Jejak Kebaikan untuk Masa Depan dari Perlindungan Satwa Langka
Di Jawa Barat, perlindungan satwa langka menghidupkan kesejahteraan masyarakat hingga banggakan negara. Masa depan energi terbarukan hingga pesan kesetaraan juga ikut terjaga.
Upaya memperjuangkan kehidupan satwa langka memiliki banyak makna berkelanjutan untuk masa depan negeri. Selain menjaga ekosistem tetap lestari, perannya ampuh membangkitkan ekonomi, memaksimalkan energi terbarukan, hingga menguatkan pesan kesetaraan antara manusia.
Ade Sofian (49), warga Kampung Kubang Jaya, Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, semringah. Dia memperlihatkan berbagai foto kukang jawa (Nycticebus javanicus) yang diambilnya lewat kamera telepon genggam pada tahun 2016.
”Ini paling unik,” kata Ade di pinggir hutan dekat Desa Cipaganti, Senin (7/11/2022), sembari memperlihatkan dua kukang berpelukan dan melihat ke arah kamera.
Periode tahun 2012-2018, kehidupan Ade sangat dekat dengan kukang di alam liar. Dia bergabung dalam proyek pelestarian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Inggris. Dia bertugas sebagai pencari jejak (tracker) kukang. Ade terbiasa masuk-keluar hutan Cagar Alam Papandayan, sejak malam hingga subuh.
Desa Cipaganti berbatasan dengan kawasan Cagar Alam Papandayan. Kawasan itu menjadi salah satu rumah bagi kukang, satwa endemis yang hidup di Jawa bagian barat dan tengah, dan kini terancam punah.
”Saat mencari kukang yang aktifnya di malam hari, saya juga kerap bertemu macan tutul. Pengalaman mendebarkan, tapi melegakan, karena mereka masih ada di alam liar,” katanya.
Lihat juga : Kopi Buhun Garut
Akan tetapi, susah payah ikut menjaga pelestarian satwa terancam punah, hidup Ade masih jauh dari sejahtera. Dia menyebut, upahnya masuk-keluar hutan hanya sekitar Rp 1,3 juta per bulan. Padahal, ada empat anak yang harus ia nafkahi.
Untuk menyambung hidup, Ade harus mencari pekerjaan lain. Selama beberapa tahun, dia bekerja ganda. Ade menjadi buruh serabutan di pusat kota Garut pada siang hari. Malamnya, dia masuk-keluar hutan mendata kukang.
”Rata-rata pendapatan dari buruh serabutan sekitar Rp 500.000 per bulan,” kata lulusan SMP ini menceritakan kisah hidupnya di kota yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Cipaganti.
Minim pilihan, Ade jelas tidak bisa berbuat banyak. Namun, ketimbang mengeluh, ia memilih fokus pada kesempatan yang ada, memandu peneliti asing memetakan kukang jawa.
Tidak sia-sia, dedikasinya tidak ingkar janji. Ia fasih dengan seluk-beluk kehidupan kukang. Ade tahu, kukang yang menghabiskan nyaris semua waktunya di pohon juga singgah di pohon kopi untuk mencari makan.
”Saat kopi berbunga dan berbuah, biasanya banyak serangga datang. Itu menjadi makanan kukang,” katanya.
Kebiasaan itu memantik rasa ingin tahunya. Dia penasaran. Jika kukang bisa hidup dari kopi, dia yakin tanaman itu bakal menawarkan masa depan ideal. Apalagi, ia tahu kopi menjadi sajian kuliner yang sedang tren.
”Hanya saja, saya kesulitan memulainya. Belum paham cara menanam kopi,” ujarnya.
Jatuh bangun
Keresahan Ade juga dirasakan pencari jejak kukang lainnya. Mereka sepakat kopi potensial. Namun, mereka juga belum yakin karena kopi dulu sekadar tanaman di pekarangan. Sebagian memilih nekat menanam kopi dengan harapan mendapat kesejahteraan lebih baik.
Salah satu yang tertarik menanam kopi adalah Adin (40), pencari jejak kukang dari Kampung Cikati, Cipaganti. Sudah lama dia membutuhkan penghasilan layak untuk menghidupi istri dan tiga anaknya.
