Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan
Sosialisasi dan penerapan teknologi hingga peningkatan kesejahteraan insan pertanian menjadi salah satu faktor kunci mewujudkan kemandirian pangan nasional.
Upaya untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional masih harus menempuh perjalanan cukup panjang. Tingginya permintaan justru dihadapkan dengan produksi yang kian menyusut. Problem kesejahteraan hingga regenerasi insan pertanian pun harus segera dituntaskan agar cita-cita kemandirian pangan dapat terwujud.
Saat ini, krisis pangan bukan hanya sebuah ancaman. Namun, sudah dirasakan oleh negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejak Maret 2022 saja, harga pangan global sudah melonjak hingga hampir mencapai 13 persen. Bahkan, diperkirakan menembus angka 20 persen pada akhir tahun nanti.
Konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai menjadi salah satu pemantik kenaikan harga tersebut. Belum lagi, ancaman krisis iklim yang membuat pasokan pangan berkurang di tengah permintaan yang cenderung konstan meningkat. Akibatnya, kenaikan harga pangan menjadi tak terelakkan.
Di Indonesia, kenaikan harga terjadi pada sejumlah komoditas pangan, seperti ayam ras, cabai, bawang merah, serta kebutuhan pangan lainnya. Meskipun demikian, harga beras relatif masih stabil sehingga menjadi hal yang cukup melegakan. Pasalnya, beras masih menjadi ”primadona” bagi masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan harian. BPS mencatat, rata-rata harga beras di tingkat penggilingan sepanjang Januari-Juli 2022 sebesar Rp 9.190,36 per kilogram untuk kelas medium. Untuk beras premium yang berkualitas lebih baik berada di kisaran harga Rp 9.664,73 per kilogram.
Kendati demikian, stabilisasi produksi padi dalam negeri perlu mendapatkan perhatian. Merujuk catatan BPS, produksi padi Indonesia cenderung mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir. Tahun 2019-2021, rata-rata produksi padi hanya mencapai 54,56 juta ton per tahun. Padahal, tahun 2018, produksinya sudah mampu mencapai 59,20 juta ton.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum 2018, penurunan produksi padi saat ini akan terlihat lebih curam. Tahun 2016 misalnya, produksi padi mencapai 79,35 juta ton. Angka produksi ini meningkat lagi hampir 2 juta ton pada tahun 2017 menjadi 81,15 juta ton.
Perbedaan angka produksi yang signifikan antara setelah tahun 2018 dengan masa-masa sebelumnya itu bukan hanya karena penurunan produksi yang drastis pada masa kini. Namun, juga karena metode penghitungan produksi yang berbeda. Sebelum tahun 2018, metode pengumpulan data menggunakan eye estimate yang dikumpulkan melalui pelaporan Statistik Pertanian oleh Kepala Cabang Dinas Kecamatan. Namun, sejak 2018, metode penghitungan menggunakan kerangka sampel area (KSA). Metode baru itu mengoreksi estimasi yang dilakukan sebelumnya sehingga angka proyeksi produksi menyusut.
Dengan teknik KSA itu menunjukkan estimasi produksi tahun 2018 lebih unggul 8,5 persen dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Artinya, penggunaan metode yang baru sejak tahun 2018 hingga saat ini menunjukkan penurunan produksi padi beberapa tahun terakhir. Produksi pangan utama Indonesia terus mengalami penyusutan.
Baca Juga: Urgensi Menjawab Krisis Pangan Nasional
Konsumsi beras tinggi
Penurunan tersebut sejatinya dapat diantisipasi dengan diversifikasi sumber pangan lokal lainnya, seperti jagung dan ubi. Bahan pangan lokal itu dapat menjadi alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat yang tak kalah tinggi. Tren produksinya pun cukup baik.
Hingga tahun 2018, produksi jagung nasional mencapai 30 juta ton (pipilan kering) atau sekitar separuh dari produksi beras. Jumlah tersebut naik pesat jika dibandingkan tahun 2014 yang baru mencapai 19 juta ton. Berbeda dengan ubi yang justru volume produksinya terus menyusut.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan hingga tahun 1954, pemenuhan kebutuhan pokok Indonesia dari beras hanya mencapai 53,5 persen dari konsumsi nasional. Sisanya, dipenuhi dari ubi kayu sebanyak 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan kentang 4,99 persen.
Namun, saat ini beras yang merupakan produk turunan padi menjadi kian disukai masyarakat Indonesia. Hasil Survei Sosial Ekonomi BPS September 2021 menunjukkan tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 98,21 persen. Naik 1,21 poin persen dibandingkan September 2019.
Tingkat partisipasi yang dimaksud adalah perbandingan antara rumah tangga yang mengonsumsi komoditas tertentu dengan jumlah seluruh rumah tangga. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras itu sangat timpang bila dibandingkan dengan jenis pangan lainnya yang cenderung lebih rendah. Jagung misalnya, hanya mencapai 13,31 persen dan tepung 39,44 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap beras sangatlah besar.
