Kami Lelah dan Terus Merugi akibat Banjir di Aceh
Bencana banjir di Provinsi Aceh membuat warga nyaris kehilangan harapan. Mereka lelah terus menerus menjadi korban. Hasil keringat pun raib diseret arus air bah. Sementara mitigasi nyaris tidak ada.
Bencana banjir di Provinsi Aceh membuat warga nyaris kehilangan harapan. Mereka lelah terus menerus menjadi korban. Hasil keringat pun raib diseret arus air bah.
Majid (52), warga Desa Lhok Seuntang, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Selasa (4/1/2022), hanya bisa pasrah menyaksikan sawahnya tergenang banjir. Padahal saat ini sudah masuk masa tanam. Benih padi pun raib dibawa arus banjir.
Sawah seluas 0,5 hektar itulah satu-satunya sumber penghidupan utama keluarganya. Majid memperkirakan rugi Rp 2 juta lebih. Kerugian itu dari biaya beli benih, pupuk, ongkos bajak, dan perlengkapan menghalau tikus.
Mudah-mudahan ada bantuan benih dan pupuk dari pemerintah. Memulai dari awal lagi, bagi petani di sini berat. (Majid)
Kalau banjir sudah reda, sawah itu akan digarap kembali. Namun, Majid harus kembali mengeluarkan modal membeli benih dan pupuk.
”Mudah-mudahan ada bantuan benih dan pupuk dari pemerintah. Memulai dari awal lagi, bagi petani di sini berat,” kata Majid.
Baca Juga: Utara Timur Aceh Dikepung Banjir
Persawahan milik warga Desa Lhok Seuntang, sejak Minggu (2/1/2022) hingga Selasa (4/1/2022), berubah menjadi lautan air. Petani jelas rugi. Sebagian sawah baru saja ditanam. Kini, batang padi muda terendam, tidak ada harapan selamat.
Sementara itu, tambak ikan dan udang yang nyaris panen juga tak luput dari genangan banjir. ”Ikan di tambak sudah ke laut dibawa banjir,” ujar Majid.
Kepala Desa Lhok Seuntang, Darwin, mengatakan, Krueng (sungai) Arakundo meluap karena hujan deras dalam beberapa hari. Dampaknya sawah dan tambak seluas 80 hektar di kawasan itu tergenang. Rumah warga juga tidak luput. Kini semua warga desa itu mengungsi ke balai desa. Mereka harus berbagi tempat untuk tidur.
Biasanya banjir akan surut dalam waktu tiga hari. Namun, kali sepertinya akan lebih lama. Anak-anak tidak bisa bersekolah dan orang dewasa tidak bisa mencari nafkah.
Di Aceh Timur, banjir merendam 68 desa. Ribuan warga harus mengungsi. Hingga Selasa (4/1/2022), banjir di sejumlah desa belum surut. Bukan hanya menelan harta benda, banjir di Aceh Timur merenggut satu korban jiwa.
Banjir juga melanda Kabupaten Aceh Utara. Kawasan yang tergenang di Aceh Utara jauh lebih luas dibandingkan Aceh Timur.
Junaidi (45) warga Lhoksukon, Aceh Utara, menatap nanar ke kios miliknya di seberang jalan nasional, Kota Lhoksukon, Senin (3/1/2022). Kios buah itu porak- poranda diterjang arus banjir.
”Saya rugi sekitar Rp 20 juta. Setiap tahun Kota Lhoksukon dilanda banjir. Saya selalu jadi korban,” ujar Junaidi.
Kios itu dia sewa Rp 16 juta per tahun. Tahun 2019, banjir di Lhoksukon lebih parah, Junaidi juga rugi besar. Namun, dia tetap bertahan berjualan di sana karena posisi sangat strategis.
Baca Juga: Jangan Wariskan Bencana untuk Anak Cucu
Ratusan toko di Kota Lhoksukon sejak Minggu hingga Senin direndam banjir. Ketinggian air mencapai 1,5 meter. Sebagai ibu kota kabupaten, Lhoksukon adalah pusat perdagangan. Namun, karena banjir, kota itu lumpuh. Pedagang rugi besar.
