Belasan Warga Kalbar Diduga Jadi Korban Perdagangan Orang di Laos
Sebanyak 17 warga Kalimantan Barat diduga menjadi korban perdagangan orang di Laos.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Sebanyak 17 warga Kalimantan Barat diduga menjadi korban perdagangan orang di Laos. Awalnya, mereka dijanjikan agen bekerja di supermarket. Setiba di Laos, korban dipekerjakan sebagai scammer atau penipuan berkedok investasi serta mengalami kekerasan.
Agustiawan, pendamping keluarga korban, Selasa (6/12/2022), mengungkapkan, ia menangani kasus ini berawal saat November lalu menerima laporan dari orangtua korban berkaitan dengan anak-anak mereka yang sedang berada di Laos. Dari situ, Agustiawan menggali data terkait kondisi anak-anak mereka di Laos.
Dia menjelaskan, warga Indonesia yang dipekerjakan agen di sana lebih dari 80 orang. Sebanyak 17 orang di antaranya warga Kalimantan Barat berusia 18-22 tahun. Dari 17 orang itu, dua di antaranya perempuan, selebihnya laki-laki. Korban merupakan lulusan SD dan SMP dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.
Pembuatan paspor korban dilakukan pada 10 Oktober 2022 yang difasilitasi agen. Saat ditanya mengenai tujuan pembuatan paspor, agen meminta korban menjawab bahwa pembuatan paspor tersebut hanya untuk melancong.
Pada 12 Oktober, mereka ke Tebas, Kabupaten Sambas. Kemudian, pada 19 Oktober mereka ke Kuching, Sarawak, Malaysia. Dari Kuching, mereka diberangkatkan agen ke Laos. Mereka berada di Laos sejak 22 Oktober. Dalam perjalanan itu, mereka diserahkan dari satu agen ke agen lainnya.
Agustiawan mendapat laporan dari orangtua korban perihal apa yang dialami anak-anak mereka. Handphone (HP) korban ditahan oleh agen di Laos. Namun, salah satu korban masih ada yang menyembunyikan satu HP. Melalui HP itulah korban bisa berkomunikasi dengan keluarga dan Agustiawan. Korban memberi tahu situasi yang mereka alami.
Ia juga mencoba berkomunikasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Laos. Namun, menurut Agustiawan, kala itu tidak direspons. Pada 21 November, ia ke Jakarta bertemu Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia di Kementerian Luar Negeri. Di sana ia meminta bantuan untuk akses ke KBRI di Laos. Namun, dari KBRI Laos menjelaskan wilayah itu sulit dijangkau karena dikuasai mafia.
”Wilayah itu disewa mafia-mafia dari negara China puluhan tahun untuk kegiatan ilegal, antara lain, perjudian dan scammer. Otoritas pemerintah setempat tidak bisa menembus wilayah itu. Setelah kami membuat laporan tersebut, pihak KBRI Laos membuat nota diplomatik ke Pemerintah Laos untuk akses ke wilayah tersebut,” ungkapnya lagi.
Agustiawan menuturkan, awalnya, korban diiming-imingi oleh agen bekerja di supermarket di Laos dengan gaji Rp 12 juta per bulan dengan fasilitas lengkap. Mereka dijanjikan agen saat di tempat kerja akan ditanggung biaya transportasi dan kesehatan.
Namun, sesampainya di Laos, kondisinya ternyata tidak sesuai ekspektasi awal. ”Sesampai di Laos mereka dipekerjakan sebagai scammer investasi bodong,” ungkapnya.
Saat tiba di sana, mereka dilatih mendapatkan foto-foto orang sebanyaknya. Setelah itu, mereka diminta membuat akun media sosial bodong membujuk orang berinvestasi. Para korban ditugaskan agen membujuk orang berinvestasi.
Kalau kabur tidak bisa karena tempat penampungan mereka di Laos dijaga ketat.
Mereka pun diberi target oleh agen tersebut, yakni dalam sebulan harus bisa menggaet dua orang atau senilai 1.000 dollar AS. ”Jika mereka tidak mencapai target, maka mereka disuruh push-up 100 kali atau squat jump,” ujar Agustiawan.
Para korban bekerja di bawah ancaman. Jika tidak memenuhi target, mereka diancam akan dijual ke agen lainnya. Salah satu warga Kalbar hidungnya berdarah mendapat kekerasan dari agen. Selama di sana, gaji mereka juga tidak dibayar dan makan dibatasi oleh agen.
Dari 17 warga Kalbar yang ada di lokasi tersebut, 2 orang di antaranya sudah berhasil pulang ke Kalbar pada 23 November dengan biaya pribadi dari keluarga. Dua orang lagi masih berada di KBRI Bangkok. Mereka memerlukan bantuan pemerintah untuk bisa pulang.
Selain itu, enam orang lagi pulang dari Bangkok menuju Tanah Air dan kemungkinan tiba di Kalbar Selasa (6/12) sore. Mereka juga pulang dengan biaya pribadi dari keluarga. Sementara itu, tujuh orang lainnya tidak diketahui apakah masih di Laos atau telah keluar Laos.
Korban ada yang bisa pulang ke Tanah Air karena agen membuat syarat, korban bisa pulang asalkan dengan biaya sendiri. Selain itu, korban harus menunjukkan tiket pulang ke Indonesia dan agen meminta uang Rp 2,5 juta.
”Kalau kabur tidak bisa karena tempat penampungan mereka di Laos dijaga ketat. Dari perekrutan, pemberangkatan, dan di lokasi tujuan semuanya kuat terindikasi tindak pidana perdagangan orang,” kata Agustiawan.
Kepala Balai Pelayanan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kalbar Fadzar Allimin menuturkan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pengacara keluarga korban untuk mendapatkan informasi lebih. Pihaknya juga berkoordinasi dengan pusat untuk dapat memfasilitasi komunikasi dengan perwakilan KBRI di Bangkok.
Ia mengimbau kepada masyarakat agar jangan percaya pada pekerjaan yang menjanjikan gaji yang luar biasa dengan proses yang cepat dan gampang melalui fasilitasi perantara. Selain itu, warga harus memastikan lagi tentang lowongan kerja itu ke dinas tenaga kerja setempat atau BP3MI.
Kepala Bidang Humas Polda Kalbar Komisaris Besar Raden Petit Wijaya menuturkan, terkait hal itu, kepolisian masih menyelidikinya. Pihaknya juga sedang berupaya berkoordinasi dengan berbagai pihak, antara lain, BP2MI dan Imigrasi. Untuk menyelidikinya memerlukan waktu karena menyangkut kejahatan lintas negara.
Dia menjelaskan, kasus lintas negara seperti ini harus ditangani beberapa pihak, tidak hanya kepolisian. Ia juga mengimbau kepada masyarakat jangan sampai ada yang tergiur oleh perekrutan seperti itu.