Festival Wai Humba Ingatkan Degradasi Hutan di Sumba, Tanah Ulayat Dikuasai Pemodal
Festival menandai betapa pentingnya sumber-sumber air bagi masyarakat dan ternak di Pulau Sumba. Festival menjadi ajang konsolidasi dan refleksi pembangunan yang mengabaikan nilai lokal Sumba.
WAINGAPU, KOMPAS —Kawasan hutan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, terus terdegradasi. Perusakan hutan bakal terus berlangsung selama belum ada regulasi dengan sanksi tegas terhadap para pelaku. Kondisi ini berdampak serius terhadap kekeringan dan kesulitan air bersih yang terjadi saat ini. Penyerobotan tanah ulayat oleh pemodal dengan alasan investasi dankesejahteraan harus dihentikan.
”Sampai tahun 1990-an, luas hutan di Pulau Sumba masih berkisar 30 persen, tetapi kini tersisa 5 persen. Ini pertanda bahaya, degradasi hutan sudah ke titik nadir. Kerusakan hutan menyebabkan kekeringan di mana-mana di daerah ini selama musim kemarau bahkan musim hujan. Kita harus bersatu, melawan siapa saja yang berupaya membakar, menebang, dan merusak hutan dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab,” kata Bupati Sumba Timur Kristofel Praing di Waingapu, Senin (21/11/2022), saat menutup Festival Wai Humba IX.
Adapun Festival Wai Humba IX berlangsung di Kampung Adat Wundut, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur. Festival berlangsung tiga hari di Kampung Adat Wundut, 25 kilometer dari Waingapu. Festival tahunan ini sempat berhenti karena pandemi Covid-19 pada 2020-2021. Festival Wai Humba yang artinya air Sumba itu menandai betapa pentingnya sumber-sumber air bagi masyarakat dan ternak di Pulau Sumba.
Dalam kesempatan itu, Praing antara lain menegaskan, pihaknya terus memberi dukungan terhadap semua upaya masyarakat menjaga Pulau Sumba dari degradasi hutan dan budaya Sumba secara keseluruhan. Kerusakan hutan dan degradasi budaya Sumba saat ini tidak bisa ditolerir lagi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT menunjukkan, luas hutan di Pulau Sumba mengalami penurunan cukup drastis dari tahun 2017 sampai 2020. Sumba Timur, misalnya, luas hutannya mencapai 77.012,29 hektar pada 2017, turun menjadi 43.373,18 ha pada 2020. Sumba Barat, dari 13.197,72 ha menjadi 9. 444,20 ha. Sumba Tengah dari 8.328,17 ha menjadi 4.241,76 ha dan Sumba Barat Daya 13.097,24 ha menjadi 6.041,24 ha.
Baca juga: Nasib Perempuan Sumba dan Pengakuan Agama Asli Marapu
Ia pun berjanji, selama masa kepemimpinannya, dirinya menolak semua upaya yang merusak hutan dan alam, termasuk tambang dan pembangunan yang mengabaikan lingkungan sekitar. Lebih buruk lagi, pembangunan itu mengabaikan hak-hak masyarakat lokal termasuk adat dan budayanya. Saatnya masyarakat Sumba sadar dan paham mengenai pentingnya menjaga hutan dan semua habitat yang ada dalamnya.
Festival ini juga menegakkan dan memperbarui sanksi-sanksi adat bagi siapa saja yang merusak hutan dan menjual tanah secara sepihak tanpa pengetahuan seluruh anggota suku kepada pemodal.
Sekretaris Yayasan KoordinasiPengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumba Triawan Umbu Uli Mahakati mengatakan, Festival Wai Humba lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap eksploitasi industri pertambangan emas yang mengemuka di Sumba tahun 2012. Festival merupakan wujud perlawanan pemilik hak ulayat atas lokasi yang sedang ditambang oleh pemilik modal yang bekerja sama dengan pemda saat itu.
Festival diberi nama Wai Humba karena nenek moyang orang Sumba sangat menghargai air, yang dalam bahasa setempat disebut wai, wee, weyo, yang artinya sumber kehidupan. Empat kota di Sumba bahkan diberi nama dengan awalan ”Wai”, yakni Waingapu, Waikabubak, Waibakul, dan Weetabula. Air sangat dihargai oleh orang Sumba karena ia memberi kehidupan dan menghidupi segala sesuatu di atas tanah itu.
