Yulianti Memupuk Kasih Sayang untuk Difabel
Kisah hidup Yulianti (36) berubah saat anak sulungnya, Hanif Noval (17), dinilai sebagai anak berkebutuhan khusus. Di antara suka dan duka membesarkan Noval, Yulianti banyak belajar tentang arti berbagi dengan orang lain di sekitarnya.
Kisah hidup Yulianti (36) berubah saat anak sulungnya, Hanif Nauval (17), diketahui sebagai anak berkebutuhan khusus. Di antara suka dan duka membesarkan Nauval, Yulianti banyak belajar tentang arti berbagi dengan orang lain di sekitarnya.
Senin (15/4/2019) siang, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Dreamable Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Hidayah di Dusun Cibisoro, Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, usai. Yulianti, pengajar sekaligus pendiri Dreamble, menutupnya dengan kegiatan menebak gambar. Satu per satu siswa keluar kelas dengan senyum tersungging di bibir.
Tak lupa mereka memberikan salam kepada beberapa tamu yang datang siang itu. ”Senyum dan bersalaman itu menjadi salah satu bentuk perubahan anak-anak. Sebelumnya hal itu nyaris tidak mereka lakukan,” kata Yulianti.
Dreamable bukan sekolah biasa. Sekolah informal yang berdiri sejak 2014 ini hadir di antara minimnya perhatian terhadap anak-anak luar biasa di sekitar Kabupaten Bandung. Yulianti menjamin semua yang datang akan diperlakukan sama.
”Kini ada 33 siswa yang belajar bersama kami. Ada siswa difabel grahita hingga difabel daksa. Usia mereka antara 5 tahun dan 18 tahun. Mereka belajar di sini, tapi ada juga yang belajar di rumah saya di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung,” ujarnya.
Siswa belajar dari Senin hingga Jumat antara pukul 07.00 dan 11.00. Mereka bersama-sama membaca, menulis, mewarnai, menggambar, main musik, berolahraga, dan memasak. Tetapi, materi pelajaran utamanya sebenarnya bagaimana cara berkomunikasi. Semua pelajaran itu, lanjut Yulianti, bakal menentukan masa depan anak berkebutuhan khusus. Tanpa itu, mereka akan kesulitan menyerap banyak bekal kehidupan lainnya.
”Sebagian besar adalah anak kurang mampu. Pemahaman seperti ini tidak dimiliki oleh orangtua mereka. Bahkan, ada anak difabel yang sengaja dikurung karena orangtua malu atau dibiarkan hidup tanpa pendampingan. Keduanya sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak itu kelak,” tambahnya.
Kegiatan di luar kelas juga menjadi perhatian. Untuk mengajari siswa berinteraksi dengan lingkungan, ada kegiatan luar sekolah tiap tiga bulan sekali, seperti rekreasi ke Kebun Binatang Bandung hingga mengikuti lomba menggambar pada Hari Peduli Autisme Sedunia di Bandung.
”Kami punya agenda berikutnya, yaitu naik bus Bandros (Bandung Tour on the Bus). Kami akan bersama-sama berkeliling Kota Bandung. Pasti seru,” katanya.
Sebagian besar adalah anak kurang mampu. Pemahaman seperti ini tidak dimiliki oleh orangtua mereka. Bahkan, ada anak difabel yang sengaja dikurung karena orangtua malu atau dibiarkan hidup tanpa pendampingan.
Sempat panik
Yulianti tidak pernah membayangkan hidupnya bakal direlakan untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Hingga akhirnya, dia tahu, anak sulungnya, Hanif, ternyata anak berkebutuhan khusus difabel grahita ringan. Ketika lahir, Hanif baik-baik saja. Perbedaan terlihat saat ia menginjak umur tujuh tahun.
Dia tidak seperti anak sebayanya, bahkan boleh dibilang lambat. Umumnya mereka sudah dapat buang air besar (BAB) sendiri atau makan sendiri. Sementara Hanif belum bisa mengontrol BAB. Jika hendak BAB, ia mengambil posisi tengkurap saja, dan untuk makan pun, ia masih harus disuapi. Ia juga seolah tidak ada ketertarikan dengan sekolah.
”Saya baru menyadari anak saya itu berkebutuhan khusus waktu saya masukkan ke TK (taman kanak-kanak). Di dalam kelas Hanif takut dan hanya mau menempel di belakang guru. Kepala sekolah kemudian memberi tahu bahwa Hanif itu anak berkebutuhan khusus sehingga diarahkan dimasukkan ke sekolah luar biasa. Dari situ, saya mulai panik sebab saya juga tidak tahu apa itu yang dimaksud berkebutuhan khusus,” papar Yulianti.
Atas saran pihak TK, ia kemudian memasukkan Hanif di SLB Ar-Rahman, Kota Bandung. Ia benar-benar memperhatikan setiap pesan atau tips yang diberikan guru dan menerapkannya di rumah untuk membimbing Hanif.