Puluhan ribu mengungsi
Banjir di Aceh Utara merendam 108 desa dan sebanyak 24.332 warga mengungsi. Mereka mengangkut barang seadanya ke balai desa. Mereka makan nasi dengan lauk mi instan dan telur. Anak-anak kehilangan ruang bermain dan kehilangan masa untuk sekolah.
Pengungsian terlihat di meunasah/balai Desa Ceubrek, Kecamatan Lhoksukon, Senin malam. Di Aceh, meunasah pada umumnya dibangun tinggi sehingga selalu menjadi tempat mengungsi saat banjir.
Warga tidur beralaskan tikar dan selimut. Angin malam terasa dingin menembus kulit. Bagi perempuan berada di pengungsian tidak enak. Saat datang panggilan alam mereka akan kesulitan mencari tempat untuk buang air.
Sementara penanganan pengungsian di Aceh nyaris tidak mempertimbangkan hal itu. Riana (42) merasakan itu. "Makan tidak boleh banyak supaya tidak buang air besar. Mau pulang ke rumah, toilet juga terendam," kata Riana.
Riana menuturkan, selama empat tahun terakhir desanya selalu dilanda banjir. Desa Ceubrek berada tidak jauh dari Sungai Peutoe. Sungai ini kerap meluap saat naik debit air.
Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf menuturkan, untuk saat ini pemerintah fokus pada penanganan korban. Kebutuhan pangan disalurkan ke posko-posko pengungsian.
Baca Juga: Aceh Butuh Strategi Penanganan Banjir
Fauzi mengatakan, banjir di Aceh Utara disebabkan meluapnya Krueng Keureuto, Krung Peutoe, dan Krueng Pirak. Sungai-sungai tersebut meluap karena debit air naik setelah diguyur hujan dalam intensitas tinggi. Sungai-sungai itu hulunya berada di Kabupaten Bener Meriah.
Daerah yang kini direndam banjir, seperti Lhoksukon dan Matang Kuli, berada di hilir. Geografis daerah ini berada di dataran rendah sehingga selalu menjadi sasaran limpasan air dari hulu.
Nyaris setiap tahun Aceh Utara dilanda banjir. Menurut Fauzi, Waduk Keureuto yang saat ini sedang dibangun akan menjadi jalan keluar menekan intensitas banjir di kabupaten itu.
”Waduknya sedang dibangun, progresnya 70 persen. Jika waduk rampung, mungkin banjir tidak akan separah ini,” ujar Fauzi.
Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Ella Meilianda, menuturkan, kawasan banjir umumnya dataran rendah yang berdekatan dengan sungai-sungai kecil yang menuju muara.
Menurut Ella, perlu normalisasi sungai-sungai agar debit air tertampung. ”Intensitas hujan juga cukup tinggi sehingga sungai tidak mampu menampung,” kata Ella.
Namun, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin mengatakan, penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsi memicu kerentanan lingkungan.
Banyak tutupan hutan di Aceh Timur dan Aceh Utara telah berubah menjadi perkebunan sawit. Padahal, kawasan itu umumnya berada di area daerah aliran sungai. Kehilangan tegakan pohon membuat tanah tidak mampu menyerap air.
Baca Juga: Kerusakan Daerah Resapan Picu Banjir di Aceh
Dia mencontohkan, banyak tutupan hutan di Aceh Timur dan Aceh Utara telah berubah menjadi perkebunan sawit. Padahal, kawasan itu umumnya berada di area daerah aliran sungai. Kehilangan tegakan pohon membuat tanah tidak mampu menyerap air.
Akibatnya, limpasan air hujan akan langsung meluncur ke sungai. Dalam waktu yang sama banyak sungai dalam keadaan dangkal sehingga debit air yang naik justru meluap ke permukiman warga.
Shalihin mengatakan, pemerintah harus mengelola kawasan sesuai dengan fungsi. ”Sudah saatnya pemerintah daerah menyusun rencana induk penanganan banjir. Jika tidak selamanya banjir akan jadi ancaman,” kata Shalihin.
Jika banjir terus terjadi warga selalu pihak yang pertama yang akan merasakan kerugian.