Jika tak sedang mendata kukang di hutan, Adin menjalani pekerjaannya sebagai petani sayur, mulai dari labu hingga wortel. Dia juga berdagang cimol, makanan berbahan tepung aci. Namun, sayur tidak kunjung memberi sejahtera. Harganya turun terus dihantam hama, cuaca buruk, hingga tingginya harga pupuk.
”Tanam wortel di lahan 1 hektar, untung hanya Rp 2 juta dari tiga bulan menanam. Untuk sehari-hari saya andalkan dari hasil dagang cimol sekitar Rp 30.000 per hari,” katanya.
Tidak ingin terus merugi, Adin nekat menanam kopi di antara sayur sekitar tahun 2016. Di lahan yang subur, kopinya mudah tumbuh dan berbuah.
Akan tetapi, minim ilmu pengolahan lahan dan perawatan pohon, ia hanya mendapat 800 kilogram buah kopi. Jumlah itu sekitar setengah lebih sedikit ketimbang panen ideal di lahan 1 hektar.
”Buahnya saya ambil sembarangan, ada yang merah, kuning, dan hijau. Saat dijual ke pengepul, harganya hanya Rp 7.000 per kilogram,” katanya.
Baca juga : Sudarman Melestarikan Kopi Kamojang untuk Ekologi
Kesempatan kedua
Dihantam harga rendah, Adin sempat enggan menanam kopi lagi. Namun, niat itu ia urungkan saat perwakilan Fuel Terminal Bandung Group Pertamina Patra Niaga datang ke Cipaganti tahun 2018.
Saat itu, mereka hendak mengajak Adin dan pencari jejak kukang lainnya menggelar program konservasi kukang. Kebetulan, setahun sebelumnya, Adin dan kawan-kawan membentuk Yayasan Muka Geni, organisasi swadaya masyarakat perlindungan kukang.
Pembicaraan tentang program konservasi kukang pun dilakukan. Pengalaman anggota Muka Geni menjadi modal utamanya.
Dalam diskusi, keresahan tentang kesejahteraan warga ikut disampaikan. Intinya, mereka sepakat kehidupan kukang harus terjaga, kesejahteraan manusia di sekitarnya mesti terdongkrak.
Kopi diambil menjadi jalan tengah. Selain sudah ditanam sejumlah warga, kopi dan pohon naungannya berpotensi menjadi tempat hidup kukang. Buah kopi menjadi sumber penghasilan warga.
Program itu dimulai tahun 2018. Pemetaan populasi kukang lantas dilakukan di kawasan hutan sekitar Cipaganti. Hasilnya, ada sedikitnya 40 kukang dengan intensitas perjumpaan hingga 51 kali. Dari analisis vegetasi, disebutkan kukang hidup di sedikitnya 15 jenis tanaman berbeda.
Hasil pemetaan itu lantas disampaikan sebagai bahan edukasi kepada masyarakat. Saat itu, masih ada warga yang melihat kukang sebagai satwa yang bisa ditangkap dan diperjualbelikan. Kukang dianggap sebagai hama.
Tidak hanya di permukiman, sosialisasi juga dilakukan ke sekolah-sekolah. Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Garut, warga ikut melepasliarkan kukang di tahun 2019. Mereka berusaha melepaskan stigma yang menyebut warga adalah pemburu kukang.
”Ilmu yang kami miliki bertambah. Kami tahu kukang membantu penyerbukan tanaman buah hingga mencegah bencana. Longsor bisa terjadi bila pohon tempat hidup kukang ditebang,” kata Dede Ahmad, Koordinator Yayasan Muka Geni.
Baca juga : Kisah Manis dan Pahit Kopi Aries Sontani
Lewati pandemi
Bersamaan dengan itu, lebih dari 5.000 bibit pohon, termasuk kopi arabika, mulai ditanam. Kopi banyak ditempatkan sebagai benteng antara hutan dan permukiman serta kebun warga.
Pelatihan tentang kopi diberikan dari hulu ke hilir. Mentornya praktisi berpengalaman. Hanya buah merah yang dipanen. Mereka dianjurkan tidak hanya menjual buah kopi, tetapi juga dalam bentuk bijiatau bahkan sudah disangrai untuk meningkatkan harga.
