Nasib Perempuan Sumba dan Pengakuan Komunitas Agama Asli Marapu
Praktik perhambaan dan kawin tangkap di Sumba tidak akan pernah selesai, selama semua pihak tidak punya komiten mengatasi masalah ini.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 97/PUU-XIV/2016 mengenai adanya Komunitas Agama asli Marapu, Nusa Tenggara Timur, bagai buah simalakama. Di satu sisi, keputusan tersebut berarti mengakui dan melindungi kepercayaan asli. Di sisi lain, ada kekhawatiran jika tidak diiringi pemahaman yang baik, komitmen tinggi, serta semangat untuk melindungi serta mengakui kesetaraan, termasuk perempuan, akan muncul masalah di tengah masyarakat NTT.
Ketua Komunitas Agama Asli Marapu Sumba, Nusa Tenggara Timur, Umbu Maramba Hawu dihubungi di Sumba, Rabu (20/4/2022), mengatakan, putusan Mahkamah Konsitusi RI Nomor 97/PUU-XIV/2016 itu sudah 5 tahun berlaku di Sumba. Akan tetapi, pembentukan lembaga komunitas agama asli Marapu belum sampai ke tingkat desa dan kecamatan. Hanya pengurus di tingkat kabupaten, yakni Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah sudah dibentuk dan dilantik.
Ia mengatakan, pihaknya tidak mungkin membentuk Komunitas Agama Asli Marapu ini sampai ke desa dan kecamatan. ”Ini, lembaga resmi sebagai pendukung budaya dan tradisi nasional dan pariwisata Sumba, mestinya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di masing-masing kabupaten menggerakan dan memulai pembentukan itu,” kata Maramba Hawu.
Marapu sebagai bentuk kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang dianut seluruh masyarakat Sumba. Seluruh tatanan kehidupan orang Sumba selalu dalam kuasa dan landasan agama asli Marapu ini. Seperti aliran kepercayaan di daerah lain, Sumba pun memiliki sejumlah nama untuk menyebut wujud tertinggi.
Dalam bahasa daerah Sumba, khususnya Wewewa, Sumba Barat Daya, wujud tertinggi disebut ”A Kanga Wolla Limma, A Boka Wola Wa’I”, artinya Dia yang menciptakan dan Dia yang menjadikan. ”Dapa Numa Ngara, Dapa Teki Tamo”, artinya yang tidak boleh disebut namanya dan tidak boleh disebut nama aliasnya.
”Ama A Magholo, Ina A Marawi”, artinya bapa yang membuat (mengukir), ibu yang menjadikan (menenun). ”Ama Padewama, Ina Paurrama”, artinya Bapa yang melindungi, ibu yang merawat. Kata ”Marapu” itu sendiri artinya roh yang tidak kelihatan, tetapi mampu mendeteksi semua perilaku dan perkataan manusia.
Dalam Keputusan MK itu disebutkan, jumlah penduduk Sumba tahun 2018 sebanyak 644.144 jiwa. Komposisi penduduk berdasarkan agama adalah Islam 26.606 jiwa (4,12 persen), Kristen Protestan 391.739 jiwa (60,81 persen), Katolik 143.122 (22,22 persen), Hindu 742 jiwa (0,12 persen), dan penganut Marapu 81.953 jiwa (12,73 persen).
”Meski demikian, dalam praktik hidup, semua penduduk Sumba asli, lahir, besar, dan memiliki orangtua Sumba adalah orang Marapu. Tetapi, agama asli Marapu tidak memiliki kartu tanda penduduk sehingga mereka kesulitan akses bantuan sosial pemerintah, termasuk pendidikan anak-anak. Kondisi ini mendorong sebagian penganut Marapu terpaksa masuk agama tertentu dan terpaksa pula menulis beragama di KTP, tetapi tidak pernah ke rumah ibadat itu,” kata Maramba Hawu.
Meski demikian, dalam praktik hidup, semua penduduk Sumba asli, lahir, besar, dan memiliki orangtua Sumba adalah orang Marapu.
Dengan adanya Keputusan MK yang melegalkan agama asli Marapu, para penganut agama tersebut memiliki KTP sah dengan agama aliran kepercayaan seperti daerah lain di Indonesia. Marapu diakui secara sah dan dilegalkan keberadaannya di seluruh daratan Sumba. Itu berarti penganut Marapu memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penganut agama lain, yang diakui di Indonesia.
Menegakkan, melestarikan, dan mempertahankan komunitas Marapu, berarti pula menjaga dan melestarikan seluruh tatanan adat, budaya, dan tradisi di pulau itu. Namun, praktik perbudakan atau perhambaan terhadap kelompok masyarakat kelas bawah, yang disebut ”atta” pun dapat mendapatkan jalannya untuk dilegalkan kembali, terutama terhadap kaum perempuan.
