”Besale”, Kisah Transformasi Ritual Pengobatan ke Atas Panggung
”Besale”, ritual pengobatan di pedalaman Jambi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada 2015, kian meredup. ”Besale” pun bertransformasi ke atas panggung di Taman Budaya Jambi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Penampilan besale, ritual pengobatan suku Batin Sembilan, di Taman Budaya Jambi, Jumat (9/9/2022).
Meski telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, ritual memohon kesembuhan, besale, kian meredup di tempat asalnya seiring meluasnya pengobatan medis. Ritual yang dilangsungkan suku-suku pedalaman di Jambi, Batin Sembilan dan Orang Rimba, makin jarang dilangsungkan. Belum tentu ada sekali tiap bulan.
Situasi itu membuat Sani (50), yang sudah 30 tahun menjadi dukun besale, kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun. ”Kalau sekarang, orang sakit kepala, beli obatnya dari warung atau berobat ke puskesmas,” kata Sani, dukun besale di wilayah Nyogan, Batanghari, Jambi, Sabtu (8/10/2022).
Ritual pengobatan besalesesekali saja digelar di dusun. Mungkin hanya dua hingga tiga kali dalam setahun. Itu pun hanya untuk memohon kesembuhan bagi jenis penyakit tertentu yang tidak mampu disembuhkan secara medis.
Sebagaimana pengobatan tradisional, besale yang berarti berobat, lekat dengan ikatan manusia dan alamnya. Seluruh bahan untuk kelangsungan besale didapat dari tumbuhan dalam hutan, yakni beragam jenis bunga dan daun-daunan.
Sani mengakui, proses rumit melangsungkan besale jadi pertimbangan warga mengambil langkah pengobatan. Untuk sekali ritual membutuhkan sejumlah persiapan satu atau dua hari sebelumnya. Mereka menyebutnya beterkas, yaknimenyiapkan segala kebutuhan besale yang sudah ditentukan oleh sang dukun.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Bahan-bahan yang dipergunakan untuk melangsungkan besale, ritual pengobatan di suku Batin Sembilan, Jambi, September 2022.
Di lokasi besale dibangun lima atau enam balai. Dindingnya terbuat dari bambu yang diraut seperti lidi, sedangkan tiangnya dari batang kelumbi, sejenis tanaman yang batangnya mirip batang salak. Di dalam balailalu disiapkan berbagai jenis kue dan dipasang beragam jenis hiasan anyaman pada dindingnya.
Selanjutnya, para ibu akan memasak sajian khusus besale dan juga sajian untuk para tamu sehingga biaya yang dikeluarkan bakalan tak sedikit. Untuk satu kali ritual bisa habis Rp 8 juta hingga Rp 10 juta dalam semalam.
Di tengah meredupnya tradisi itu, pengobatan besale bertransformasi di atas panggung di Taman Budaya Jambi. Sani ditanggap untuk melangsungkan atraksi ritual itu. Menjelang Jumat (9/9/2022) malam, berbagai persiapan dibuat. Namun, sejumlah persiapan dipangkas. Tidak ada pembuatan balai-balai khusus dan sajian makanan. Besale digelar lewat tampilan kesenian kidung.
Menjelang dimulainya jampi-jampian, Sani melilitkan terlebih dahulu selembar kain putih usang sekeliling kepalanya. Ia lalu membacakan mantra dan membakar kemenyan. Seorang perempuan yang menjadi inang perantara duduk di lantai. Suara tabuhan kemudian bersahut-sahutanan. Ia mulai berjalan menari mengitari inang, sementara sang inang mulai menyanyi. Nyanyian doa itu terdengar nyaring memenuhi ruangan galeri.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Besale, ritual pengobatan di suku Batin Sembilan, Kabupaten Batanghari, Jambi, 2011.
Selagi dukun bergoyang memutari inang dan pasien, para pembantu dukun atau yang disebut pebayu turut di belakangnya. Mereka bersama-sama menari sambil mengelilingi pasien terus-menerus.
Jika dalam ritual sebenarnya, sang dukun akan mencapai titik tidak sadarkan diri atau mengalami trance, lalu roh halus masuk untuk mengobati orang yang sakit. Namun, tahapan yang terakhir ini dilewatinya. Tak sampai dua jam, seluruh proses akhirnya selesai. Dukun, inang, dan pasien yang sakit duduk bersama. Mereka membuka kotak berisi sirih, gambir, dan pinang, lalu menyirih bersama.
Tradisi tersisa
Besale merupakan tradisi pengobatan tersisa di komunitas adat Batin Sembilan dan Orang Rimba yang tersebar pada lima kabupaten di Jambi. Di Batanghari, ada sekitar 300 keluarga Batin Sembilan yang hidup di dalam kawasan hutan dataran rendah tersisa di Sumatera ini masih menjalankan ritual ini.
Dari cerita turun-temurun, ritual besale diwariskan sejak masuknya nenek moyang suku Batin Sembilan dari Kerajaan Mataram ke tanah Jambi. Itu diperkirakan sejak abad ke-14.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Seorang dukun menjalankan besale, ritual pengobatan di suku Batin Sembilan, Kabupaten Batanghari, Jambi, 2011.
Menurut Salma, salah seorang inang dukun, ritual yang digelar untuk memohon kesembuhan itu tak lagi populer di masa kini. Warga yang menempuh cara ini umumnya karena alasan tertentu, misalnya penyakit akut yang dideritanya tak kunjung sembuh. Cara pengobatan besale dianggap sebagai jalan terakhir untuk pengobatan.
Transformasi di atas panggung menjadi jalan bagi sejumlah komunitas untuk terusmelestarikannya.
Di tengah meredupnya ritual itu, transformasi di atas panggung menjadi jalan bagi sejumlah komunitas untuk terus melestarikannya. Pendamping komunitas suku Batin Sembilan di Batanghari, Asman Hatta, mengatakan, masyarakat ingin tetap menjaga tradisi sekaligus memperkenalkannya kepada dunia luar akan ekspresi komunitas itu. Sebelumnya, besale dibawakan komunitas itu di Festival Danau Sipin, Jambi. Ia pun berharap kesenian itu menjadi bagian dari tumbuhnya pariwisata di desa mereka.
Besale telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, bersama-sama dengan kompangan/hadrah, tari kuaw, tari anggut, tari besayak, tari piring tujuh, tari pisang, dan pertunjukan teater tupai jenjang.
Ali Surakhman, pamong budaya di Jambi, menyebut besale memiliki nilai seni dan nilai-nilai kehidupan yang perlu terus digali. Jangan sampai tradisi itu tenggelam sebelum sempat dikenal lebih luas. Perlu campur tangan negara dan juga komunitas yang peduli. Penetapan status sebagai warisan budaya tak benda selayaknya menjadi awal bagi upaya pelestariannya.