Untuk praktik, warga mendapat berbagai jenis alat pengolahan kopi, mulai dari huller, pulper, hingga mesin sangrai yang disimpan di rumah produksi. Lokasinya tidak jauh dari pembangunan rumah transit bagi kukang.
Hasilnya dirasakan tahun 2021. Saat pandemi Covid-19 menghancurkan beragam sendi usaha, termasuk produk sayur-mayur Cipaganti, sedikitnya 100 petani kopi yang bermitra dalam Kelompok Tani Buana Lestari mulai menuai hasil.
”Lebih kurang petani mengelola 50 hektar lahan kopi. Panennya bervariasi. Rata-rata 1 ton buah per hektar,” katanya.
Harga buah kopi naik dari Rp 7.000 menjadi Rp 14.000 per kilogram. Harga kopi yang sudah disangrai mencapai Rp 220.000 per kilogram. Sebagian penjualan juga mulai dilakukan daring.
Di tahun 2022, biji kopi sangrai sudah dipasok ke salah satu kedai di Kota Bandung. Jika dihitung per bulan, pendapatan petani lebih dari Rp 2 juta per bulan.
”Untungnya tidak kami nikmati sendiri. Sejak awal, kami sepakat 10 persen penjualan kopi disisihkan untuk konservasi kukang. Saat ini, misalnya, kami menyemai banyak bibit pohon untuk ditanam di sekitar habitat kukang,” kata Dede.
Baca juga : Koperasi Produsen Garut Ekspor Kopi Senilai Rp 4 Miliar
Tidak terduga
Berjarak sekitar 15 kilometer dari Cipaganti, bukan hanya kukang yang mendapat perhatian lalu memberikan kebaikan. Ratusan jenis elang yang pernah menjadi korban konflik dengan manusia diselamatkan di Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) di Samarang, Garut, sejak tahun 2014.
Saat ini di dunia ada 311 jenis elang di dunia. Sebanyak 90 jenis ada di Asia dan 81 jenis diantaranya ada di Indonesia dan semua dilindungi.
Khusus genus nisaetus, total ada delapan jenis di Asia Timur, enam diantaranya ada di Indonesia. Tiga diantaranya adalah endemik, yaitu elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang flores (Nisaetus floris), dan elang sulawesi (Nisaetus lanceolatus). Di Kamojang, elang jawa biasanya bersarang di hulu sungai sehingga warga mengenalnya sebagai indikator ketersediaan air.
PGE Kamojang sadar benar hal itu saat bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar, dan Perkumpulan Raptor Indonesia mendirikan PKEK.
Menjaga kawasan hutan, tempat elang hidup, bakal ikut mendukung kelangsungan produksi energi terbarukan panas bumi. Kini, di Kamojang terpasang 5 unit pembangkit listrik tenaga panas bumi. Total kapasitasnya mencapai 235 Megawatt dengan estimasi pasokan listrik untuk 260.000 rumah.
Sejauh ini, peran PKEK juga signifikan. Sebanyak 329 elang berhasil dikonservasi hingga September 2022. Dari jumlah itu, 108 elang dilepasliarkan dan kembali terbang bebas menjelajahi angkasa.
Keberhasilan itu membuat PKEK menjadi contoh. Tempat itu menjadi pusat rujukan konservasi nasional oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lewat PKEK, KLHK juga menjadikan PGE Kamojang sebagai satu-satunya perusahaan yang mendapat Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) Emas selama 11 tahun berturut-turut, periode 2011-2021.
Selain itu, 21 lembaga konservasi ikut berkolaborasi dan muncul 15 penelitian ilmiah. Hingga tahun 2021, tercatat sedikitnya 44.000 orang berkunjung ke PKEK dan mendapat edukasi tentang elang.
Warga di sekitar Kamojang juga mendapat manfaat. Bagi sejumlah sukarelawan hingga penyedia pakan, keberadaan elang menyumbang hal tidak terduga, mulai dari membiayai persalinan hingga masa depan pendidikan.
Baca juga : Pertamina Targetkan Porsi Bisnis Energi Terbarukan Jadi 17 Persen pada 2030
Cicitan berisik marmot yang menyambut Ahmad Nursobar (28) dan Kompas saat tiba di rumah Jajang Cahyana (33) di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Garut, beberapa waktu lalu, menjadi buktinya.
