melalui mitigasi yang komprehensif.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Dampak Bencana terhadap Keberlanjutan Pembangunan dan Kemiskinan di Aceh” yang digelar di Banda Aceh, Kamis (22/12/2022). Diskusi sebagai refleksi akhir tahun itu diselenggarakan oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Aceh.
Pembicara diskusi, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Irham Fahmi, menuturkan bencana alam jadi penghambat pembangunan ekonomi di tingkat akar rumput. Dia mengamati, saat terjadi banjir dalam durasi yang lama, banyak usaha kecil atau usaha rumahan yang terhambat produksinya. Padahal, usaha tersebut menjadi sumber pendapatan utama keluarga.
Akibatnya, keluarga tersebut mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, seperti pangan, pendidikan, hingga kesehatan. Dampak lebih jauh, pemenuhan gizi keluarga tidak terpenuhi sehingga dapat memicu stunting atau tengkes pada anak.
Irham mengatakan, pemerintah harus menyelamatkan UMKM yang terdampak bencana dengan memberi akses modal ke perbankan. Jika tidak, UMKM tersebut akan semakin sulit bangkit. Jika itu terjadi berulang-ulang, korban dapat terperosok ke jurang kemiskinan.
Irham menambahkan, bencana alam dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi. Dia mencontohkan banjir selama dua pekan di Kabupaten Aceh Tamiang pada Oktober 2022 lalu yang membuat transportasi Aceh-Sumatera Utara lumpuh.
Dampaknya, pergerakan barang antarprovinsi putus. Tidak sedikit pedagang yang mengalami kerugian karena barang busuk dan rusak. Angkutan umum tidak bisa beroperasi. “Saat ini ekonomi Aceh sedang tidak baik-baik saja. Sebagai tolok ukur, angka kemiskinan dan pengangguran tinggi,” ujar Irham.
Pembicara lain, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin mengatakan, dampak bencana bukan hanya merusak infrastruktur publik, tetapi juga sumber pendapatan warga. “Petani dan petambak gagal panen. Bukan hanya kehilangan potensi pendapatan, bahkan mereka rugi,” ucapnya.
Menurut Ahmad, bencana ekologis di Aceh yang terjadi sepanjang tahun 2022 masih didominasi banjir luapan dan bandang. Bencana banjir dipicu perubahan iklim atau dampak dari degradasi hutan, kerusakan daerah aliran sungai, hingga perubahan musim hujan.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh, sejak 2018 hingga 2020, terjadi 423 kali bencana di Aceh. Adapun taksiran kerugian akibat bencana mencapai Rp 874,1 miliar atau setara dengan 10.925 unit rumah tipe 36 layak huni.
Dalam dokumen Kajian Risiko Bencana Aceh 2016-2020, disebutkan sebanyak 19 kabupaten dari 23 kabupatan di Aceh memiliki risiko tinggi terdampak banjir dan 20 kabupaten risiko banjir bandang. Sebanyak 1 juta penduduk miskin rentan menjadi korban.
Ahmad mengatakan, penanganan bencana di Aceh masih pada tahap responsif atau tanggap darurat. Akan tetapi, mitigasi bencana masih diabaikan. “Kebijakan pembangunan isu mitigasi bencana belum kuat,” ujarnya.
Dia mencontohkan, saat Aceh dikepung bencana ekologis, Pemprov Aceh justru mengeluarkan 15 izin tambang baru. Tambang tersebut berada di dalam kawasan hutan yang merupakan kawasan resapan air.
Padahal, pemulihan kawasan dan pengelolaan ruang menjadi salah satu cara menekan potensi bencana. Di sisi lain, warga harus diedukasi agar turut dalam merawat lingkungan sekitarnya.
Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin mengatakan, media perlu memberikan ruang terkait isu bencana secara mendalam. Hal ini agar menjadi pembelajaran bagi publik dan masukan bagi pengambil kebijakan.