Pembiaran Praktik Kawin Tangkap di Sumba Harus Segera Diakhiri
Kawin tangkap di Sumba berulang lagi di awal tahun 2021 ini. Pembiaran terhadap praktik ini harus segera dihentikan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Rumah adat khas Sumba berbentuk joglo, Maret 2018. Rumah ini lahir dari semua kearifan lokal dan tradisi masyarakat Sumba, termasuk adat kawin tangkap yang disebut yappa marada yang sudah berlangsung ratusan tahun.
TAMBOLAKA, KOMPAS — Praktik kawin tangkap masih mengancam kehidupan perempuan di Sumba, Nusa Tenggara Timur, hingga awal tahun 2021. Pembiaran terhadap kasus ini harus dihentikan. Pelakunya berpeluang dijerat kasus penculikan hingga perampasan kemerdekaan seseorang.
Kawin tangkap adalah nikah paksa yang diawali penculikan perempuan. Hal ini masih dianggap sebagian kalangan sebagai tradisi. Akibatnya, kerap tidak ada orang menolong saat perempuan menjadi korban. Padahal, lembaga adat di Sumba sudah menyatakan praktik itu sebagai pelanggaran adat.
Kasus terbaru menimpa SIK (21), warga Desa Wee Wulla, Kecamatan Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Dia diculik enam lelaki tidak dikenal pada Rabu (4/3/2021) di rumahnya sendiri. Direktur Solidaritas untuk Perempuan dan Anak Sumba Martha Hebi, Sabtu (6/3/2021), mengatakan, saat kejadian, SIK tengah sendiri. Orangtuanya bekerja di Bima, Nusa Tenggara Barat.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Perempuan-perempuan dari Waingapu, Sumba Timur, termasuk pekerja ulet, Maret 2018. Mereka tidak hanya bertugas di dapur serta mengurus suami dan anak, tetapi juga bekerja di ladang, seperti mencangkul, menanam, dan menyiangi rumput.
Kejadian ini sebenarnya dilihat tetangga. Namun, mereka takut mendekat karena enam lelaki itu membawa golok. Bahkan, sampai korban menjerit dan dibanting dua kali ke tanah pun, tidak ada yang menolongnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Sumba Barat Inspektur Satu Yohannes ER Balla mengatakan, pelaku sudah ditangkap. ”Kasus ini masih berupa informasi keluarga yang meminta bantuan polisi. Ini masuk delik aduan sehingga harus diadukan sendiri oleh korban. Namun, demi kecepatan pelayanan pada masyarakat, pelaku telah ditangkap dan ditahan,” katanya.
Dari informasi yang dihimpun Kompas, otak di balik aksi ini diduga adalah UD alias AM. Dia adalah warga Wewewa Timur, berjarak 30 kilometer dari rumah korban. Lelaki sudah beristri dan memiliki tiga anak itu menyewa enam lelaki lainnya untuk menjalankan penculikan itu.
Direktur Yayasan Solidaritas Perempuan dan Anak Sumba Martha Hebi
Ketua Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak NTT Tori Ata mengatakan, kawin tangkap adalah kejahatan dan pelanggaran serius terhadap hak perempuan. Oleh karena itu, polisi harus menyelidikinya dengan serius.
Dia menyebutkan, kasus ini seharusnya menjadi delik laporan, bukan delik aduan. Apalagi, korban sudah berusia 21 tahun. Jerat Pasal 328 KUHP tentang Penculikan juga dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun juga harus dijatuhkan pada pelaku. Selain itu, ada Pasal 333 KUHP tentang Ancaman Perampasan Kemerdekaan. Ancaman hukuman paling lama 8 tahun penjara.
”Harus ada keadilan terhadap perempuan dalam menangani kasus ini. Jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kalau seperti ini sampai kapan, penculikan bakal berakhir,” kata Tori.
Tarian penyambutan tamu yang diperagakan para pria dari Sumba di Kupang, 20 Februari 2019. Parang sebagai satu-satunya senjata kaum pria Sumba dalam semua urusan, termasuk saat menculik perempuan yang bakal dijadikan istri.
Martha Hebi menambahkan, ada tiga kabupaten di Pulau Sumba yang sejauh ini masih mempraktikkan kawin tangkap atau dalam bahasa setempat disebut yappa marada. Kabupaten itu adalah Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah. Kasus ini sudah berlangsung ratusan tahun dan berbagai pihak telah memperjuangkan penghapusan kasus ini. Namun, tetap saja belum berhasil.
Secara adat, kasus ini biasanya terkait hubungan biologis dan sosiologis antara korban dan pelaku. Biologis, misalnya, perempuan itu anak om. Dia ditangkap untuk dipersunting anak laki-laki dari saudari perempuan. Hubungan sosiologis, misalnya, sesuai kesepakatan antara kampung dan antara perkawinan.
Akan tetapi, sejak 2018, penculikan itu tidak lagi berdasarkan pada kedua hubungan itu. Penangkapan dilakukan di pasar, di jalan, di rumah, dan tempat umum lain, tanpa memperhatikan hubungan biologis dan sosiologis tadi. Bahkan, kini, meski ada hubungan biologis dan sosiologis, praktik ini tidak diperbolehkan lagi.
Pada Juli 2020, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati datang ke Sumba Timur. Salah satu agendanya membahas soal penculikan perempuan ini.
”Jika ada dokumen-dokumen yang sudah dihasilkan terkait kasus penculikan ini, kami siap bantu sosialisasi,” kata Martha.