Bocah 14 Tahun asal NTB Jadi Korban Perdagangan Orang ke Arab Saudi
Seorang anak berusia 14 tahun asal Kabupaten Dompu, NTB, dikirim ke Arab Saudi. Kasus ini menambah panjang daftar TPPO dari NTB. Kasus marak karena pencari calon pekerja mendapat imbalan tinggi, Rp 55 juta, per pekerja.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO masih marak terjadi di Nusa Tenggara Barat. Terakhir, Kepolisian Daerah NTB menangkap seorang tersangka TPPO jaringan Arab Saudi dengan korban anak perempuan berusia 14 tahun asal Kabupaten Dompu.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTB Komisaris Besar Artanto dalam keterangan persnya, Rabu (14/12/2022), mengatakan, pengungkapan tersebut dilakukan pada 29 November 2022 lalu.
Menurut Artanto, pengungkapan bermula dari laporan orangtua korban kepada Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTB. Laporan itu terkait keluhan korban berinisial B (14) mengenai kondisinya di Arab Saudi.
Artanto mengatakan, korban sempat bekerja selama lima bulan di Arab Saudi. Selama bekerja di sana, ia diduga mengalami kekerasan fisik, seperti disiram air panas, dipukul, dan hampir mengalami kekerasan seksual.
Berdasarkan laporan itu, pihak Kementerian Luar Negeri dan Konsulat Jenderal RI di Jeddah menelusuri keberadaan korban. Ia berhasil ditemukan dan dipulangkan ke Indonesia pada September lalu.
Kepolisian kemudian menindaklanjuti laporan tersebut dan berhasil menangkap tersangka IS (34) di Jakarta. ”Saat ditangkap, ditemukan barang bukti sebanyak 32 paspor. Diketahui itu milik warga asal Sukabumi, Madura, dan Sulawesi,” kata Artanto.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Komisaris Besar Teddy Rustiawan menambahkan, usia korban sebenarnya 14 tahun. Berdasarkan akta kelahiran yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Dompu, korban B lahir pada 12 Juni 2012. ”Tetapi identitasnya dipalsukan lahir tahun 1997,” kata Teddy.
Menanggapi hal itu, tersangka IS mengatakan tidak mengetahui bahwa identitas korban dipalsukan. ”Saya tidak tau. Saya dapat dari sponsor atas nama SL,” kata IS.
Dalam kasus dugaan TPPO ini, selain IS, juga teridentifikasi dua orang lainnya, yakni NS dan SL, yang berperan sebagai perekrut. Akan tetapi, keduanya diketahui masih berada di luar negeri. Polda NTB telah mengoordinasikan hal tersebut dengan Kementerian Luar Negeri.
Adapun IS, kata Teddy, berperan sebagai pencari calon pekerja migran. Ia mendapatkan pesanan dari seseorang di Arab Saudi. Ia mendapat imbalan Rp 55 juta per orang.
Ia mendapat imbalan Rp 55 juta per orang.
Teddy menambahkan, tersangka saat ini sudah ditahan di rumah tahanan Polda NTB. Ia dijerat dengan Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 11 juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
IS terancam hukuman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Berulang
Pengungkapan kasus dugaan TPPO bukan sekali ini dilakukan. Berdasarkan catatan Kompas, sepanjang 2019, Polda NTB mengungkap enam kasus dengan sembilan tersangka dan 14 korban. Para korban dikirim sebagai tenaga kerja ke Suriah dan Arab Saudi.
Pengungkapan itu merupakan bagian dari 36 kasus yang ditangani Polda NTB sejak 2017 hingga Juli 2021. Pada periode itu, Subdirektorat IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB tercatat menangani 36 kasus TPPO. Dari total kasus itu, ada 39 korban dan 40 tersangka.
Lalu pada awal 2022, Polda NTB juga menangkap dua perempuan berinisial SH dan DH. Mereka diduga terlibat TPPO atau pengiriman pekerja migran ilegal dengan tujuan Turki.
Modus para tersangka dalam semua kasus dugaan TPPO tersebut tidak jauh berbeda, yaitu menawari korban bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi. Selain itu, juga memalsukan identitas korban.
”Mengantisipasi berulangnya kasus ini, kami selalu berkoordinasi dengan BP3MI NTB dan sosialisasi ke masyarakat agar tidak mudah diiming-imingi pekerjaan di luar negeri,” kata Artanto.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB saat ini tengah melaksanakan program zero unprosedural atau pemberangkatan pekerja migran Indonesia asal NTB tidak ada lagi yang secara ilegal.
Ada dua upaya yang dilakukan yakni langkah preventif atau pencegahan melalui diseminasi, edukasi, dan sosialisasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Baik itu tentu kesempatan kerja di luar negeri, prosedur atau persyaratan untuk menjadi pekerja migran, hingga perusahaan yang berizin.
“Jangan sampai informasi sepihak atau dibawa oleh calo saja. Kadang yang terjadi, banyak yang datang membawa informasi kesempatan kerja di negara tertentu dengan gaji tinggi, ternyata tidak ada,” kata Gede.
Langkah kedua adalah penegakan hukum bekerjasama dengan aparat penegak hukum seperti Polda NTB. Penegakan hukum itu baik terhadap TPPO (terungkap setelah pemberangkatan) atau saat perekrutan (terungkap sebelum pemberangkatan).
“Kami juga melihat masyarakat sudah mulai mencari informasi. Misalnya menghubungi kami jika ada perusahaan atau orang yang datang ke tempat mereka. Selain itu, kami juga memberikan informasi ke pihak desa jika sekiranya masyarakat menanyakan hal serupa,” kata Gede.