Jerat Perdagangan Orang di Media Sosial
Sindikat perdagangan orang di medsos menawarkan iming-iming gaji yang tidak masuk akal di perusahaan yang tak jelas. Begitu terjerat, korban sulit lepas.
PHNOM PENH, KOMPAS — Tindak pidana perdagangan orang atau TPPO bisa mengincar siapa saja. Apalagi, pandemi Covid-19 mengakibatkan kontraksi ekonomi besar-besaran yang membuat banyak anggota masyarakat semakin ditindih beban ekonomi. Mereka rentan terjerat sindikat perdagangan orang, seperti yang terjadi pada 232 warga Indonesia di Kamboja. Mereka direkrut di media sosial dan ditipu sehingga menjadi pekerja paksa.
Angka 232 itu adalah perhitungan terbaru, Senin (8/8/2022). Pekan lalu, jumlahnya masih 100 orang. Para warga negara Indonesia (WNI) korban TPPO itu diselamatkan antara lain dari kota Phnom Penh, Sihanoukville, dan Bavet. Semua mengaku dipaksa bekerja di perusahaan penipuan daring yang mengincar mangsa WNI di Tanah Air.
”Proses wawancara dan verifikasi terus berlangsung guna memastikan mereka memenuhi syarat sebagai korban TPPO. Jika iya, negara mengusahakan penegakan hukum di dalam negeri dan untuk para pelaku di Kamboja,” kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha.
Baca juga: 12 WNI Korban TPPO Dipulangkan ke Tanah Air
Ada empat indikasi TPPO. Pertama, terpenuhinya unsur pelaku yang bisa berupa individu ataupun kelompok. Kedua, unsur perekrutan, pemindahan orang, dan penerimaan orang. Ketiga, unsur pemaksaan, penipuan, dan bisa juga penganiayaan pada kasus yang ekstrem. Keempat, tujuan untuk merugikan orang yang menjadi korban.
Judha menjelaskan, khusus untuk TPPO di Kamboja, jebakan yang paling umum adalah melalui iming-iming bekerja di perusahaan judi daring dengan gaji tinggi. Kamboja membuka industri pariwisata judi dengan mendirikan banyak kasino dan juga situs-situs perjudian daring. Ini adalah bisnis yang sah di negara tersebut. Bahkan, beberapa kasino di Kamboja dimiliki oleh pengusaha dari Indonesia.
Bisnis ini kemudian dicatut oleh sindikat perdagangan orang untuk menjebak korban. Sindikat ini biasanya memasang iklan di sejumlah media sosial, yaitu mencari tenaga kerja yang pandai mengoperasikan pelbagai teknologi informatika untuk menjadi operator, teknisi, ataupun petugas layanan konsumen di perusahaan judi daring.
Iklan ini menawarkan gaji yang tak masuk akal, yaitu 1.000 hingga 1.500 dollar AS. Padahal, kisaran gaji bekerja secara resmi dengan visa kerja Kamboja di kasino atau situs judi daring adalah 200 hingga 600 dollar AS. Iklan-iklan di media sosial itu juga tidak pernah mencantumkan nama, logo, dan alamat perusahaan. Mereka hanya memberi nomor telepon yang bisa dihubungi jika ada peminat.
”WNI yang terjebak ini umumnya mereka yang dalam kesulitan keuangan. Dari wawancara, mereka mengaku menanyakan soal visa dan kontrak kerja, tetapi perekrut selalu berdalih, semua akan diurus dan ditandatangani saat mereka tiba di Kamboja,” kata Judha.
Baru ketika para korban tiba di Kamboja, tepatnya di gedung tempat mereka akan dipaksa bekerja, perekrut jujur mengatakan bahwa mereka tidak berada di perusahaan judi daring. Namun, mereka berada di perusahaan ilegal yang membuat sejumlah skema penipuan daring dengan mangsa khusus WNI di Indonesia.
Baca juga: Cerita Korban TPPO di Kamboja: Saya Dipaksa Jadi Operator Penipuan Daring Menarget WNI
Ketika korban menolak, mereka tidak punya pilihan karena begitu memasuki gedung, tidak bisa keluar lagi. Gedung dijaga oleh petugas satpam berpentungan dan penyetrum. Satu-satunya cara keluar dari perusahaan itu adalah dengan menebus diri sendiri. Kisaran ganti rugi kepada bos di perusahaan adalah 3.000 hingga 5.000 dollar AS.
Jenis-jenis penipuan
Dari para korban TPPO, terungkap ada dua jenis penipuan daring yang dijalankan dari Kamboja. Para korban ini disebut dengan nama samaran karena identitas mereka dilindungi negara. Bagus, salah satu korban, menuturkan bahwa ia bekerja di penipuan yang menargetkan laki-laki kesepian di Indonesia. Modus ini dinamakan catfishing, yaitu membuat identitas palsu guna menarik mangsa yang spesifik.
Modusnya ialah Bagus dan kawan-kawan membuat sejumlah akun bodong di media sosial Line, Facebook, Telegram, dan Instagram. Setiap akun dibuat dengan nama perempuan, misalnya Nadya Putri. Bagus kemudian mencari akun media sosial perempuan cantik di Kamboja, Thailand, Vietnam, China, dan lain-lain. Jika menurut dia, ada perempuan yang parasnya cocok untuk tokoh fiktif Nadya Putri ini, ia akan mencuri foto-foto dan video yang diunggah oleh pemilik aslinya.
