Dukungan ekonomi syariah, digitalisasi, lembaga keuangan, hingga pemerintah daerah membuat usaha rakyat berpotensi menyejahterakan manusia dan alam sekitarnya. Tidak hanya bernilai ekonomi, tapi juga sosial yang besar.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
Jangan pernah menyepelekan seekor lele. Saat dibumbui kerja bersama, dukungan keuangan ideal, hingga sentuhan digitalisasi, manfaat lele di luar dugaan. Keberadaannya menekan inflasi, membiayai pembangunan infrastruktur, hingga menyejahterakan manusia dan alam di sekitarnya.
Nuget hingga sambal berbahan ikan lele terpajang dalam etalase pameran Digital and Sharia Economic Festival (Digisef), di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/9/2022). Bukan produk biasa, makanan olahan lele santri itu jadi wujud manis ekonomi syariah berbasis digital.
”Setiap bulan, kami produksi sekitar 700 bungkus produk olahan lele yang dikirim ke Bandung, Jabodetabek, sampai Surabaya,” ujar Mahdi Karim (31), Kepala Koperasi Pondok Pesantren Modern Al Umanaa, produsen produk itu.
Berdiri sejak 2014, pesantren di Sukabumi ini awalnya membudidayakan lele untuk sumber pangan bagi sedikitnya 30 santri dua kali dalam seminggu. Sempat gagal, pembesaran lele itu terus berkembang setelah belajar sana-sini.
Manfaat produk olahan seperti lele menyumbang sekitar 37 persen biaya operasional pesantren.
Dua tahun kemudian, hasilnya mulai terasa. Produksi lele sekitar 7 kuintal dari 40 kolam sudah melebihi kebutuhan 100 santri. Sisanya dijual ke bakul setempat hingga ke Bogor. Namun, harga yang ditawarkan tengkulak rendah. Lele dibeli Rp 14.000 per kilogram atau jauh dari harapan, di atas Rp 17.000 per kg.
Pesantren kemudian mencoba mengolah ikan lele jadi sambal, ikan asap, serta nuget untuk meningkatkan nilai tambah. Didukung program One Pesantren One Product (OPOP) oleh Pemprov Jabar pada 2019, produk olahan itu memiliki kemasan bermerek Qureefood.
Dengan produk itu, Mahdi bisa meredam gejolak saat harga lele anjlok. Satu kemasan nuget lele ukuran 250 gram, misalnya, dijual Rp 32.000.
Pemasarannya melalui platform digital, media sosial, dan reseller. Akun Instagram “Qureefood”, misalnya, punya pengikut 6.500 akun. Selain tanpa penguat rasa buatan dan bahan pengawet, bahan makanan itu juga dibuat di rumah produksi. Sejumlah produk pun telah berlabel halal.
”Kami juga punya nuget berbentuk alfabet agar anak-anak mau makan ikan,” ucap Prianka Adi Iradati (31), pengelola Quereefood.
Menurut Prianka, usaha lele kini tidak hanya mencukupi menu makanan bagi 400-an santri, tetapi turut membangun pesantren.
Dari jualan lele, pesantren dapat membeli semen dan turut membiayai beasiswa sejumlah santri. ”Manfaat produk olahan seperti lele menyumbang sekitar 37 persen biaya operasional pesantren,” ujarnya.
Akan tetapi, pihaknya masih terkendala pasokan lele. Dari kebutuhan 7,5 kuintal hingga 1 ton ikan lele dalam tiga bulan, pesantren baru dapat memenuhi setengahnya.
Titik terang muncul saat Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Jabar menggagas program ekosistem Ketahanan Pangan Terintegrasi (Pangsi) tahun ini. Program ini menghubungkan sejumlah pondok pesantren, perusahaan teknologi bidang pangan, lembaga pembiayaan, pemerintah daerah, hingga pelaku pasar digital.
Menurut rencana, Ponpes Al Umanaa bakal mendapat pasokan lele dari Ponpes Al Muslim, Sukabumi. Dalam waktu dekat, kedua ponpes ini akan menyepakati harga yang sesuai.
”Inilah konsep ekonomi syariah yang ta’awun (tolong menolong). Kalau rugi sama-sama, untung juga sama-sama,” ucap Mahdi. Pihaknya akan memegang komitmen seperti arti Al-Umanaa, yakni orang-orang yang amanah.