”Itu sudah jelas, terutama di kalangan mereka yang benar-benar menganut kepercayaan Marapu,” kata Umbu Maramba Hawu.
Bangsawan Sumba Timur ini mengatakan, keorganisasian Komunitas Adat Merapu ini sudah terbentuk sampai tingkat desa, sekitar 100 desa dari total 140 desa dan 16 kelurahan serta 22 kecamatan. Setelah semua lembaga terbentuk di seluruh daratan Sumba akan diadakan sidang raya untuk menentukan dan menetapkan sejumlah aturan adat dan tradisi Marapu, termasuk praktik perbudakan orang, termasuk kaum perempuan.
Budayawan dan sejarawan Sumba, Frans Wora Hebi (79), mengatakan, meski ada pengakuan pemerintah soal agama asli Marapu, pengakuan itu tidak akan menegakkan dan melestarikan praktik perhambaan di Sumba. ”Saat ini praktik itu tidak ada lagi di sebagian besar Sumba. Kecuali di Sumba Timur, praktik itu masih ada,” kata Hebi.
Cikal bakal munculnya praktik perhambaan ini berlangsung sudah ratusan tahun silam. Beberapa faktor pendukungnya, antara lain, ialah orang miskin di wilayah itu merasa kesulitan makan minum, kemudian mendatangi raja, bangsawan, orang kaya, atau orang terpandang dalam desa, kemudian menghambakan diri sebagai pekerja di situ. Setelah menjadi hamba, orang itu dinikahkan oleh tuannya, akhirnya terus menghambakan diri di tempat itu, termasuk seluruh turunannya.
Faktor lain, yaitu perang antarsuku di Sumba. Pihak yang kalah kemudian menyerah dan dijadikan hamba bagi raja, pangeran atau komandan perang dan para ketua adat di wilayah itu. Pihak pemenang kemudian sesukanya memberlakukan hamba itu, termasuk menjual mereka sampai ke Sumbawa, Bima, dan Bali.
Warga tidak mampu membayar pajak kepada penjajah Belanda. Kelompok warga ini tidak memiliki ternak, kemudian menghambakan diri kepada pemilik ternak atau raja. Raja yang membayar pajak itu, kemudian keluarga orang tersebut menjadi hamba kepada penanggung pajak.
”Memang, dalam praktik perhambaan ini kaum perempuan paling menderita dibandingkan dengan kaum pria. Mereka diperlakukan sewenang-wenang oleh raja, bangsawan, orang kaya, dan kaum penjajah Belanda. Ada yang hamil tanpa suami, tetapi anak-anak hasil hubungan di luar nikah itu dijamin oleh pelaku, dalam hal ini raja atau bangsawan bersangkutan,” kata Hebi.
Zaman dulu, saat raja itu meninggal dunia, ada 1-2 hamba yang secara sukarela ikut dikuburkan secara hidup bersama tuannya yang telah meninggal itu. Walakin, sampai tahun 1900-an, praktik itu mulai hilang sampai hari ini setelah kehadiran agama-agama resmi dan pendidikan hadir di Sumba.
Ayah dari petinju profesional WBC, Yansen Hebi Marapu, ini mengatakan, praktik perhambaan di Sumba mulai menghilang. Mereka itu sudah mulai memberontak kepada tuannya, kecuali beberapa tempat di Sumba Timur. ”Saya masih temukan sejumlah orang mengaku diri sebagai hamba, bekerja untuk orang tertentu. Bisa saja mereka itu dari dulu adalah turunan hamba juga,” katanya.
Namun, kekuasaan raja di Sumba sekarang tidak ada lagi sehingga praktik hamba itu seharusnya tidak berlaku di seluruh daratan Sumba.
Mengenai kawin tangkap yang masih berlangsung di Sumba sampai hari ini, Hebi mengatakan, itu pun bukan budaya Sumba. Praktik kawin tangkap muncul karena kemiskinan. Ada pria yang ingin menikah dengan perempuan tertentu, tetapi tidak memiliki apa-apa, akhirnya menculik perempuan itu.
Koordinator Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak Sumba Martha Hebi mengatakan, praktik perhambaan dan kawin tangkap masih berlangsung di Sumba. Praktik ini tidak akan hilang selama semua pihak tidak peduli dengan masalah ini. Pengakuan adanya agama asli Marapu oleh pemerintah seakan ”melegalkan” tradisi dan adat yang selama ini melanggar hak–hak kaum perempuan.
”Nasib perempuan Sumba tidak akan pernah mulus berubah selama semua pihak tidak punya komitmen yang sama soal kawin tangkap dan praktik perhambaan ini,” katanya.