Tergerus Perambahan, Hutan Mangrove di Sumsel Kian Mengkhawatirkan
Kondisi hutan mangrove di pesisir Sumatera Selatan kian mengkhawatirkan. Sebagian besar hutan tersebut rusak akibat perambahan untuk aktivitas tambak dan pencurian kayu bakau. Perhutanan sosial diharapkan jadi solusi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sejumlah pengunjung melintasi kawasan hutan bakau (mangrove) di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (3/8/2020). Sekitar 20 persen dari 158.000 hektar lahan mangrove di Sumsel dalam keadaan kritis.
PALEMBANG, KOMPAS — Kondisi hutan mangrove di pesisir Sumatera Selatan kian mengkhawatirkan. Sebagian besar hutan tersebut rusak akibat perambahan untuk aktivitas tambak dan pencurian kayu bakau. Upaya rehabilitasi mangrove terus dilakukan, termasuk mengusung konsep perhutanan sosial.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto pada Lokakarya Pelaksanaan Program Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance/MERA) di Palembang, Kamis (4/11/2021). Dalam program tersebut akan dilakukan perlindungan dan restorasi kawasan mangrove di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumsel seluas 36.000 hektar dalam jangka waktu tiga tahun.
Pandji mengatakan, secara total luasan kawasan mangrove di Sumsel mencapai 345.990 hektar. Paling luas berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. Dari luasan tersebut, sekitar 18,23 persen masuk dalam kategori kritis mencapai 565 hektar dan 62,5 hektar berstatus sangat kritis.
Penyebabnya adalah munculnya perambahan liar untuk pembukaan tambak dan perluasan pelabuhan. Jika situasi ini tidak segera ditanggulangi, dikhawatirkan akan berdampak pada rusaknya ekosistem pesisir termasuk risiko bencana alam.
Menurut Pandji, keberadaan hutan mangrove sangat penting sebagai penunjang keberadaan ekosistem esensial yang memiliki fungsi penyedia sumber nutrisi dan terjaganya bentang daerah pesisir. ”Ekosistem mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan menjadi salah satu produsen perikanan laut di suatu daerah,” katanya.
Yang tak kalah penting, hutan mangrove menyimpan cadangan karbon yang tinggi, yakni mencapai 891,70 ton karbon per hektar. Hampir setara dengan kapasitas simpanan cadangan karbon di kawasan gambut.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel Widada Sutrisna sangat khawatir, kerusakan kawasan mangrove di Sumsel berdampak menurunnya potensi laut. Hal ini sudah terlihat dari tangkapan laut di Sumsel yang sudah lebih rendah daripada kebutuhan.
Pemanfaatan komoditas perairan laut di Sumsel pada tahun 2020 mencapai 48.186 ton, sementara tangkapan laut hanya sekitar 44.311 ton per tahun. Akibatnya, banyak nelayan asal Sumsel lebih memilih melaut ke daerah Natuna. Belum lagi ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil di Sumsel.
Gubernur Sumsel Herman Deru bersiap menanam tanaman bakau di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, Senin (3/8/2020). Sekitar 20 persen dari 158.000 hektar lahan mangrove di Sumsel dalam keadaan kritis.
Merambah hutan lindung
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Musi, Sulthani Aziz, mengungkapkan, alih fungsi hutan mangrove bahkan terjadi di dalam kawasan hutan utamanya di kawasan hutan lindung.
Dia merinci total kawasan hutan pesisir di Sumsel mencapai 427.149 hektar yang terdiri dari Taman Nasional (218.369 hektar), Taman Nasional Laut (49.005 hektar), dan Hutan Lindung (159.775 hektar).
Ini memang terdengar kontradiktif. Karena itu, kita harus mencari solusi yang tepat agar terjadi sinkronisasi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.
Sementara kawasan berhutan di pesisir Sumsel mencapai 105.740 hektar. Dari jumlah itu, kawasan hutan yang telah menjadi tambak mencapai 36.905 hektar. ”Luasan tambak bisa saja bertambah karena potensi tambak di Sumsel mencapai 55.670 hektar,” ujar Aziz.
Di satu sisi, ujar Aziz, alih fungsi lahan hutan ini memang melanggar regulasi. Di sisi lain, aktivitas itu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Bahkan hasil dari tambak tersebut, seperti ikan dan udang, didistribusikan ke daerah Bangka Belitung dan Lampung.
”Ini memang terdengar kontradiktif. Karena itu, kita harus mencari solusi yang tepat agar terjadi sinkronisasi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan,” katanya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kawasan obyek wisata Taman Mangrove Belitung di Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Jumat (11/10/2019). Kawasan ini dulunya adalah bekas tambang timah dan kini diubah fungsinya menjadi obyek wisata.
Salah satu jalan keluar adalah dengan program perhutanan sosial. Selain itu, perlu juga dibentuk skema kerja yang tepat sehingga program ini dapat diimplementasikan oleh masyarakat lokal. Menurut Aziz, potensi hutan bakau di kawasan pesisir Sumsel sangat besar, mulai dari komoditas tambak seperti ikan dan udang, serta komoditas hutan bakau seperti madu dan kepiting.
Jalan keluar
Agar kerusakan kawasan mangrove di Sumsel tidak meluas, ujar Widada, sudah diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Sumsel Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Sumsel tahun 2020-2040. Dalam perda yang telah dirancang sejak tiga tahun lalu ini juga diatur mengenai rencana alokasi ruang di kawasan pesisir, termasuk mengenai kawasan budidaya, pembangunan pelabuhan, dan pemanfaatan lain.
Dalam regulasi itu juga diatur tentang penetapan zona untuk pembukaan tambak. Tujuannya agar tidak ada lagi degradasi lahan mangrove akibat perambahan yang serampangan.
Pandji menerangkan, patroli di kawasan hutan yang ada di pesisir juga terus dilakukan untuk memastikan tidak ada lagi perambahan hutan. Sementara Aziz berpendapat, rehabilitasi adalah hal prioritas utama untuk memulihkan keberadaan mangrove di Sumsel. Namun, dia berharap konsep rehabilitasi tidak sebatas tutupan lahan (land covering) semata, tetapi harus berbasis habitat.
Perubahan konsep ini sangat penting untuk memastikan masyarakat lokal memperoleh kesejahteraan dari keberadaan hutan mangrove. Ketika itu terjadi, hasil dari penghijauan kembali hutan mangrove dapat dijaga oleh masyarakat sekitar.
Direktur program dari MERA Imran Amin mengatakan, program perlindungan dan restorasi kawasan mangrove di Ogan Komering Ilir Sumselini akan melalui sejumlah tahapan kajian, seperti kajian lingkungan dan kondisi sosial masyarakat. Selanjutnya akan dilakukan pengembangan lanjutan, seperti demplot restorasi mangrove, serta pendampingan dalam pengembangan mata pencarian masyarakat.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kawasan obyek wisata Taman Mangrove Belitung di Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Jumat (11/10/2019). Kawasan ini dulunya adalah bekas tambang timah dan kini diubah fungsinya menjadi obyek wisata.
Dari hasil kajian ini diharapkan juga pelibatan semua pihak, baik sektor swasta maupun pemerintah, sehingga ditemukan metode yang tepat dalam melaksanakan rehabilitasi mangrove di Sumsel. ”Program ini telah berhasil di beberapa wilayah. Harapannya di Sumsel juga demikian,” kata Imran.