Menanti Partisipasi Warga Dalam Wujudkan Kemandirian Pangan
Masyarakat berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Kemandirian yang dimulai dari lingkup terkecil serta dikerjakan secara kolektif dan konsisten dapat menyelamatkan bangsa dari krisis pangan.
Gejolak harga pangan dan terbatasnya pasokan semakin mengancam ketahanan pangan dan daya beli masyarakat. Upaya pemerintah mengatasi kenaikan harga komoditas pangan dapat diimbangi dengan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kemandirian pangan dari rumah.
Dalam rapat pengendalian inflasi daerah pada 30 Agustus 2022 lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Panjaitan mengajak masyarakat untuk menanam bahan pangan dari rumah. “Saya dulu pernah bikindi hidroponik, supaya jangan sampai pangan kita kurang” tegasnya.
Ajakan tersebut tak lepas dari laju inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food yang meningkat signifikan sepanjang 2022. Hal tersebut didorong oleh kenaikan harga sejumlah komoditas pangan. Akibatnya, inflasi secara keseluruhan pun turut melonjak.
Sejak bulan Juni 2022, tingkat inflasi tahunan berada di atas empat persen. Meski tergolong rendah jika dibandingkan negara lainnya, inflasi Indonesia sudah berada di luar target yang ditetapkan pemerintah, yakni 2-4 persen.
Inflasi Indonesia berbeda dengan inflasi sejumlah negara yang lebih banyak dipengaruhi oleh harga energi, seperti di Turki, AS, dan Thailand. Kendati kenaikan harga energi turut berpengaruh pada inflasi, sumbangannya relatif lebih kecil jika dibandingkan harga pangan. Pasalnya, harga energi di Tanah Air hingga saat ini masih cukup terkendali seiring masih diberikannya subsidi oleh pemerintah.
Inflasi bulan Juli 2022, misalnya, menembus angka 4,94 persen lantaran inflasi volatile food mencapai 11,47 persen. Angka tersebut sudah terlampau jauh melebihi target yang ditetapkan untuk inflasi harga pangan bergejolak, yakni 4-6 persen.
Kenaikan inflasi paling tinggi terjadi pada cabai merah, yakni 25,33 persen. Komoditas lain dengan kenaikan harga cukup tinggi adalah bawang merah (18,42 persen) dan cabai rawit (13,51 persen). Hingga pertengahan 2022, cabai merah dan bawang merah menjadi komoditas dengan sumbangan inflasi terbesar, masing-masing 0,40 persen dan 0,30 persen. Berikutnya adalah cabai rawit, telur ayam ras, tomat, hingga daging sapi.
Sejumlah pemicu kenaikan tersebut antara lain gangguan cuaca, kenaikan harga komoditas global, dan kesenjangan pasokan. Meski belum pulih seperti sebelum pandemi, tetapi mulai meningkatnya permintaan turut mendorong kenaikan tersebut. Hingga saat ini, kenaikan harga pangan sudah mencapai 43 persen. Kenaikan yang terus terjadi berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat. Bahkan, dapat berujung pada kemiskinan.
Baca juga: Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan
Mandiri pangan
Dengan kondisi seperti ini, ajakan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan itu patut untuk dipertimbangkan untuk coba direalisasikan. Minimal untuk diuji dalam lingkup terkecil masyarakat, yakni rumah tangga. Kini, untuk menanam tak harus di hamparan lahan yang luas. Halaman, teras, hingga atap rumah pun bisa dijadikan tempat untuk menghasilkan bahan pangan.
Ragam media tanam pun kini mudah ditemukan, baik secara konvensional maupun melalui kanal-kanal daring, mulai dari polybag, pot, planterbag, dan sejenisnya. Bahkan, botol dan plastik bekas kemasan pun dapat dimanfaatkan kembali. Kementerian Pertanian mewadahi konsep tersebut dalam program Rumah Pangan Lestari (RPL).
Tak hanya dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing rumah tangga, mewujudkan kemandirian pangan juga dapat dilakukan secara kolektif dalam lingkup kelompok, seperti RT, RW, hingga desa. Cara tersebut dapat menjembatani kelompok masyarakat yang tak dapat menanam di rumah karena keterbatasan lokasi, pengetahuan, hingga dana. Dengan konsep yang lebih luas tersebut, prinsip itu disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KPRL).
Sebenarnya, Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan program tersebut sejak 2010. Namun, mulai 2020, program tersebut berganti nama menjadi Pekarangan Pangan Lestari (PPL). Program tersebut lebih banyak menyasar kaum perempuan terutama ibu rumah tangga, sehingga kegiatannya lebih dikenal dengan Kelompok Wanita Tani (KWT).
Hingga kini terdapat 3.800 titik PPL di seluruh Indonesia. Tujuan utama pengembangan PPL adalah terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari.