Kala itu adalah jadwal Nursobar, sukarelawan PKEK, mengambil marmot untuk pakan elang. Kini, tercatat 16 pengelola dan sukarelawan PKEK serta 33 peternak penyedia pakan.
Tidak membutuhkan waktu lama, Jajang lantas mengambil satu per satu marmot dari kandang bambu. Marmot itu berusia rata-rata 1,5 bulan dan berbobot sekitar 300 gram. Tiap ekor marmot dihargai Rp 9.000. Sore itu, Jajang menerima Rp 504.000 dari 56 marmot.
Jajang, yang juga pedagang keliling dompet dan sabuk kulit, sudah lebih dari setahun memasok marmot ke PKEK. Ia menjual marmot setiap dua minggu sekali.
”Uang (penjualan) marmot untuk biaya persalinan istri saya. Dagangan kulit sedang sepi, untung saya pelihara marmot,” katanya.
KTT G20
Tak jauh dari rumah Jajang, marmot untuk elang PKEK ikut membantu Arip Maulani (40), warga Sukamulya, Bayongbong, Garut, menunaikan tugas mulia.
Lewat lembaga pendidikan Ibnu Hambali, Arip punya misi menyelamatkan masa depan 22 anak usia SD-SMA di sekitar rumahnya dari putus sekolah lewat program Gerakan Santri Mandiri. Pendanaan program didapat salah satunya dari penjualan marmot untuk elang PKEK.
Arip mencontohkan, uang penjualan marmot menjadi bekal Ujang Gunawan (21), warga Bayongbong, melanjutkan pendidikan di salah satu universitas negeri di Bandung. Sekitar Rp 1 juta atau setengah biaya hidup per bulan anak buruh tani itu dibiayai dari ternak marmot.
Dunia usaha juga terbantu saat elang dirawat dan berhasil dilepasliarkan. Ahmad Nur Fathurodin (39), pemilik kedai kopi Penyoe Kakopi di Garut, mengatakan, delapan dari 24 jenis biji kopi di kedainya ”ditemukan” elang.
Ia menyebut, salah satu patokannya mencari kebun kopi terbaik adalah dengan melihat elang yang terbang di atasnya. Jika ada elang, Ahmad yakin, lingkungan di sekitar kebun itu sehat. Selain itu, dia juga merasakan manfaat dari lestarinya kawasan Kamojang. Kopi tumbuh subur dengan kualitas ideal.
Pada September 2022, kopi konservasi itu disajikan dalam pertemuan Energy Transitions Working Group dan Energy Transitions Ministerial Meeting di Bali, September 2022. Banyak membahas tentang transisi energi dan pemanfaatan energi terbarukan, keduanya adalah rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
”Banyak kopi dari Garut yang melanglang buana ke berbagai penjuru dunia dan menyejahterakan. Manusianya terbantu kehadiran satwa liar dan kelestarian tempat tinggalnya,” ujarnya.
Keyakinan Ahmad menemukan bukti di Kota Bandung. Di sana, kepedulian menjaga alam ampuh menjaga pesan kesetaraan yang berkelanjutan di masa depan.
Baca juga : KTT G20 Bisa Jadi Momentum Penerapan 5G secara Massal di Indonesia
Kedai kesetaraan
Hujan baru saja turun mengguyur Kota Bandung, Selasa (8/11/2022), saat tangan Arifin (30) beraksi di depan meja seduh kopi. Sejak dua minggu lalu, dia dipercaya menjadi salah satu barista di kedai Kue Balok Mang Salam x Kopi Kang!.
Kali ini, dia kembali didampingi Dwiky Setiabakti (23). Dwiky adalah pemilik kedai di kawasan Tamansari itu.
”Berat bubuk kopinya harus 18 gram,” kata Dwiky kepada Arifin. Saat itu, Arifin diberi tugas menyeduh pesanan secangkir kopi espreso.
Cara Dwiky berinteraksi tidak biasa. Dia dan Arifin beradu muka. Dwiky melafalkan keinginannya dengan tempo lebih lambat. Mata Arifin memperhatikan gerakan bibir bosnya.
Arifin mengangguk setelah Dwiky selesai berbicara. Setelah tertulis angka 18 gram pada timbangan digital, Arifin lantas melanjutkan proses pembuatan kopi. Dia menuangkan air panas dari mesin dan menuangkan susu segar ke dalam kopi yang masih mengepulkan asap.
