Praktik kawin tangkap di Sumba Tengah, NTT, beberapa waktu lalu cukup menjadi pilu terakhir. Praktik yang merendahkan harkat dan martabat perempuan ini agar tak terulang di masa mendatang.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Praktik kawin tangkap yang terjadi di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 16 Juni 2020 haruslah menjadi pelajaran bagi semua masyarakat dan semua pihak. Satu di antaranya adalah menghentikan praktik yang mengatasnamakan adat, tetapi melanggar hak asasi manusia dan merendahkan martabat perempuan.
Negara diharapkan—bahkan harus—hadir melindungi perempuan korban kawin tangkap. Langkah ini penting karena sampai kini perbuatan menangkap atau menculik perempuan tersebut terus berulang dan menimpa perempuan-perempuan di Sumba. Kehadiran negara penting untuk menjamin dan memastikan tidak akan ada lagi perempuan-perempuan malang yang menjadi korban.
Selain memastikan perbuatan tersebut tak berulang kembali, negara perlu menyentuh nasib para korban yang mengalami trauma. ”Suara korban harus didengarkan. Sebab, selama ini, suara penyiksaan yang menyisakan trauma yang mendalam tidak pernah didengarkan,” ujar Ketua Persekutuan Perempuan Berpendidikan Theologi di Indonesia (Peruati) Sumba Aprissa Taranau, Senin (22/6/2020).
Aprissa menanggapi kasus kekerasan terhadap perempuan melalui praktik kawin tangkap yang menimpa R (21), warga Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, Sumba Tengah, pada pekan lalu, Selasa (16/6/2020). Seperti diberitakan, R diambil oleh beberapa laki-laki dan dibawa paksa ke rumah N (28), laki-laki yang akan menikahinya.
Peristiwa tersebut direkam dalam video berdurasi sekitar 30 detik, yang diunggah ke media sosial. Peristiwa tersebut mengundang kemarahan dan kecaman sejumlah kalangan, gereja, serta organisasi perempuan dan hak asasi manusia. Peristiwa tersebut sungguh melukai perasaan kemanusiaan.
Aprissa menegaskan, suara R sebagai korban harus didengarkan. Sebab, semenjak ditangkap pekan lalu, dia diduga berada dalam tekanan dan intimidasi. Selama ini, suara-suara perempuan korban kawin tangkap tidak pernah didengar. Padahal, ketika dibawa paksa, perempuan korban melakukan perlawanan, tapi akhirnya tidak berdaya karena mereka dipaksa menerima perkawinan.
Selain memastikan korban mendapat pemulihan, Peruati Sumba juga mendesak pemerintah dan DPRD segera mengeluarkan peraturan daerah. Regulasi daerah tersebut berisi aturan yang menyatakan kawin tangkap sebagai tindakan pidana agar para pelaku dapat dijerat secara hukum positif dan mendatangkan efek jera.
Dalam jangka pendek, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, beserta Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) didesak untuk menurunkan tim di lapangan. Kehadiran mereka setidaknya bisa melindungi dan memulihkan korban dari trauma.
”Perempuan korban kawin tangkap diculik di ruang publik. walau melawan, (mereka) tidak berdaya karena dikeroyok pelaku lapangan, disembunyikan di rumah pelaku yang ingin mengawininya, dan dijaga ketat agar tidak meloloskan diri, serta rentan mengalami pemerkosaan selama disekap di rumah pelaku,” ujar Sylvana Apituley, Ketua Peruati Jabodetabek dan Wakil Presiden Dewan Gereja Reformasi Sedunia.
Sylvana menyampaikan, dari informasi yang diperoleh hingga Senin malam, R, korban kawin tangkap 16 Juni 2020 di Sumba Tengah, masih berada di rumah pelaku. Tanpa komunikasi, apalagi persetujuan korban, kedua pihak keluarga akhirnya menyetujui untuk mengawinkan korban dengan pelaku.
”Kita tidak boleh menganggap remeh kejahatan ini. Kawin tangkap ini merendahkan harkat dan martabat perempuan sebagai manusia, serta kekerasan dan pelanggaran yang serius terhadap hak-hak dasar perempuan Indonesia yang dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang nasional lainnya,” tegas Sylvana.
Dampingi korban
Justina Rostiawati, Ketua Presidium Wanita Katolik Indonesia, yang juga mantan komisioner Komnas Perempuan, meminta agar dalam proses negosiasi adat memastikan keberadaan pendampingan bagi korban. Pendampingan juga harus dilakukan terhadap orangtua korban (perempuan) karena kerugian besar berada pada pihak perempuan jika tidak mendengarkan dan mendialogkan harapan anaknya sebagai korban.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy MP Hutabarat, menegaskan, Komnas Perempuan menyayangkan karena peristiwa kawin tangkap terus berulang di Sumba. Karena itu, pemerintah didesak segera Perda Penghapusan Kawin Tangkap dengan melibatkan partisipasi perempuan khususnya perempuan korban.
Kami meminta korban harus didampingi dan dipenuhi haknya atas pemulihan terhadap trauma. (Rainy MP Hutabarat)
Selain itu, kepolisian NTT juga didesak agar melakukan penindakan berdasarkan hukum yang berlaku. ”Kami meminta korban harus didampingi dan dipenuhi haknya atas pemulihan terhadap trauma kekerasan fisik, psikis, pelecehan seksual yang dialaminya,” ujar Rainy.
Pada Senin malam, sejumlah anak muda yang tergabung dalam Sumbavoice.com menggelar diskusi daring ”Membangun Komitmen Wujudkan Kesetaraan Perempuan Pulau Sumba dari Kawin Paksa” dengan pembicara Serlinia Rambu Anawoli (Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia Kota Kupang Serlinia Rambu Anawoli), Sulih Indra Dewi (dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang), dan Triwingsi Anamakka (Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Salatiga), dan Ketua DPRD Sumba Tengah, Tagela Ibisola.
Mereka mendesak adanya perda penghapusan kawin tangkap dan menyerukan kepada seluruh anak muda Sumba untuk bangkit menghentikan praktik-praktik kawin paksa. Hal itu sungguh merendahkan harkat dan martabat anak-anak perempuan Sumba.