Tingginya ketergantungan itu terlihat dari rata-rata konsumsi beras yang terus meningkat. Pada September 2021, rata-rata konsumsi beras per orang mencapai 6,75 kg dalam sebulan. Pada periode sebelumnya, hanya berada di kisaran 6,50 kg per orang per bulan.
Tingginya konsumsi beras itu salah satunya karena diversifikasi bahan pangan tidak mudah dilakukan. Bahkan, produksi sumber pangan lokal dalam negeri masih belum mampu mencukupi 100 persen kebutuhan. Akibatnya, mengantungkan sebagian suplainya dari impor komoditas pangan dari luar negeri.
Merujuk catatan Statistik Pertanian tahun 2021, defisit tanaman pangan tahun 2020 mencapai 19,81 juta ton. Besaran ekspor mencapai 0,4 juta ton, sementara impor menembus angka 20,23 juta ton. Meski tidak dalam jumlah besar, beras masih masuk dalam daftar komoditas tanaman pangan impor. Kendati beberapa waktu terakhir pemerintah mengumumkan bahwa stok pangan dalam negeri terkendali. Komoditas tanaman pangan dengan andil impor yang cukup besar adalah gandum dan kedelai. Besarannya masing-masing mencapai 10,5 juta ton dan 7,5 juta ton serta mendominasi total impor tanaman pangan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kemandirian pangan dalam negeri belum benar-benar terwujud. Merujuk definisi dalam UU Nomor 18 Tahun 2012, kemandirian pangan merupakan kemampuan negara memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri. Kemandirian pangan harus diwujudkan guna menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan. Caranya, dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Sumber daya
Salah satu upaya mewujudkan kemandirian pangan adalah dengan memperluas lahan untuk memproduksi bahan pangan. Dalam Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2020 tercatat, kebutuhan lahan pertanian tahun 2020-2024 diprediksi terus mengalami peningkatan. Tak terkecuali tanaman pangan.
Komoditas padi, misalnya. Pemerintah memproyeksi, kebutuhan lahan tanaman pangan padi tahun 2021 seluas 11,87 juta hektar. Bahkan, tahun 2024 diperkirakan 12,48 juta hektar.
Namun, realisasi pemanfaatan lahan masih lebih rendah dari yang diperkirakan. Terlihat dari luasan panen komoditas pangan belum seperti yang direncanakan. Tahun 2021, luas panen padi hanya mencapai 10,41 juta hektar. Padahal, tahun 2019 luas panen padi sudah mencapai 11,38 juta hektar. Selain lebih rendah dari target, tren luasan panen juga mengalami penurunan.
Tidak optimalnya pengelolaan lahan tersebut salah satunya juga terkait dengan relatif rendahnya regenerasi tenaga kerja sektor pertanian. Berdasarkan catatan Keadaan Angkatan Kerja Indonesia yang dipublikasikan secara berkala setiap tahun, generasi penerus di sektor pertanian cenderung mengalami penurunan.
September 2021, jumlah pekerja di sektor pertanian yang berusia di bawah 24 tahun turun 12,31 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal serupa terjadi pada pekerja sektor pertanian pada kelompok usia yang lebih matang, yakni 25-39 tahun. Jumlahnya turun 6,8 persen menjadi 9,47 juta orang. Struktur tenaga kerja pertanian kini didominasi kelompok usia tua. Bahkan, jumlah pekerja sektor pertanian kelompok usia di atas 55 tahun naik lebih dari 25 persen pada September 2021.
Fenomena tersebut kemungkinan disebabkan relatif rendahnya jaminan kesejahteraan bagi para petani sehingga sebagian besar generasi muda mengurungkan niat menekuni bidang agraris itu. Relatif rendahnya kesejahteraan ini terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang masih tidak menentu. Bahkan, beberapa waktu terakhir menunjukkan tren penurunan.
Apalagi, NTP tanaman pangan relatif rendah jika dibandingkan subsektor pertanian lainnya. Idealnya, NTP berada di atas angka 100 yang menggambarkan pekerja sektor pertanian sejahtera. Namun, NTP subsektor tanaman pangan lebih sering berada di bawah angka 100. Hal ini menjadi ironi lantaran petani menjadi garda terdepan menjaga ketersediaan pangan guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
Struktur pekerja sektor pertanian yang cenderung tua juga menjadi penyebab produksi tanaman pangan dalam negeri kurang optimal. Pasalnya, saat ini pemanfaatan teknologi cukup masif digunakan dalam bidang pertanian. Struktur pekerja yang cenderung tua berpotensi membuat pemanfaatan teknologi tidak optimal atau bahkan nihil. Para petani masih bergantung pada metode tradisional yang kurang efisien.
Sejumlah fakta tersebut menunjukkan bahwa kemandirian pangan masih memerlukan waktu lebih lama lagi untuk merealisasikannya. Sederet persoalan pelik harus segera direspons dengan kebijakan yang tepat mengingat ancaman krisis pangan sudah ada di depan mata. Sosialisasi teknologi hingga peningkatan kesejahteraan insan pertanian pun sebaiknya tak henti diperjuangkan. (LITBANG KOMPAS)