Melihat itu, Dwiky mengacungkan jempol. Dia memberikan pujian dengan bahasa isyarat. Senyum Arifin menyambut apresiasi itu.
Kolaborasi Kue Balok Mang Salam X Kopi Kang! memang belum lama terjalin, baru di tanggal 26 Oktober 2022. Selain aneka jenis kopi, sajian utamanya adalah kue balok, penganan khas Jabar, yang dibuat beragam rasa. Meski anyar, ada berbagai kebaikan yang sudah ditawarkan kedai itu.
Kehadiran Arifin , misalnya, menjadi salah satu contoh. Lahir sebagai penyandang disabilitas rungu yang kesulitan mendengar, bekerja di kedai itu adalah pengalaman pertamanya. Bersama Rifky (20), penyandang disabilitas rungu lainnya, mereka adalah dua dari tujuh pekerja di kedai itu.
”Kami ingin memberikan kesempatan sama pada semua, termasuk kawan-kawan difabel, untuk membantu membesarkan usaha ini,” kata Dwiky yang baru memulai usaha Kue Balok Mang Salam di awal Oktober tahun ini.
Oleh karena itu, saat ada ajakan dari Pertamina untuk memberikan kesempatan kerja bagi difabel, dia langsung menerimanya.
”Saya tidak ragu. Apalagi, Arifin dan Rifky adalah siswa didik dari Sekolah Dreamable. Sedikit banyak mereka sudah mendapat bekal terjun ke dunia usaha,” kata Dwiky.
Sekolah Dreamable adalah program lain yang diinisiasi Fuel Terminal Bandung Group. Program ini berada di bawah naungan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Hidayah sejak tahun 2016. Dua tahun berselang, tempat itu menjadi binaan Pertamina.
Kini, Sekolah Dreamable memiliki 53 anak didik berkebutuhan khusus dengan rentang usia 7-26 tahun. Di sana, anak didik mendapat beragam bekal dan pelatihan berbagai unit usaha.
Melihat Dwiky memujinya, Arifin tersenyum kecil. Matanya berbinar. Saat ditanya harapannya kelak, dia menjawab dengan bahagia. ”Saya mau terus belajar membuat kopi agar tambah ilmu,” kata warga Riung Bandung, 15 km dari Tamansari, itu.
Selain memberi kesempatan bekerja kepada difabel, Dwiky juga ikut menjaga harapan petani kopi Cipaganti. Kedai kue itu menjadi penampung biji kopi yang diolah petani di Kelompok Tani Buana Lestari, tempat Ade, Adin, dan Dede bernaung.
”Di awal, kami menerima sekitar 7 kilogram kopi untuk pengiriman pertama. Sejauh ini, minat konsumen menggembirakan. Per hari terjual sedikitnya 20 gelas kopi,” katanya.
Dwiky mengatakan, selain biji kopi yang berkualitas, kisah perjuangan petani Cipaganti menjadi nilai lebih. Tidak sekadar mencari untung, 10 persen keuntungan dari penjualan kopi disalurkan lagi untuk alam lewat konservasi kukang.
”Ada sisi sosial yang tengah mereka perjuangkan. Kami ingin ikut berperan memuluskan langkah itu,” ujar Dwiky mengomentari program Kopi Kang! yang meraih penghargaan Indonesia Green Award 2022 untuk kategori Mengembangkan Keanekaragaman Hayati itu.
Eko Kristiawan, Area Manager Communication, Relation, and CSR Regional Jawa Bagian Barat Pertamina Patra Niaga, mengatakan, pelestarian kukang, Dreamable, dan Kopi Kang! menjadi program berkelanjutan.
Dia berharap semuanya bisa menjangkau pasar lebih luas. Selain itu, program kepedulian itu bisa terus memberikan manfaat untuk masyarakat dan lingkungannya.
Langkah panjang yang ditempuh untuk alam terbukti meninggalkan banyak jejak kebaikan. Tak hanya untuk masa depan satwa yang dilindungi, tetapi sekaligus bagi kesejahteraan manusia dan dunia yang semakin lestari.
Baca juga : Yulianti Memupuk Kasih Sayang untuk Difabel