Kala Obat Orang Rimba di Ambang Punah
Tanaman liar yang memenuhi halaman belakang rumah milik Rusman (52) bagaikan apotek hidup. Berbekal pengetahuan resep nenek moyang, berbagai jenis penyakit disembuhkan. Menjadi alat penyembuhan yang mujarab.
Ketika ada anggota keluarganya mengeluh sakit kepala, Rusman pun bergegas ke kebun obat. Di antara beragam jenis tanaman, tangannya memetik bunga-bunga melati hutan (Jasminum elongatum).
”Ini ubat sakit kepala. Getah bunganya diteteskan ke mato (mata). Tak sampai 5 menit, sembuhlah,” kata Rusman, salah satu tumenggung alias pimpinan adat suku Bathin IX.
Pernah pula ada anak tetangganya terkena campak datang untuk menanyakan obat. Ia pun segera mendekati tanaman sengkuang (Dracontomelon dao) dan mengambil kulit ari tanaman itu. Kulit direbus, lalu airnya dimandikan pada si anak. Sakit kulitnya pun segera mereda.
Di dalam belantara rimba yang dipenuhi belukar, acap kali tangan dan kaki tergores duri. Kerap pula kulit tersengat kelabang. Namun, tak perlu khawatir karena obat penangkalnya ada di belakang rumah. Getah ulai diambil, lalu digosokkan pada bagian yang luka. Cara pakainya pun begitu sederhana.
Dulu, kata Rusman, mereka terbiasa menjelajah di tengah rimba itu untuk mengumpulkan akar, daun, ataupun kulit tanaman yang menjadi bahan obat-obatan tradisional.
Di zaman serba modern, layanan medis kian mudah diakses, tetapi cara tradisional masih menjadi tumpuan pengobatan masyarakat itu. Istilahnya, sekecil apa pun pil obat sulit ditelan, tetapi biji luwing yang besar pun tetap masuk lewat tenggorokan. Istilah itu dapat diartikan bahwa masyarakat masih bersandar pada pengobatan tradisional.
Belakangan, orang Bathin IX tidak lagi hidup berkelana. Mereka mulai menetap seiring ditetapkannya status kawasan hutan itu sebagai ekosistem restorasi Hutan Harapan yang secara administratif mencakup wilayah Batanghari dan Sarolangun, Jambi.
Bersamaan dengan itu mereka pun mengumpulkan tanaman obat dari sejumlah tempat, lalu membudidayakannya di hamparan kebun belakang rumah.
Di kebun Rusman, ada hampir 30 jenis tanaman obat tumbuh. Kini, Rusman dan anggota komunitasnya dari suku Bathin IX tak khawatir dengan berbagai sakit penyakit. ”Obatnya ada di sini,” ujarnya. Ia juga mendorong warga lain turut menanam di sekitar pondokan mereka.
Ribuan spesies
Pendataan yang dilakukan manajemen Hutan Harapan menunjukkan ada 1.311 spesies tumbuhan, yang sebagian memberi manfaat penting bagi kehidupan komunitas Bathin IX. Sebanyak 43 di antaranya merupakan spesies endemik Sumatera. Dari keragaman itu, 26 spesies ditetapkan Badan Konservasi Dunia (IUCN) berstatus rentan dan terancam punah, sedangkan 20 jenis lainnya berstatus genting dan kritis.
”Masih beragamnya jenis tumbuhan dapat dimanfaatkan bagi sumber penghidupan dan pengobatan masyarakat setempat,” kata Yusup Cahyadin, Kepala Divisi Manajemen Ekosistem Hutan Harapan.
Jauh sebelumnya, telah ada penelitian menunjukkan betapa beragamnya jenis obat yang dimiliki komunitas adat di Jambi, termasuk suku Bathin IX. Sekitar 16 tahun lalu, tim gabungan dari Departemen Kesehatan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menjelajahi keragaman obat-obatan dalam rimba.
Penjelajahan itu menjangkau wilayah hidup suku Talang Mamak, Orang Rimba, Bathin IX, dan Melayu Tua. Laporannya menyebut ratusan jenis tanaman itu ternyata mujarab menyembuhkan berbagai jenis penyakit, mulai dari sakit kulit, pencernaan, sakit kepala, mata, hingga penyakit dalam.
Bahan-bahannya dapat diolah dengan cara sederhana. Ada yang direbus lalu airnya diminum, dibakar, dilayukan di atas perapian, atau digiling lalu digosokkan ke bagian yang sakit.
Peneliti pertanian dari Universitas Jambi, Dede Martino, mengatakan, riset tanaman obat memang sudah ada, tapi belum dikembangkan serius. Sumber daya hutan yang selayaknya dapat memberi manfaat besar justru kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pihaknya pernah menawarkan program pengembangan teknologi dan budidaya tanaman obat yang diproduksi dari hutan-hutan di Jambi. Alasannya, sumber daya di hutan bisa dimanfaatkan maksimal, tak hanya sumber obat dan penghidupan bagi masyarakat terjamin.
Lebih dari itu, daerah juga bisa mengembangkannya untuk mengangkat perekonomian daerah. Namun, di tingkat provinsi ataupun kabupaten, usulan itu ditolak.
Belakangan muncul konsep pembangunan taman ilmu pengetahuan dan teknologi atau disebut Tekno Park. Rupanya pembangunan itu lebih mengedepankan pengembangan karet dan sawit, bukannya tanaman endemik setempat.
Tanpa upaya khusus, keragaman hayati di negeri ini akan semakin miskin, bahkan menuju ambang kepunahan seiring meluasnya pembukaan hutan. Kebun obat di belakang rumah Rusman tinggallah sepenggal kisah penyelamatan. Entah sampai kapan kisah itu dapat terus bertahan. (Irma Tambunan)