Yulianti juga terbantu melatih Hanif setelah mendapat pelatihan sebagai sukarelawan Dinas Sosial Kabupaten Bandung tahun 2009. Bahkan, Yulianti yang lulusan SMP itu kemudian mantap mengikuti pendidikan kesetaraan Paket C atau kelompok belajar setara SMA di PKBM Hidayah, Bandung.
”Pelajaran yang saya ingat dalam mengajarkan kepada anak berkebutuhan khusus harus satu arah agar fokus dan berulang-ulang. Ketika dia hendak BAB, saya akan langsung ajarkan ke kamar mandi. Selain itu, juga perlu kesabaran. Mereka tak bisa disamakan dengan anak-anak yang normal, tapi perlu perlakuan khusus,” tuturnya.
Yulianti gembira dan lega, memasuki tahun 2014, Hanif sudah dapat mandiri dan selanjutnya dia pun tergerak untuk berbagi pengalaman hidupnya kepada masyarakat, terutama kepada orangtua yang mengalami hal serupa dengan dirinya.
Menempa diri
Akan tetapi, semua tidak berhenti sampai di sana. Yulianti memutuskan kuliah untuk menambah wawasan dan ilmu, khususnya upaya menangani penyandang disabilitas. Dia menempuh kuliah pada Program Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara (Uninus), Kota Bandung. Saat ini, Yulianti sudah duduk di semester VIII.
Sejak 2014, ia mulai bergerak mendidik anak-anak berkebutuhan khusus di sekitar tempat tinggalnya. Berbekal pekerjaannya sebagai sukarelawan Dinas Sosial Kabupaten Bandung, ia mendata dan menemukan 37 anak disabilitas di Kecamatan Bojongsoang.
Akan tetapi, tak mudah mengajak anak-anak itu sekolah. Orangtua mereka punya sejuta alasan. ”Paling banyak adalah harus bekerja sehingga tidak mempunyai waktu mengantar anaknya ke tempat belajar. Keluarga penyandang disabilitas itu umumnya dari kalangan keluarga ekonomi menengah ke bawah, sebagian besar orangtua adalah buruh pabrik,” katanya.
Yulianti tidak menyerah. Dia datangi satu per satu orangtua yang menolak niat baiknya. Sekali ditolak, ia bisa datang 2-3 kali lebih sering. Untuk menarik minat anak, ia kerap membawa alat bantu permainan, di antaranya puzzle (permainan bongkar pasang). Hingga akhirnya ketekunan Yulianti memberikan hasil. Saat ini, ada 33 siswa yang berada dalam pengasuhannya.
Kiprahnya menjadi magnet bagi banyak kalangan. Dari awalnya hanya di rumah, PKBM Hidayah, tempat Yulianti mengikuti pendidikan kesetaraan Paket C, menawarkan tempat belajar. Tahun 2018, ia mendapat tempat belajar di Dusun Cibisoro, Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Bandung.
Sukarelawan guru juga membuat pengabdiannya terbantu. Kini, ada enam guru yang membantunya mengajar. Mereka adalah rekannya mahasiswa Uninus, Bandung. ”Sukarelawan guru ini dari teman seangkataan kuliah saya. Mereka sangat antusias, setidaknya mereka juga mendapatkan pengalaman mengajar anak berkebutuhan khusus,” ujarnya.
Tahun lalu, Pertamina juga turun tangan. Lewat dana tanggung jawab sosial, mereka hadir lewat sejumlah pelatihan bekal ilmu bagi siswa. Operation Head Terminal BBM Bandung Group Pertamina Bambang Soeprijono mengatakan, pendampingan yang diberikan pada binaan sekolah Dreamable ini lebih difokuskan agar anak didik bisa mandiri atau diarahkan menjadi wirausahawan.
”Salah satu bentuk yang diberikan berupa pendidikan dan pelatihan, di antaranya budidaya lele dan berkebun. Pendampingan juga diberikan untuk meningkatkan kapasitas guru agar mereka bisa lebih kreatif dalam mengajar, tidak monoton,” kata Bambang.
Kesabaran dan ketekunan Yulianti berbuah manis. Namun, bagi dia, pengabdian itu belum selesai. Dia yakin masih banyak keluarga yang membutuhkan tambahan ilmu untuk hidup bersama anak mereka yang berkebutuhan khusus.
Yulianti
Lahir: Bandung, 16 September 1982
Suami: Dede Hermansyah (46)
Anak:
- Hanif Nauval (17)
- Muhammad Tahfidz Azzaky (7)
- Wafi Faeyza Muharom (15 bulan)
Pendidikan:
- Paket C setara PKBM Hidayah Bandung (lulus 2014)
- Semester VIII Program Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara (Uninus), Kota Bandung
E-mail: wafifaeyza4396@gmail.com