Pendanaan
Untuk mendukung program tersebut, pemerintah telah menyiapkan skema pendanaan untuk ketahanan pangan. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknik Penggunaan Dana Ketahanan Pangan dan Pertanian. Regulasi tersebut diterbitkan dengan tujuan untuk mendanai kegiatan PPL.
Merujuk data Kementerian Keuangan, alokasi dana untuk ketahanan pangan dan pertanian yang masuk dalam skema dana alokasi khusus non-fisik sebesar Rp 0,2 triliun untuk tahun 2022. Alokasi dana tersebut baru dimulai tahun lalu, dengan besaran yang sama. Kegiatan PPL yang bisa dilakukan dengan dana tersebut antara lain pengadaan sarana pembibitan, kegiatan pertanaman, hingga pasca panen.
Dana ketahanan pangan dan pertanian tersebut merupakan bagian kecil dari dana transfer ke daerah (TKD) yang dikhususkan untuk ketahanan pangan. Untuk tahun 2022 ini, pemerintah mengalokasikan dana ketahanan pangan sebesar Rp 21,9 triliun. Jumlah tersebut 3,5 kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2021.
Porsi terbesar dalam dana transfer ke daerah adalah Dana Desa dengan besaran Rp 13,6 triliun. Alokasi Dana Desa khusus untuk ketahanan pangan tersebut baru diadakan tahun ini, sebelumnya tidak pernah dianggarkan. Pemanfaatan Dana Desa untuk ketahanan pangan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022. Untuk mendukung upaya ketahanan pangan dan hewani, daerah dapat mengalokasikan paling sedikit 20 persen.
Dengan kata lain, potensi untuk mewujudkan kemandirian pangan dari lingkup masyarakat terkecil sebenarnya sangat besar. Tak hanya program, pendanaan pun telah disiapkan. Apalagi, jangkauan Dana Desa sangat luas dan menyeluruh. Sehingga, semua wilayah memiliki kesempatan dan bekal yang sama untuk memperjuangkan kemandirian pangan.
Ratusan hektar sawah warga terendam banjir yang terjadi di sejumlah kelurahan di Kecamatan Bungi, Baubau, Sulawesi Tenggara, Jumat (24/6/2022). Selain ratusan warga, sebanyak 200 hektar sawah terendam banjir dan terancam gagal panen. Banjir ditengarai akibat kerusakan hulu akibat penebangan hutan secara liar.
Baca juga: Menjaga Ketahanan Pangan Nasional
Hal ini diperlukan lantaran masih terdapat wilayah yang masuk dalam kategori rawan pangan bahkan jumlah meningkat 0,8 persen di tahun 2021. Tahun sebelumnya, terdapat 70 kabupaten/kota rawan pangan atau 13,6 persen dari keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia. Sementara, tahun ini menjadi 74 kabupaten/kota (14,4 persen) dengan 1.453 kecamatan rawan pangan.
Secara keseluruhan anggaran negara yang disiapkan untuk ketahanan pangan pun lebih besar di tahun ini, yakni Rp 92,3 triliun. Tak hanya untuk transfer ke daerah, terdapat dua alokasi lain yaitu bersumber dari dana kementerian/lembaga dan non kementerian/lembaga. Dengan alokasi yang tersebar di beberapa pos anggaran, dukungan dana ketahanan pangan tahun ini dapat dikatakan cukup memadai. Sekedar perbandingan, pada tahun lalu, anggaran APBN 2021 untuk ketahanan pangan hanya sebesar Rp 85,9 triliun. Artinya, amunisi untuk menghadapi problem pangan juga sebenarnya sudah lebih kuat secara anggaran.
Oleh sebab itu, tak heran jika publik menaruh kepercayaan pada pemerintah dalam menghadapi gejolak pangan yang tengah melanda. Jajak pendapat Kompas pada 23-26 Agustus 2022 lalu merekam, tujuh dari 10 responden yakin akan kemampuan pemerintahan untuk mengatasi persoalan krisis pangan saat ini.
Dengan demikian, gerak cepat dan tepat dinantikan. Tak hanya melulu soal anggaran, tetapi lebih pada implementasi. Pasalnya, seberapa pun besarnya anggaran dan beragamnya skema menjadi kurang berdampak jika tidak terealisasi.
Upaya kemandirian pangan dari rumah tangga yang telah terprogram sejak satu dekade lalu pun perlu kembali disosialisasikan. Jangkauannya pun perlu diperluas agar lebih banyak rumah tangga yang berpartisipasi dan memperoleh manfaat. Namun, di atas semuanya itu, pengawasan tidak kalah penting agar anggaran dan program yang telah dirumuskan berjalan sesuai target yang diharapkan. (LITBANG KOMPAS)