Meski Sulit, Jangan Berhenti Berbagi
Kenaikan harga BBM menjadi pukulan bagi sebagian kalangan. Meski berat, hal itu tidak membuat mereka berhenti memperhatikan sesamanya. Pelajaran penting bagi semua orang di negeri ini.
Darmin (79) tidak bertepuk sebelah tangan saat datang ke Kantor Pos Bandung, Rabu (7/9/2022). Dia pulang membawa Rp 500.000. Sebanyak Rp 200.000 berasal dari bantuan pangan nontunai, September 2022.
Sementara Rp 300.000 adalah bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM). Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, pemerintah memberikan Rp 150.000 per bulan dalam kurun September-Desember 2022. Dengan dana itu, ia mencoba bertahan hidup.
”Alhamdulilah, bulan ini dapat lebih banyak. Ada tambahan Rp 300.000. Rencananya saya akan beli gerobak,” kata warga Kelurahan Ciseureuh, Kecamatan Regol, Kota Bandung, itu.
Bagi pemulung renta seperti dia, gerobak adalah barang vital. Tubuh tuanya tidak mampu lagi mengangkut sampah. Hingga dua minggu lalu, dia pernah punya gerobak, tetapi kini hilang entah ke mana.
Akibatnya tidak sederhana. Lebih kurang dua minggu terakhir ia tidak bekerja. Potensi penghasilan yang hanya Rp 10.000 per hari itu gagal ia dapatkan.
Baca juga: Bumbu Terbaik untuk Lele dari Pondok Pesantren
Beruntung, dia punya orang-orang baik di sekitarnya. Banyak tetangga ikut memberi perhatian. Mulai dari makan hingga kepentingan lain. Siang itu, misalnya, dia diantar Ruslan (55), tetangganya, mengambil dana bantuan itu.
Meski bahagia mendapat bantuan negara, Darmin tetap menyimpan khawatir. Katanya, kenaikan harga BBM bisa membuat barang lain semakin mahal.
”Saya cemas kalau apa-apa mahal, kebaikan tetangga akan hilang. Selama ini, mereka yang membantu hidup saya,” katanya.
Akan tetapi, Ruslan dengan cepat menepis kekhawatiran itu. Dia mengatakan kepada Darmin bahwa semua akan baik-baik saja.
”Sekarang, kita perbaiki dulu saja gerobak Bapak,” ujarnya kepada Darmin.
Bagi Ruslan dan banyak warga Ciseureuh, Darmin sudah seperti orangtua sendiri. Kebutuhan makan Darmin, misalnya, diberikan warga hingga pihak warung makan secara gratis. Semua paham hidup Darmin tidak mudah di usia senja.
”Walaupun harga-harga nanti naik, kami bakal tetap urus beliau,” ujar Ruslan sambil tersenyum.
Akan tetapi, Ruslan sulit menepis tantangan yang tidak ringan di depan mata. Penghasilan penjual ayam goreng ini hanya Rp 3 juta per bulan. Bila harga tepung, minyak goreng, hingga daging ayam melonjak, keuntungannya bakal berkurang.
”Saya yakin (harga) bahan baku bakal naik. Tapi, tidak apa-apa. Sabar. Semoga nanti saya dan banyak warga lainnya banyak rezeki. Belum tahu apa, tapi pasti ada jalan,” katanya.
Tidak tega
Kesetiakawanan juga dilakukan Turini (53), penjual mi goreng. Di tengah kenaikan harga BBM dan telur, misalnya, ia masih bertahan dengan harga lama, Rp 4.000 per porsi. Meski sangat berat, warga Pesisir, Kelurahan Panjunan, Cirebon, itu tidak sampai hati menaikkan harga dagangannya.
Menurut Turini, hampir semua pelanggannya adalah tetangga sendiri. Dia tahu benar mereka hidup bersama kemiskinan. Oleh karena itu, ibu tiga anak dan nenek dua cucu ini memilih bersiasat.
dibanyakin
Pada Senin-Kamis (5-8/9/2022), kesetiakawanan Turini terbantu lewat pasar murah Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Cirebon. Aneka komoditas dijual lebih murah ketimbang harga pasar.
