Pengetahuan Publik dan Media tentang TPPO Masih Minim
Melindungi WNI dari praktik perdagangan orang hingga kini menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintah. Sinergi kuat dari semua pihak sampai ke desa-desa menjadi kunci pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Praktik perdagangan orang sudah terjadi sejak zaman dulu dengan berbagai cara. Kendati melanggar hak asasi manusia, perdagangan orang tak pernah berhenti, bahkan menjadi kejahatan lintas negara. Modusnya pun semakin canggih dengan melibatkan jaringan pelaku, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Indonesia, perdagangan orang terjadi dalam berbagai modus yang menyasar sejumlah warga, dengan lokus berbeda-beda. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tidak banyak yang menyadari. Korban terbesarnya adalah perempuan dan anak-anak perempuan.
Hingga kini, sebagian masyarakat hanya memahami perdagangan orang yang terkait dengan perekrutan dan pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar negeri, eksploitasi tenaga kerja, kekerasan fisik terhadap tenaga kerja, pelecehan seksual terhadap tenaga kerja, dan perbudakan tenaga kerja saat berada di luar negeri. Itu pun sebatas pekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga.
Padahal, sesungguhnya perdagangan orang dengan korban warga Indonesia terjadi dalam berbagai modus. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir muncul kasus perdagangan orang yang bermodus pengantin pesanan, yakni perempuan-perempuan Indonesia dijodohkan dengan laki-laki di Taiwan dan China. Mereka menjadi korban jaringan perdagangan orang yang memanfaatkan situasi kemiskinan para korban.
Mayoritas korban pengantin pesanan adalah perempuan dan anak perempuan dari Kalimantan Barat. Namun, belakangan, jaringan perdagangan orang dengan modus ini beroperasi di daerah lain, terutama Jakarta dan sekitarnya, termasuk beberapa daerah di Jawa.
Perdagangan orang juga belakangan banyak mengincar pekerja migran Indonesia yang bekerja di industri perikanan, seperti kapal-kapal ikan yang beroperasi di luar perairan Indonesia. Sebagian besar laki-laki yang dieksploitasi tenaganya tanpa dibayar, bekerja dalam tekanan dengan jam kerja di luar batas kewajaran. Beberapa bahkan meninggal saat di laut.
Anita Dewayani, Kepala Subdirektorat Prapenuntutan Direktorat Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan Agung, awal Januari 2021 lalu dalam acara lokakarya yang digelar Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia bagi jurnalis dari sejumlah daerah, mengungkapkan, praktik-praktik perdagangan orang yang dialami warga negera Indonesia saat ke luar negeri juga terjadi dalam modus lain. Misalnya, dalam pertukaran pelajar atau studi banding ke luar negeri atau pertukaran budaya/duta seni, ternyata para korban dipekerjakan sebagai pekerja seks.
Ada juga temuan, warga Indonesia dimanfaatkan dalam pengedaran atau penjualan obat terlarang, biasanya terjadi pada buruh migran yang ditipu atau dijanjikan pekerjaan, tetapi disuruh mengedarkan/menjual narkoba.
Sementara di dalam negeri, perdagangan orang juga banyak terjadi, seperti perekrutan tenaga informal, antara lain pekerja rumah tangga ataupun salon kecantikan. Ada juga prostitusi paksa yang diawali dengan janji dipekerjakan dengan gaji tertentu, tetapi akhirnya dipaksa jadi pekerja seks. Modus lain juga terjadi dalam modus penculikan anak-anak, yang kemudian dipaksa menjadi pengemis. Ada juga modus perkawinan anak di bawah umur.
Kendati praktik perdagangan orang telah menelan korban, pengetahuan masyarakat masih sangat rendah. Di sisi lain, publikasi tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO) pun sangat rendah. Media massa tidak banyak mengungkap secara mendalam praktik-praktik perdagangan orang. Kebanyakan, ketika ada kasus, baru media mempublikasikannya.
Biasanya, ketika sudah ada peristiwa, seperti pekerja migran dipulangkan sudah dalam kondisi mayat, baru diketahui dugaan praktik perdagangan orang.
Dalam pelatihan/lokakarya yang digelar IOM Indonesia sejak 2020, sejumlah jurnalis dari daerah kantong pekerja migran yang rentan menjadi korban perdagangan orang pun mengakui, betapa sulit mencari informasi awal tentang TPPO. ”Biasanya, ketika sudah ada peristiwa, seperti pekerja migran dipulangkan sudah dalam kondisi mayat, baru diketahui dugaan praktik perdagangan orang,” ujar Djemi Amnifu, jurnalis dari Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Maka, pemahaman media terhadap TPPO penting ditingkatkan. Pengetahuan tentang TPPO, termasuk modus-modus canggih, harus dimiliki jurnalis. Bahkan, Rafail Walangitan, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ketenagakerjaan, dan TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sangat berharap peran media dalam mencegah dan menghapus praktik perdagangan orang di Indonesia.
Karena itulah, media harus paham betul apa yang disebut perdagangan orang. Sesuai definisinya, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Untuk mendalami TPPO, penting mengetahui tiga hal, yakni proses, cara, dan tujuan. Proses meliputi perekrutan atau pengangkutan atau penampungan atau pengiriman atau pemindahan atau penerimaan. Cara mencakup ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan atau penculikan atau penyekapan atau pemalsuan atau penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau jeratan utang. Sementara tujuan adalah apakah ada eksploitasi atau memanfaatkan tenaga.
Rafail menyebutkan, modus TPPO terus berubah seiring perkembangan teknologi informasi. Dulu, perekrutan dilakukan secara langsung oleh pelaku/jaringan pelaku dan korban bertemu langsung dengan pelaku. Sekarang, modus tersebut sudah ditinggalkan.
Setidaknya semenjak masyarakat terhubungan dengan jaringan internet, dalam beberapa tahun terakhir, modus perekrutan korban bergeser ke dunia maya, melalui media sosia. Bahkan, para korban tidak bertemu langsung dengan pelaku/jaringan pelaku.
Dalam kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan, perempuan korban kadang hanya melihat laki-laki yang dijodohkan dengannya lewat foto. Perkawinan dengan laki-laki dari Taiwan dan China pun hanya kamuflase karena bukan perkawinan yang sesungguhnya.
Di samping media, peran aparat penegak hukum juga menjadi kunci. Karena itulah, dalam mencegah TPPO, selain sosialisasi tentang TPPO, pelatihan bagi aparat penegak hukum juga dilakukan, termasuk pembuatan bahan ajar tentang TPPO untuk meningkatkan kapasitas aparat tentang TPPO. Pembentukan satuan tugas TPPO di daerah juga sangat penting. Dan, yang terpenting, kuncinya adalah sinergi semua pihak untuk gerak bersama melawan praktik perdagangan orang.