Program Solusi Hanya Sediakan Solar, Nelayan Bitung Tak Menikmati
Pemerintah berupaya memudahkan nelayan di Bitung, Sulut, membeli solar bersubsidi dengan membentuk SPBU untuk nelayan yang dikelola koperasi. Akan tetapi, nelayan tradisional belum dapat menikmatinya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah berupaya memudahkan nelayan di Bitung, Sulawesi Utara, untuk membeli solar bersubsidi dengan membentuk stasiun pengisian bahan bakar untuk nelayan yang dikelola koperasi. Akan tetapi, nelayan tradisional yang menggunakan pertalite belum dapat menikmati fasilitas ini.
Hal ini dinyatakan Senior Supervisor Communication and Relations Pertamina Marketing Operation Region VII Taufiq Kurniawan ketika dihubungi dari Manado, Senin (26/9/2022). Melalui program Solar untuk Koperasi (Solusi) Nelayan, pemerintah hanya menyediakan kuota solar bersubsidi.
Program itu menjadi tanggung jawab Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nantinya, koperasi nelayan bisa membangun stasiun pengisian bahan bakar untuk nelayan (SPBN) untuk menyalurkan solar bersubsidi yang kini seharga Rp 6.800 per liter kepada para anggotanya.
Setiap koperasi akan mendapatkan kuota tertentu sesuai kebutuhan anggotanya yang telah ditentukan Dinas Kelautan dan Perikanan Bitung. Di sisi lain, nelayan yang menjadi anggota koperasi perlu mendaftarkan diri terlebih dahulu dalam Sistem Subsidi Tepat MyPertamina. Dengan begitu, mereka tidak akan kehabisan solar.
Sering sekali terjadi, petugas SPBU tidak memercayai surat rekomendasi yang dimiliki nelayan tradisional sehingga justru sering terjadi cekcok.
Namun, pola tersebut tak dapat dinikmati nelayan tradisional yang menggunakan pertalite. ”Kami mengikuti saja kebijakan dari pemerintah. Sebenarnya kami lebih senang kalau pertalite untuk nelayan tradisional juga dijual di SPBN karena kontrolnya lebih mudah dari orang-orang yang menimbun atau memalsukan surat rekomendasi,” kata Taufiq.
Menurut dia, nelayan tradisional sebenarnya bisa mendapatkan pertalite seharga Rp 10.000 per liter jika sudah mendapatkan surat rekomendasi dari bagian sumber daya alam pemkot. Namun, mereka tetap kesulitan mengaksesnya sehingga lebih memilih membeli pertalite eceran dengan harga Rp 12.000 per liter.
Hal ini pula yang menjadi keluhan Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut Rignolda Djamaluddin. SPBN yang saat ini sudah ada di Bitung dan di Manado tidak menjual pertalite sehingga nelayan tradisional yang menggunakan mesin ketinting dan motor tempel harus menanggung biaya produksi yang besar untuk melaut.
”Sering sekali terjadi, petugas SPBU tidak memercayai surat rekomendasi yang dimiliki nelayan tradisional sehingga justru sering terjadi cekcok. Seharusnya pemerintah bisa mulai menyediakan SPBN yang dikelola nelayan atau kelompok nelayan tradisional di beberapa titik. Jadi, mereka bisa beli di situ sebelum pergi melaut,” kata Rignolda.
Sebelumnya, Sabtu (24/9/2022), Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki berkunjung ke Bitung untuk meluncurkan program Solusi Nelayan dengan meresmikan SPBN yang dikelola Koperasi Nelayan Tuna Bitung. Ia mengatakan, program ini merupakan upaya pemerintah dalam mengatasi dampak penurunan pendapatan nelayan pasca-kenaikan harga BBM.
”Kalau kita perbaiki akses nelayan untuk mendapatkan solar, kesejahteraan mereka akan lebih baik. Pemerintah memahami, saat ini baru ada 388 SPBU nelayan, padahal ada 11.000 desa nelayan yang harus kami layani. Bitung termasuk sentra (industri) ikan nasional sehingga harus mendapat prioritas dari program Solusi Nelayan,” kata Teten.
Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo meminta penerapan Solusi Nelayan di 250 daerah. Program ini baru dimulai di tujuh daerah, antara lain Bitung, Cilacap (Jawa Tengah), dan Ambon (Maluku).
Target utama dari program ini adalah nelayan dengan kapal di bawah 30 gros ton (GT). ”Data pengelola koperasi dan anggotanya akan tercatat by name, address, dan volume BBM yang dibutuhkan. Itu akan dikuotakan, dihitung bersama Pertamina. Tidak bisa sembarangan,” kata Teten.
Taufiq pun menilai program ini sangat baik bagi nelayan. Dengan kode respons cepat (QR code) MyPertamina, mereka bisa memantau kuota solarnya setiap bulan dan bisa merencanakan pelayarannya dengan baik. Pertamina pun akan menjamin ketersediaan solar.
”Penyaluran di Kota Bitung per harinya adalah 23 kiloliter khusus nelayan. Ini dinaungi oleh tiga lembaga penyalur. Kami senang kalau semakin banyak lembaga penyalur sehingga semakin banyak nelayan di darat maupun kepulauan yang terlayani karena banyak SPBN,” katanya.
Raldy Tampomalu, anggota Koperasi Nelayan Tuna Bitung, menyatakan, program ini sudah sangat mendesak untuk diadakan. Sekali melaut selama tiga-empat minggu, pemilik kapal 30 GT ini membutuhkan sekitar 4.500 liter solar karena harus melaut sampai perairan Sorong, Papua Barat.
”Kami kesulitan dapat BBM. Tanggal 20-an ke atas tiap bulan, solar selalu sudah habis. Kami harus tunggu sampai tanggal 1 atau cari solar industri. Biaya kami melaut bisa melonjak sampai 50 persen,” kata Raldy yang sudah lima tahun menjalankan usaha perikanan tangkap.
Sementara itu, Monaliana Manabung, Ketua Koperasi Nelayan Tuna Bitung, mengatakan, kuota yang diterimanya sejak 2003 adalah 120 kiloliter. Padahal, setelah 19 tahun, anggotanya selalu bertambah dari hanya 24 kapal menjadi 130-an kapal yang dikelola 35 nelayan.
Tiap kapal 30 GT ia sebut butuh 4.000-6.000 liter sekali melaut, sedangkan kapal-kapal berbobot maksimal 10 GT hanya butuh 200-600 liter. Ia pun yakin distribusi solar akan lebih mudah.
”Yang jadi masalah sekarang, surat rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan hanya berlaku dua hari sebelum beli solar. Nelayan, kan, bisa saja ada masalah mesin atau semacamnya sehingga terlambat beli solar,” katanya.
Kuota solar bersubsidi di Sulut untuk 2022 adalah 143.987 kiloliter. Menurut Taufiq, bisa saja ada penyediaan kuota khusus untuk nelayan sebagaimana diputuskan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi setiap triwulan.