Meski Bencana Picu Kemiskinan, Mitigasi di Aceh Masih Rapuh
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh, sejak 2018 hingga 2020 terjadi 423 kali bencana di Aceh dengan taksiran kerugian mencapai Rp 874,1 miliar atau setara dengan 10.925 unit rumah tipe 36 layak huni.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Mitigasi bencana hidrometeorologi di Provinsi Aceh sangat rapuh. Akibatnya, bencana alam, seperti banjir, bandang, dan longsor, terus berulang. Mitigasi bencana seharusnya menjadi isu utama dalam setiap kebijakan pembangunan sebab bencana alam berpotensi memicu kemiskinan.
Dalam dua pekan terakhir, beberapa kabupaten di Aceh dilanda bencana alam berupa banjir luapan dan bandang. Memasuki puncak musim hujan, potensi bencana alam akan semakin besar. Namun, mitigasi tidak dibangun menyeluruh.
Kasus banjir bandang terakhir terjadi Kabupaten Pidie, tepatnya di Kecamatan Tangse, pada 28 Oktober 2021. Sedikitnya 120 rumah warga rusak dan beberapa titik jalan amblas ke sungai. Tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian ditaksir mencapai Rp 3,1 miliar.
Setelah itu, Jumat, (5/11/2021), banjir melanda Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Subulussalam. Sebanyak 32 desa di tiga kabupaten itu tergenang dengan ketinggian air antara 30 sentimeter hingga 1 meter.
Berulang
Dosen Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Nazli Ismail, yang dihubungi pada Senin (1/11/2021), menuturkan, sebagian besar daerah di Provinsi Aceh masuk daftar kawasan rentan bencana alam. Daerah-daerah rendah di pesisir rentan terhadap banjir genangan, sedangkan kawasan dataran tinggi, Aceh tengah, rentan terhadap bencana longsor dan banjir bandang.
”Mitigasi bencana di Aceh masih lemah. Hutan mengalami kerusakan dan warga tidak memperoleh mitigasi bencana,” kata Nazli.
Nazli menuturkan, setiap bencana seharusnya menjadi pelajaran untuk membangun mitigasi yang kokoh. Namun, Nazli melihat tidak upaya serius untuk membangun mitigasi menyeluruh. Dia mencontohkan banjir bandang di Tangse, Pidie, nyaris berulang setiap tahun.
”Banyak kayu bekas penebangan diseret banjir bandang. Pembalakan liar harus dihentikan karena hutan yang gundul memicu banjir,” kata Nazli.
Menurut Nazli, selain menjaga lingkungan, perlu juga membangun insfrastruktur, dan menumbuhkan budaya sadar bencana pada warga.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) sejak 2018 hingga 2020 terjadi 423 kali bencana banjir, longsor, dan bandang. Taksiran kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 874,1 miliar atau setara dengan 10.925 unit rumah tipe 36 layak huni.
Taksiran kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 874,1 miliar atau setara dengan 10.925 unit rumah tipe 36 layak huni.
Direktur Yayasan Ekosistem Lestari Yakob Ishadami menuturkan, bencana termasuk salah satu pemicu kemiskinan. Warga korban bencana kehilangan harta benda dan kehilangan potensi pendapatan karena lahan pertanian hancur.
Warga di kawasan rentan bencana sukar bangkit karena biasanya menjadi korban yang berulang. Misalnya, petani di Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara, nyaris setiap tahun sawah mereka terendam banjir. Saat berbenah untuk bangkit, bencana selanjutnya telah menanti.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh menuturkan, bencana di Aceh tidak hanya dipicu intensitas hujan yang tinggi, tetapi juga karena degradasi ketahanan lingkungan. Kerusakan daerah aliran sungai karena alih fungsi lahan dan tambang ilegal juga menjadi pemicu.
”Sungai-sungai juga banyak yang dangkal karena sedimentasi. Kesadaran warga menjaga lingkungan juga rendah, masih ada yang membuang sampah ke sungai,” kata Ilyas.
Dalam dokumen Kajian Risiko Bencana Aceh 2016-2020 disebutkan 19 kabupaten dari 23 kabupatan di Aceh memiliki risiko tinggi terdampak banjir dan 20 kabupaten risiko banjir bandang. Sebanyak 1 juta penduduk miskin rentan menjadi korban.