Telur dijual Rp 22.000 per kg atau lebih murah Rp 6.000 per kg ketimbang di pasar. Masyarakat antusias. Sekitar 300 kg telur habis dalam waktu setengah jam.
Baca juga: Digitalisasi dan Keuangan Syariah, Dua Kawan Baik untuk Semua
Kepala KPw BI Cirebon Hestu Wibowo mengatakan, operasi pasar merupakan salah satu strategi menjaga keterjangkauan harga bahan pangan sehingga inflasi terkendali. Strategi lainnya dengan memastikan ketersediaan pasokan komoditas, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif.
Hestu belum mengetahui dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Namun, katanya, penetapan harga barang dan jasa oleh pemerintah dapat memengaruhi inflasi, selain harga pangan.
Mari bersama-sama bekerja keras mengendalikan inflasi.
Akan tetapi, menurut dia, penyesuaian harga BBM tidak terhindarkan di tengah kenaikan harga minyak dunia dan geopolitik global, termasuk perang Ukraina dan Rusia. Kondisi ini membuat subsidi BBM membengkak tiga kali lipat, dari anggaran awal Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun.
”Mari bersama-sama bekerja keras mengendalikan inflasi,” ucap Hestu. Bantuan langsung tunai, subsidi upah, dan alokasi dana transfer umum dari pemerintah menjadi jaring pengaman untuk masyarakat kurang mampu menghadapi kenaikan harga BBM.
Mandiri dari pekarangan
Akan tetapi, warga RW 014, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, enggan sekadar menggantungkan diri. Mereka sejak lama sudah menyiapkan mitigasi lewat pemilahan sampah dan menanam tanaman pangan di pekarangan. Tidak dinikmati sendiri, mereka juga berbagi.
Maria Endang (62), warga setempat, misalnya, mengatakan, tidak tahu pasti harga cabai rawit di pasar. Sudah lama dia tidak membeli produk yang kerap memicu inflasi itu.
Untuk kebutuhan sehari-hari, dia tidak perlu membeli di pasar. Halaman rumah sudah mencukupi kebutuhanya. Saking melimpahnya, dia mempersilakan para tetangga mengambilnya.
”Saya tidak pernah hitung panen berapa banyak. Cabainya tidak pernah berhenti berbuah. Kuncinya penggunaan pupuk cair buatan sendiri dari sampah organik,” kata Endang.
Ketua RW 014 Yunitri mengatakan, pemilahan sampah dan penanaman tanaman pangan sudah lama dijalankan warga. Setidaknya sejak 2019, lewat program Kampung Kabisa, daerahnya menjadi salah satu kawasan pengembangan Buruan SAE dan Kang Pisman. Keduanya program ketahanan pangan dan pemilahan sampah dari Pemerintah Kota Bandung.
Pendamping Kampung Kabisa Tubagus Ari Satria Bakti mengatakan, saat ini, 227 kepala keluarga dari 325 kepala keluarga sudah memilah sampah organik. Perlahan sosialisasi pemilahan sampah terus dilakukan untuk meminimalkan timbulan sampah.
”Warga yang sudah memilih sampah kami berikan bonus bekas maggot (kasgot) sebagai pupuk, sebagai nutrisi untuk sayuran dan tanaman lainnya,” katanya.
Maggot adalah larva lalat black soldier fly atau BSF (Hermetia illucens). Sejak menetas dari telur, larva ini terus makan dan mengonsumsi bahan-bahan organik, termasuk sampah sisa makanan. Sementara kasgot adalah residu dari larva BSF yang dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
Di RW 014, produksi maggot mencapai 300 kg per bulan, sedangkan kasgot sekitar 7 kg per bulan.
Terlihat menjijikkan bagi sebagian orang, maggot dan kasgot menjadi tumpuan warga menjaga alam hingga menjaga ketahahan pangan. Beberapa warga dari RW lain hingga mahasiswa dari perguruan tinggi datang untuk belajar dan diterima warga di sana.
Kesetiakawanan seharusnya tidak hilang sesulit apa pun keadaannya. Pelajaran tentang itu bisa didapatkan dari mana saja, bahkan di akar rumput sekalipun.
Baca juga: Menanti Partisipasi Warga dalam Wujudkan Kemandirian Pangan