”Saya mengatur sedemikian rupa agar tokoh ’Nadya Putri’ ini tampak seperti perempuan sungguhan. Foto dan video yang saya curi saya edit dan upload ulang ke akun bodong, jadi kelihatannya seperti si Nadya ini yang posting,” ujar Bagus.
Banyak laki-laki kemudian mengajak berkenalan. Tugas Bagus ialah menyaring kira-kira yang bisa dimangsa dengan ditawari iming-iming bisa menghasilkan uang saku tambahan dalam dollar AS. Hal ini tidak mudah karena mayoritas mangsa justru benar-benar ingin mengajak ”Nadya” berpacaran, bahkan ada yang mengirim foto-foto mesum. Prosesnya ialah ketika ada laki-laki yang sudah sering mengobrol, Bagus sebagai Nadya berpura-pura curhat dan mengatakan bahwa ia sedang sibuk mencari penghasilan tambahan.
Mangsa kemudian tertarik dan ”Nadya” mengarahkan untuk mengakses tautan tertentu. Di sana, mangsa diminta memberi ulasan sebuah produk dan membayar sejumlah uang. Ketika ulasan itu diunggah, perusahaan yang mengaku produsen produk mengirim uang lebih banyak kepada mangsa.
Misalnya, mangsa diminta mengirim uang Rp 300.000 untuk mengulas produk dan memang benar setelah melakukannya, ia menerima uang Rp 350.000. Demikian jumlahnya semakin tinggi sampai uang mereka ditahan oleh sindikat penipuan daring ini. Mangsa tidak mengetahui bahwa operator tautan yang ia akses dan pihak promotor produk itu adalah Bagus sendiri dengan menggunakan sejumlah nama samaran.
Lain cerita dengan Imam. Sindikat daring tempat ia dipaksa bekerja tidak memakai metode catfishing. Ia membuat sejumlah iklan daring yang dipasang di situs-situs umum. Biasanya berupa iklan memainkan gim daring berhadiah jutaan rupiah. Untuk menipu mangsa, iklan-iklan ini mencatut nama-nama perusahaan e-dagang. Ketika mangsa mengklik iklan, mereka dibawa ke situs penipuan.
”Target nanti diminta membeli token untuk bermain. Setelah itu, harga tokennya terus naik. Bahkan, ada orang yang uangnya nyangkut sebanyak Rp 35 juta,” kata Imam.
Uang puluhan hingga ratusan juta hasil penipuan para mangsa tidak masuk ke dalam kantong para pekerja paksa ini. Mereka menerima gaji paling banyak 600 dollar AS per bulan. Itu pun sering dipotong dengan alasan tidak mencapai target ataupun sempat sakit sehingga waktu bekerja berkurang. Bahkan, tidak jarang bos menjual para korban TPPO ini ke perusahaan lain beberapa hari sebelum tanggal gajian sehingga mereka tidak menerima uang sepeser pun.
Incar Asia Tenggara
Judha menjelaskan, modus penipuan daring ini sebenarnya bukan hal baru. Beberapa tahun lalu, di Indonesia justru banyak sindikat penipuan daring dengan mangsa warga China. Kelompok kejahatan terorganisasi ini memperdagangkan warga negara China ke Indonesia. Polri dan Kepolisian Nasional China kemudian menggerebek jaringan ini. Para korban TPPO direpatriasi ke China dan para pelakunya juga dikirim ke sana untuk diadili.
”Ketatnya hukum di China membuat sindikat ini mengganti target. Sekarang, mereka mengincar negara-negara di Asia Tenggara untuk ditipu, termasuk Indonesia. Makanya, korban yang direkrut adalah WNI karena mereka dipaksa mengibuli saudara sebangsa,” ujar Judha.
Judha menekankan, wawancara para korban tidak hanya satu kali. Kemenlu bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Sosial terus mendalami kasus-kasus ini.
Kondisi akibat TPPO ini kompleks dan tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Ada kemungkinan korban juga beririsan menjadi pelaku karena mereka merekrut korban lain selama bekerja di perusahaan. Harus ada pendalaman konteks perbuatan tersebut dengan kemungkinan dilakukan di bawah ancaman sindikat atau justru dilakukan dengan sengaja dan sukarela.
Duta Besar Indonesia untuk Kamboja Sudirman Haseng menjelaskan, kedutaan terus mengikuti perkembangan kasus dan erat berkoordinasi dengan kepolisian setempat. Perusahaan-perusahaan penipuan daring ini tidak berdiri sendiri. Mereka umumnya adalah divisi bawah tanah dari perusahaan yang beroperasi sah di Kamboja. Ini yang membuat aparat penegak hukum harus menggali dan mencari lebih dalam.
”Perusahaan resminya mungkin bergerak di bidang yang tidak ada hubungan dengan internet, tetapi mereka mempunyai properti yang dipakai untuk mencari pendapatan tambahan melalui jalur kejahatan,” ujarnya.