WAIANGAPU, KOMPAS — Semua tanah adat di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, segera dipetakan untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah kabupaten setempat, yakni Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya. Selama ini, pemda menganggap kawasan padang penggembalaan di pulau itu sebagai lahan telantar sehingga diserahkan ke investor untuk dikelola.
Pemetaan secara digital wilayah hukum adat di Sumba dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat adat. Hasil pemetaan di lapangan dengan menggunakan metode global positioning system (GPS) akan dimusyawarahkan bersama, lalu disampaikan ke pemda di masing-masing kabupaten. Tidak ada kawasan di Sumba yang disebut sebagai lahan telantar sebagaimana diklaim pemerintah, kecuali padang penggembalaan milik suku.
Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Sumba Umbu Manurara dihubungi di Waingapu dari Kupang, Minggu (28/1), mengatakan, pelatihan berlangsung 22-28 Januari 2017 di Waingapu. Sebanyak 30 masyarakat adat dari 4 kabupaten di Sumba dilatih untuk menggunakan gawai, menentukan batas wilayah adat masing-masing. "Masyarakat adat harus tahu menggunakan sarana gawai yang mereka miliki untuk memetakan tanah adat.Setelah itu, mereka menjadi pelatih bagi kelompok masyarakat adat yang tersebar di empat kabupaten di Sumba. Para peserta adalah perwakilan dari empat kabupaten itu," ujarnya.
Saat ini hampir sebagian besar tanah adat diklaim sebagai milik pemda lalu diserahkan kepada pengusaha untuk dikelola. Misalnya, di Sumba Timur, lahan 20.000 hektar diserahkan ke PT Muria Sumba Manis untuk perkebuhan tebu, tanpa pengetahuan masyarakat adat. Kawasan pesisir diserahkan ke swasta untuk pembangunan hotel dan restoran.
Luas pulau Sumba 11.153 km2, di mana 7.807 km2 di antaranya adalah tanah adat. Sebelum pemerintah hadir di Pulau Sumba, 1958, para kepala suku atau "kabisu" menguasai wilayah Sumba. Kabisu memiliki ribuan ekor kerbau, kuda, dan sapi di padang penggembalaan. Saat itu, seluruh daratan Sumba dikuasai kabisu.
Selama ini semua padang penggembalaan diklaim pemerintah sebagai lahan telantar. Ini sebuah kekeliruan. Sumba dengan kondisi geografis yang sebagian besar ditumbuhi padang sabana, ditakdirkan sebagai lahan penggembalaan ternak.
Setelah dipetakan, dilanjutkan dengan musyawarah bersama. Hasil musyawarah tanah adat ini diserahkan ke pemda dan DPRD. Jika kawasan yang dipetakan sudah digunakan untuk perkebunan, permukiman warga, perkantoran atau pembangunan fasilitas umum diminta segera dikembalikan ke masyarakat adat.
Bupati Sumba Tengah Umbu Bintang menyatakan, mendukung kegiatan itu. Namun, pemetaan tidak boleh dilakukan sepihak. Pemerintah, terutama Badan Pertanahan Nasional perlu dilibatkan. Jangan sampai seluruh wilayah Sumba dimasukkan sebagai tanah adat.
"Pemerintah mengakui hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat. Namun, di lain pihak, UUD 1945 pun antara lain menyebutkan, bumi, air, dan kekayaan alam di atasnya, dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat," katanya. (KOR)