Nilai sosial
Setali tiga uang, Ijay Jaelani (27), pengelola perikanan Ponpes Al Muslim, menyambut baik kerja sama itu. Ponpes yang juga mengikuti program OPOP itu mampu memanen 2,5-5 ton ikan lele kurang dari tiga bulan.
Akan tetapi, harga jual lele kerap ditawar rendah tengkulak, sekitar Rp 17.000 per kg. Padahal, pihaknya memberi pakan pelet yang jauh lebih mahal dibandingkan pakan limbah. Selain mencegah pencemaran, pelet juga dapat menghemat penggunaan air saat kemarau.
”Tengkulak memainkan harga. Beli rendah di petani, jual tinggi di konsumen. Kalau nanti ekosistem Pangsi, harga dari Pesantren Al Umanaa bisa lebih tinggi, Rp 19.000-Rp 20.000 per kg. Ini ekonomi syariah karena ambil untung tidak besar dan ada nilai sosialnya,” papar Ijay.
Dia mencontohkan, usaha lele tidak hanya turut memenuhi protein sedikitnya 120 santri, juga membantu operasional pesantren. Saat ini, banyak santri yang tidak membayar sepeser pun untuk biaya pendidikan.
Jahid Ghofari (28), pendamping BI Jabar untuk Pangsi di Sukabumi, mengatakan, selama ini, banyak ponpes belum berkolaborasi. Lewat program ekosistem Pangsi, mereka dipertemukan. Salah satunya, melalui Digisef yang sengaja digelar di pusat perbelanjaan untuk menarik minat banyak orang, 2-4 September.
”Ekosistem Pangsi ini juga bisa mencegah inflasi. Harga ikan lele, misalnya, bisa stabil. Salah satu penyebab inflasi harga yang naik-turun,” ujar Jahid.
Kerja sama
Kepala KPw BI Jabar Herawanto berharap, kerja bersama semua pihak lewat Pangsi bisa mendatangkan manfaat besar di berbagai bidang. ”Hal ini sejalan dengan prinsip syariah berbasis rahmatan lil alamin, yaitu kebermanfaatan untuk semua, termasuk kebaikan lingkungan di sekitarnya,” kata Herawanto.
Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah BI Arief Hartawan menambahkan, salah satu prinsip ekonomi syariah adalah toyib. ”Toyib itu sesuatu yang baik, tidak merusak lingkungan. Arah syariah itu ekonomi hijau,” katanya.
Sebanyak 2.800 pesantren di Jabar punya usaha, sebagian besar di bidang pangan. Lewat ekonomi syariah berbasis digital, ke depan, Jabar bisa ikut berperan menekan inflasi dan ramah lingkungan.
Itu sebabnya, BI Jabar mempertemukan ponpes dan pelaku usaha lainnya dengan perusahaan teknologi di bidang pangan. Di Digisef, perusahaan teknologi yang diundang adalah eFishery (pemberian pakan perikanan), Banoo (penjaga kualitas air perikanan), dan Habibi Garden (teknologi agrikultur). Sejumlah kolaborasi pun bermunculan.
Selain sudah menggunakan Banoo, Ponpes Al Muslim juga berkolaborasi dengan eFishery untuk mengurangi beban biaya pakan. Pakan nanti akan diberikan sesuai perhitungan, bukan perkiraan.
Dalam waktu dekat, Habibi Garden juga akan bekerja sama dengan Eptilu, pelaku agribisnis asal Garut. Digitalisasi membuat praktik pertanian lebih terukur dan menghemat sumber daya alam.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyampaikan, perpaduan ekonomi syariah dan digitalisasi bakal ampuh mengantisipasi gejolak pangan. Produk pesantren bisa langsung ke konsumen tanpa melalui tengkulak sehingga biayanya lebih murah.
”Sebanyak 2.800 pesantren di Jabar punya usaha, sebagian besar di bidang pangan. Lewat ekonomi syariah berbasis digital, ke depan, Jabar bisa ikut berperan menekan inflasi dan ramah lingkungan,” ujarnya.
Lewat usaha ikan lele di sejumlah ponpes di Jabar, semua kalangan bisa belajar tentang manfaat keuangan syariah, menahan laju inflasi, dan mendukung ekonomi berkelanjutan. Lele tidak hanya enak disantap. Nikmat dari lele jauh lebih besar saat dikelola bersama berbagai komponen penuh kebaikan.