Mahfud MD: Rp 1.000,7 Triliun untuk Papua Rentan Tidak Termanfaatkan
Pemerintah menggelontorkan dana Rp 1.000,7 triliun untuk Papua dan hasilnya kondisi warga Papua tidak banyak berubah. Praktik korupsi menjadi penyebabnya.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, kasus yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe adalah perkara hukum, bukan politik. Pemerintah telah menggelontorkan dana otonomi khusus untuk Papua sejak tahun 2001 ke Papua sebesar Rp 1.000,7 triliun, tetapi berpotensi tidak jadi apa-apa. Praktik korupsi diduga kuat menjadi penyebabnya.
”Kasus Lukas Enembe itu sekali lagi kasus hukum, bukan politik. Itu atas perintah undang-undang serta aspirasi masyarakat Papua agar Lukas Enembe diproses hukum. Indikasi korupsinya sudah cukup secara hukum,” kata Mahfud MD seusai memberikan kuliah umum bertema ”Penguatan Ideologi Bangsa dan Nasionalisme untuk Pemerintahan Bersih”, Jumat (23/9/2022), di Universitas Islam Malang, Jawa Timur.
Mahfud MD menjelaskan, KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka dengan bukti awal penerimaan gratifikasi Rp 1 miliar. ”Lalu di sana (Papua) mau berontak atau mau marah-marah, katanya kok Rp 1 miliar ditersangkakan? Maka, saya jelaskan, bukan Rp 1 miliar. Itu hanya bukti awal yang sudah bisa menjerat dia. Sudah ada siapa mentransfer uang, uang dari mana, dan untuk apa. Itu sudah ada, ketemu tersangka,” katanya.
Menurut Mahfud, dugaan korupsi Enembe cukup banyak. Diduga, uang yang dikorupsi Rp 566 miliar. Uang kontan sebanyak Rp 71 miliar sudah diblokir. Namun, ia menegaskan, korupsi di Papua tidak terkait dengan penghargaan predikat tujuh kali status wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diterima dari Kementerian Keuangan.
”WTP bukan menjamin tidak ada korupsi. WTP itu hanya kesesuaian transaksi yang dimasukkan dalam laporan keuangan. Yang tidak dimasukkan dalam laporan keuangan, kan, beda,” katanya.
Mahfud mengatakan, kemungkinan korupsi meski WTP disebabkan setidaknya tiga hal. Hal itu seperti uang tidak ditransaksikan, ada kickback (pengembalian dana), dan ada pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Mahmud menegaskan, yang tidak bisa dibiarkan dalam kasus Lukas Enembe ini adalah adanya dana yang dikeluarkan pemerintah selama otsus, sejak 2001. Jumlahnya mencapai Rp 1.000,7 triliun.
”Itu tidak jadi apa-apa. Rakyatnya tetap miskin. Marah kita ini, negara menurunkan uang, rakyatnya miskin. Sejak zaman Enembe, nilainya lebih dari Rp 500 T,” kata Mahfud.
Proyek pembangunan infrastruktur di Papua, kata Mahfud, ada karena proyek PUPR dari pemerintah pusat. ”Yang dari dana otsus itu banyak yang dikorupsi seperti ini. Tentu tidak semuanya, tetapi banyak yang dikorupsi,” katanya.
Jika ditelisik lebih dalam, menurut Mahfud, dana dikucurkan untuk warga Papua paling tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Jatah per kepala dari pemerintah pusat untuk pembangunan Papua Rp 14,7 juta, Papua Barat (Rp 10,2 juta per penduduk), Kalimantan Timur (Rp 4,9 juta per penduduk), Aceh (Rp 6,9 juta per penduduk), dan Nusa Tenggara Timur (Rp 4,2 juta per penduduk).
”Negara menurunkan banyak (anggaran), tapi rakyatnya tetap begitu. Oleh karena itu, kita (pemerintah) menindak pelanggaran korupsinya. Jangan main-main. Ini penegakan hukum. Kalau negara ini ingin baik, hukumnya harus ditegakkan,” ujar Mahfud.
Dalam acara yang sama, Rektor Universitas Islam Malang (Unisma) Maskuri mengatakan, pihaknya mendukung tindakan pemerintah dalam menegakkan keadilan, apa pun bentuknya. Unisma, katanya, berdiri menegakkan keadilan, menyejahterakan masyarakat, dan dalam menjaga martabat bangsa.
”Kami diwarisi pemikiran hebat para kiai yang akan terus dijunjung tinggi. Sebagaimana trilogi pendidikan Unisma, yaitu modal jujur ikhlas, rukun, dan disiplin,” katanya.