Baca juga: Tanah Adat di Pulau Sumba dipetakan
Tanah adalah Ibu
Festival Wai Humba IX mengambil tema ”Tana Na Beri Inamu” atau ”Tanah adalah Ibumu”. Ini sebagai penegasan bahwa tanah Sumba, di mana orang Sumba dan siapa saja yang tinggal di atasnya, adalah ibu, mama, yang melahirkan, merawat dan membesarkan. Tanah memberi air untuk kehidupan. Ia menumbuhkan sandang, pangan, dan papan bagi manusia yang tinggal.
Direktur Yayasan Donders Sumba P Mikhael Keraf CSsR dalam orasi budayanya mengatakan, barang siapa yang merusak bumi Sumba, ia telah berkhianat terhadap ibu atau mamanya. Siapa yang menjual tanah Sumba, ia ”menjual” ibunya kepada pemilik modal.
”Saat ini hampir semua kawasan pesisir Sumba sudah dijual kepada investor atau pemodal dari dalam dan luar negeri dengan alasan investasi kesejahteraan orang Sumba. Itu omong kosong. Contoh, pencaplokanbeberapa bidang tanah di Tanjung Sasar Sumba Timur oleh pemilik modal, bekerja sama dengan pemerintah, yang kemudian menyengsarakan masyarakat lokal di sana,” kata Keraf.
Masyarakat telah melakukan protes ke Kantor Pertanahan di Waingapu karena telah terjadi penyerobotan lahan saat itu. Namun, sehari kemudian, oknum pemodal itu memproses sertifikat tanah yang baru dicaplok atas nama oknum masyarakat lokal. Ini penipuan dan pembodohan masyarakat adat Sumba.
Baca juga: Masyarakat Adat Sumba Gelar Pertemuan Bahas Ujaran Gubenur NTT
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paringgi mengatakan, festival merupakan ajang konsolidasi dan refleksi atas eksistensi warga Sumba dan Marapu sebagai agama asli dan budaya asli Sumba. Pembangunan belakangan ini telah mengabaikan nilai-nilai lokal Sumba yang telah dipraktekan ratusan tahun silam.
”Wai Humba adalah refleksidan aksi atas kehumbaan manusia Sumba. Festival ini sebagai ajang otokritikatas eksistensi orang Sumba dengan budaya dan segala kearifan di dalamnya. Apakah kita masih layak disebut orang Sumba sementara kita merusak budaya, hutan, lingkungan, dan mengabaikan nilai-nilai lokal Sumba,” kata Tanaamahu Paringgi.
Oleh karena itu, agama asli Marapu dengan budaya Marapu di dalamnya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019, perlu ditegakkan di tanah Sumba oleh seluruh lapisan masyarakat Sumba. Data BPS Sumba Timur menyebut, pada 2019, jumlah penghayat Marapu sebanyak 31.476 jiwa. Tahun 2021, jumlahnya menurun menjadi 17.791 jiwa atau terjadi penurunan sebanyak 14.685 orang dibandingkan tahun 2019.
Baca juga: Kidung Duka Kerusakan Alam Tak Terkendali di NTT
Rato (Raja) Marapu Kabihu pada Uma Rato, dari Kampung Adat Wundut, Lewa, Sumba Timur, Lunggi Randa berharap festival ”Wai Humba” bisa membantu menjaga kelestarian hutan-hutan yang berada di dalam tanah ulayat, termasuk di dalamnya, Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Sumba Timur.
Ia mengatakan, warga Marapu pun harus menahan diri untuk tidak merusak hutan di dalam taman nasional itu. ”Meskipun pembangunan rumah adat kita butuh kayu berkualitas, tali-tali hutan, dan daun-daunan dari dalam hutan taman nasional ini, mulai sekarang, kita pelihara kayu dan menanam tali hutan sendiri di pekarangan rumah atau lahan pertanian sendiri agar tidak merusak hutan yang menjadi sumber air hidup warga Sumba,” ajak Randa.
Ia mengajak masyarakat adat Sumba menggerakkan dan mengaktifkan seluruh lapisan masyarakat Marapu, menghidupkan kembali semua ritual yang berkaitan dengan penghormatan terhadap tanah ulayat atau tanah suku dengan hutan, air, batu, dan pohon-pohon di dalamnya.
”Festival ini juga menegakkan dan memperbarui sanksi-sanksi adat bagi siapa saja yang merusak hutan dan menjual tanah secara sepihak tanpa pengetahuan seluruh anggota suku kepada pemodal. Tanah ulayat, hutan, batu, dan air di dalamnya harus diwariskan kepada anak cucu yang akan datang,” katanya.