Mengembalikan Mangrove Lewat Budidaya Tambak Ramah Lingkungan
Aktivitas tambak di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan telah merampas hak hidup hutan mangrove. Kondisi ini dapat mengancam kelestarian lingkungan dan memicu bencana ekologis.

Tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Aktivitas tambak di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, merampas hak hidup hutan mangrove. Kondisi ini mengancam kelestarian lingkungan dan memicu berbagai bencana ekologis. Pembenahan konsep budaya tambak ramah lingkungan mulai dijalankan agar hutan mangrove dapat kembali melindungi wilayah pesisir.
Di tengah hujan gerimis, Fitriadi (42) tampak telaten mengangkat tanaman ganggang kawat di pinggir tambak yang terletak di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Ganggang diletakkan di atas tanggul untuk selanjutnya dibuang.
Jika ganggang kawat itu dibiarkan mengapung di tambak dikhawatirkan bisa mengganggu budidaya ikan. Dalam waktu dekat, bibit bandeng dan udang windu akan ditebar di tambak milik saudara iparnya itu.
Selama 18 tahun terakhir, pengawasan tambak dengan luas sekitar 10 hektar itu menjadi tanggung jawabnya. ”Kalau tidak diawasi, tanggul bisa jebol. Bandeng dan udang yang hidup di tambak akan limpas ke sungai,” ucap Fitriadi.
Tidak hanya tanggul jebol, risiko serangan hama berupa ular, burung, hingga berang-berang juga menjadi ancaman lain yang tidak kalah menakutkan. Karena itu, ia berkeliling setiap hari untuk memastikan tambaknya baik-baik saja.
”Sekali lengah, hasil tambak bisa berkurang,” ujarnya.
Tambak yang ia jaga berada sekitar 1 kilometer dari pesisir Selat Bangka. Di antara tambak dan garis pantai terdapat hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove itu sejak 2018 berstatus hutan Kemasyarakatan (HKm).
Sebelum tahun 2018, ujar Fitriadi, jumlah bandeng yang bisa diperoleh dalam satu kali masa panen mencapai 2 ton. Sementara udang windu bisa mencapai 1 ton.
Namun, dalam empat tahun terakhir, jumlahnya menurun. Hasil panenan bandeng hanya 500 kilogram (kg) dan udang 300 kg.

Tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Selain produktivitas menurun, waktu pemeliharaan juga semakin panjang. Untuk bandeng, waktu pemeliharaan bisa mencapai delapan bulan lebih lama dari biasanya, yakni enam bulan. Adapun udang yang biasanya hanya tiga bulan pemeliharaan kini menjadi enam bulan.
”Pertumbuhan udang dan bandeng sangat lambat, waktu pemeliharaan pun terpaksa diperpanjang,” ucap Fitriadi.
Ia menduga penurunan hasil panen disebabkan kondisi cuaca yang tidak menentu yang berdampak pada menurunnya kualitas air. Akhir-akhir ini musim kemarau jauh lebih pendek dibandingkan dengan musim hujan. Hal ini berdampak pada kondisi air tambak yang akan jauh lebih tawar.
”Jika kondisi air tidak stabil, pertumbuhan bibit terganggu,” ucap Fitriadi.
Penurunan hasil tambak ini berkesesuaian dengan pembukaan tambak yang kian masif dalam empat tahun terakhir. Pembabatan mangrove semakin meluas. Bahkan, di beberapa tempat, pembukaan tambak menggunakan alat berat.
Tingginya pembukaan tambak dipicu oleh peluang pasar yang semakin menggiurkan. Udang windu dan bandeng dari Desa Simpang Tiga Abadi biasanya dikirim ke Jakarta, Bangka Belitung, dan Palembang.
”Berapa pun yang tersedia pasti akan langsung diserap oleh para pengepul,” ujar Hendra (45), petambak lain.
Namun, dampak perambahan hutan bakau kian terasa. Menurunnya kualitas air di dalam tambak membuat pertumbuhan udang dan bandeng berkurang.
”Sekarang banyak bandeng yang ukurannya kecil,” katanya.
Padahal, untuk mendapatkan harga tinggi, salah satu syaratnya ukuran bandeng setidaknya 500 gram per ekor. Nyatanya kini lebih banyak bandeng yang berukuran 100 gram per ekor.
”Semakin kecil ukuran bandeng akan semakin sulit dijual, kata Hendra.
Bandeng yang berukuran 500 gram per ekor bisa dihargai Rp 15.000 per kg. Adapun bandeng dengan ukuran 100 gram hanya dihargai Rp 2.500 per kg. Jika kondisi ini terus terjadi, petambak akan terus merugi.
Baca juga : Tergerus Perambahan, Hutan Mangrove di Sumsel Kian Mengkhawatirkan

