Sekitar 20 persen kawasan mangrove di Sumatera Selatan dalam keadaan kritis. Kondisi tersebut dipicu aktivitas alih fungsi lahan hingga perluasan tambak. Upaya pelestarian digalakkan, salah satunya lewat pariwisata.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PANGKALAN BALAI, KOMPAS — Sekitar 20 persen kawasan mangrove di Sumatera Selatan dalam kondisi kritis. Hal tersebut di antaranya dipicu alih fungsi lahan hingga pemanfaatan kayu bakau menjadi arang oleh warga. Pelestarian terus diupayakan mulai dari rehabilitasi lahan hingga pembentukan kawasan wisata hutan mangrove.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto, seusai menghadiri penanaman mangrove di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (3/8/2020), mengungkapkan, total kawasan mangrove di Sumatera Selatan mencapai 158.734 hektar. Kawasan ini tersebar di sejumlah daerah, seperti Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Musi Banyuasin.
Dari luasan tersebut, kata Pandji, sekitar 20 persen atau 31.746 hektar (ha) di antaranya kritis. Hal itu, salah satunya akibat aktivitas warga setempat, seperti alih fungsi lahan menjadi permukiman, tambak udang, dan perkebunan. ”Selain itu, juga kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan kayu tanaman bakau menjadi arang. Hal ini berbahaya karena bisa memicu sedimentasi dan abrasi,” ujarnya.
Dampaknya, di antaranya sudah terlihat di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api. Akibat kerusakan mangrove, sendimentasi perairan kerap terjadi. Menurut Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru, aktivitas penyeberangan di pelabuhan yang menghubungkan Sumatera Selatan dengan Kepulauan Bangka Belitung ini kerap terganggu.
Terkadang kapal tidak bisa sandar lantaran pesisir pelabuhan yang sangat dangkal. Kapal baru bisa sandar ketika air pasang.
Selain itu, ungkap Herman, keberadaan mangrove juga dapat mencegah abrasi dan menjadi mata pencarian bagi masyarakat setempat. Dengan terjaganya ekosistem mangrove, biota pesisir di sekitar hutan mangrove, seperti ikan, udang, dan kepiting, akan berkembang optimal. Hal ini tentu akan mendatangkan nilai ekonomi yang besar bagi masyarakat setempat.
Dengan terjaganya ekosistem mangrove, biota pesisir di sekitar hutan mangrove, seperti ikan, udang, dan kepiting, akan berkembang optimal.
Leket (36), warga Desa Marga Sungsang, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, mengakui keberadaan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan warga. ”Dengan adanya mangrove, tangkapan ikan ataupun udang akan lebih banyak. Sebaliknya, di kawasan yang tidak ada mangrove ikan sulit didapat,” ucapnya.
Ikan dan udang juga menjadi komoditas penting di kawasan ini. Bahkan beberapa produk turunannya banyak dijual warga, seperti kerupuk udang, terasi, dan pempek udang.
Untuk itu, lanjut Herman, sejumlah upaya terus dilakukan pemerintah guna memulihkan lahan mangrove di Sumsel. Salah satunya dengan melakukan rehabilitasi dan juga menjadikan kawasan mangrove sebagai kawasan wisata sehingga kawasan ini bisa terus dilestarikan.
Terkait program pelestarian, tahun ini, Sumsel berencana merehabilitasi sekitar 50 hektar lahan mangrove. Pada Senin (3/8/2020), pemerintah juga menanam 2.020 bibit bakau di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api.
Adapun untuk tempat pariwisata, Pemprov Sumsel akan mendorong Taman Nasional Sembilang yang memiliki potensi wisata mangrove yang cukup baik, termasuk dengan aktivitas burung migran di sekitar kawasan tersebut.
Kawasan burung itu biasanya akan datang ke Taman Nasional Sembilang karena keberadaan kawasan mangrove yang menjadi sarang kepiting dan udang. Dua biota tersebut merupakan makanan bagi burung-burung migran tersebut. ”Jika tidak ada mangrove, burung-burung itu tidak mungkin datang,” kata Herman.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jhonny Siahaan mengatakan, secara keseluruhan, dari 3,31 juta ha kawasan mangrove di Indonesia, sekitar 2,67 juta ha (81 persen) ekosistem dalam kondisi baik, sedangkan 670.000 ha kritis.
Menurut Jhonny, langkah rehabilitasi terus dilakukan salah satunya dengan melakukan penanaman bibit mangrove minimal 1.000 ha lahan kritis per tahun. Dari jumlah lahan kritis tersebut, pemerintah sudah merehabilitasi setidaknya 47.925 ha. Rehabilitasi ini penting karena keberadaan mangrove dapat memberikan kontribusi terhadap hasil perikanan dan mengurangi risiko efek gas rumah kaca di Indonesia.