Sebuah perahu cepat berlayar di tengah hutan mangrove yang terletak di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Keberadaan hutan mangrove di sana terancam pembukaan tambak tradisional. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Sekretaris Desa Simpang Tiga Abadi Imam Khoiri mengutarakan, pembukaan tambak pertama kali terjadi pada tahun 1992 oleh warga suku Bugis dan Lampung. Ketika membuka tambak pertama kali, skema yang dilakukan adalah dengan menangkap ikan dan udang dari sungai yang akan dijadikan air baku tambak.
Hasil tangkapan dan budidaya saat itu sangat melimpah. Untuk ikan saja, dalam enam bulan, mereka bisa memperoleh hasil hingga 5 ton, sementara untuk udang, hasil yang bisa diperoleh saat itu mencapai 2 ton.
Kabar ini pun merebak hingga ke seluruh wilayah. Akibatnya banyak warga yang tertarik untuk membuka tambak.
Pembukaan tambak terus berlangsung sampai saat ini terhitung ada sekitar 2.000 tambak dengan luas tambak mencapai 4.000 hektar. ”Dari jumlah tersebut, 72 persen di antaranya masuk ke kawasan hutan,” ujar Imam.
Restorasi mangrove
Melihat produksi petambak yang terus turun, pemerintah desa mengimbau warga, terutama pendatang, agar tidak lagi membabat hutan bakau untuk membuka tambak baru. Warga disarankan memanfaatkan tambak yang sudah ada seoptimal mungkin.
”Jika hutan bakau terus dibabat, saya khawatir hasil tambak juga tidak akan terus merosot,” ucap Imam.
Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), pembukaan tambak menjadi penyebab utama tergerusnya lahan mangrove di Sumsel, termasuk di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Manager Program Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance/MERA) Deni Setiawan mengutarakan, berdasarkan pantauan citra satelit, sebaran mangrove di Sumsel terus terkikis dalam 31 tahun terakhir.
Pada tahun 1990, luasan mangrove di Sumsel masih sebesar 208.626 hektar. Sepuluh tahun berselang, jumlahnya menyusut menjadi 192.203 hektar. Sebaran mangrove di Sumsel kembali berkurang menjadi 186.243 hektar pada 2021.

Tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Kawasan mangrove di Sumsel tersebar di Kabupaten Banyuasin seluas 144.354 hektar, Ogan Komering Ilir seluas 40.020 hektar, dan Musi Banyuasin seluas 1.869 hektar.
”Sebagian besar penyusutan lahan mangrove disebabkan oleh alih fungsi lahan mangrove menjadi kawasan tambak,” tuturnya. Padahal, kerusakan ekosistem mangrove bisa mendatangkan berbagai bencana ekologi seperti banjir rob, erosi, intrusi air laut, dan polusi.
Melihat situasi ini, restorasi mangrove dinilai sangat mendesak. Program MERA dicanangkan untuk mengembalikan fungsi mangrove demi tetap terjaganya kelestarian lingkungan. Visi ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk merestorasi 600.000 hektar lahan mangrove dari keseluruhan total lahan mangrove di Indonesia seluas 3,3 juta hektar.
Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), pembukaan tambak menjadi penyebab utama tergerusnya lahan mangrove di Sumsel, termasuk di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Manager Program Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance/MERA) Deni Setiawan mengutarakan, berdasarkan pantauan citra satelit, sebaran mangrove di Sumsel terus terkikis dalam 31 tahun terakhir.
Teknis restorasi akan menggunakan dua pendekatan, yakni dari sisi ekonomi dan sisi kebijakan. Untuk sisi ekonomi, jelas Deni, pihaknya akan menggandeng para peneliti dan akademisi, termasuk dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah, dan Universitas Sriwijaya. Pelibatan sejumlah pihak itu untuk menyusun skema budidaya dengan konsep ramah lingkungan yang cocok dengan kondisi alam di Tulung Selapan.
Selama ini, petambak memilih untuk terus membabat mangrove karena konsep budidaya yang digunakan sangat tradisional sehingga perluasan lahan adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan produksi. Padahal, cara ini sangat tidak efektif karena bisa menghancurkan ekosistem mangrove dan operasionalisasinya berbiaya sangat tinggi.
Baca juga : Sekitar 20 Persen Lahan Mangrove di Sumsel Kritis

Kepiting kecil yang ditemukan di sekitar tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Berbeda dengan konsep ramah lingkungan di mana intensifikasi lahan dan penggunaan teknologi adalah dua yang dikedepankan. Sebagian lahan tambak akan dikembalikan lagi menjadi hutan mangrove. Namun, skema operasionalnya akan ditopang dengan sentuhan teknologi budidaya mutakhir.
Harapannya, hasil tambak yang diperoleh bisa sama atau bahkan lebih banyak dari tambak yang dikelola dengan sistem tradisional. Konsep ini sudah berjalan di Kalimantan Timur dan pada siklus budidaya pertama dinilai cukup berhasil.
Untuk mempermudah proses edukasi dan sosialisasi, menurut Deni, rencananya akan dibuat demplot di tiga desa, yakni Sungai Lumpur, Simpang Tiga Abadi, dan Simpang Tiga Jaya.
”Kami memiliki waktu tiga tahun untuk menjalankan program ini di Sumsel. Harapannya, warga tidak lagi merambah hutan mangrove untuk membuka tambak,” ucapnya.
Adapun untuk pendekatan kebijakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah desa. Tujuannya agar pemerintah provinsi membuat kebijakan, terutama rancangan pembangunan yang bisa mengakomodasi upaya pelestarian hutan mangrove.
Namun, upaya ini bukan tanpa halangan. Berbeda dengan Kalimantan Timur yang sebagian besar tambaknya berada di lahan milik masyarakat, di Tulung Selapan, sebagian besar tambak berada di lahan kawasan hutan. Karena itu, koordinasi menyeluruh mulai dari pemerintahan desa hingga ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus terus dilakukan.
Meskipun begitu, Deni yakin, dengan komitmen yang kuat, program restorasi mangrove dengan mengedepankan konsep budidaya ramah lingkungan di Tulung Selapan dapat dijalankan tepat waktu.
”Skema ini baru bisa dinyatakan berhasil jika sudah melewati tiga siklus budidaya. Karena itu, kedisiplinan petambak menjadi kunci penting agar program ini berhasil,” ucap Deni.

Tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir Eka Nurmayani berharap agar program ini dapat berjalan dengan baik agar tidak ada lagi pembabatan mangrove di pesisir. Kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak pada berkurangnya produksi pada perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
Dia meyakini, jika mangrove rusak, ekosistem hasil laut termasuk ikan akan menurun. Hal itu karena tidak ada lagi tempat mereka untuk memperoleh makanan yang cukup, termasuk tempat untuk berkembang biak.
”Pemahaman seperti ini yang harus terus ditanamkan kepada masyarakat,” ujarnya.
Eka mengakui selama ini sulit untuk memberikan pemahaman, termasuk memberikan bantuan kepada petambak karena sebagian besar tambak berada di kawasan hutan.
Lewat program ini diharapkan kesadaran petambak di kawasan Tulung Selapan untuk berbagi ruang dengan hutan mangrove semakin kuat. Sekuat tanaman mangrove yang melindungi warga pesisir dari empasan gelombang.