Merasa Diabaikan, Warga Mentawai Ajukan Uji Materi UU Sumbar ke MK
Warga Kepulauan Mentawai mengajukan permohonan uji materi atas UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar ke Mahkamah Konstitusi. UU tersebut dianggap mengabaikan eksistensi adat dan kebudayaan Mentawai.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Warga Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, mengajukan permohonan judicial review atau uji materi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat ke Mahkamah Konstitusi. Uji materi dilakukan karena undang-undang tersebut dinilai mengabaikan eksistensi kebudayaan Mentawai di Sumbar.
Permohonan judicial review (JR) itu didaftarkan secara daring oleh Dedi Juliasman Sakatsilak, Dicky Christopher, Wahyu Septiadi, dan Basilius Naiju, Kamis (8/9/2022) pukul 15.58. Berdasarkan salinan tanda terima permohonan yang Kompas dapatkan, kuasa pemohon adalah Marhel Saogo. Adapun tanda terima permohonan itu ditandatangani oleh panitera Muhidin.
”Permohonan judicial review UU Sumbar sudah kami daftarkan. Tinggal menunggu jadwal sidang nanti dari MK. Saya mengajukan sebagai warga Mentawai asli,” kata Dedi Juliasman Sakatsilak yang berdomisili di Jakarta, ketika dihubungi dari Padang, Kamis sore. Dedi mendaftarkan permohonan JR bersama tiga rekannya dari komunitas Jago Laggai.
Warga asal Siberut Tengah itu menjelaskan, Pasal 5 huruf c UU No 17 Tahun 2022 hanya menyebutkan falsafah hidup masyarakat Minang, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK), sebagai karakteristik Sumbar. Padahal, di Sumbar juga ada masyarakat Kepulauan Mentawai yang punya falsafah hidup berbeda.
”Kepulauan Mentawai punya pandangan hidup, budaya, bahasa sendiri yang jauh beda dengan Minangkabau. Jadi, dasar kami mendaftarkan gugatan itu, kami ingin memohon kepada MK supaya ada putusan khusus bahwa UU No 17 Tahun 2022 ini tidak berlaku di Kepulauan Mentawai. Jadi, diharapkan, khususnya Pasal 5 huruf c itu dikecualikan untuk etnis Mentawai,” ujar Dedi.
Dedi menegaskan, ia dan rekannya tidak menuntut UU tersebut dicabut atau dikurangi. Ia menghargai UU itu dan mengakui ABS-SBK memang falsafah masyarakat Minangkabau. Namun, masyarakat Mentawai tidak diakomodasi dalam UU itu. Padahal, Mentawai merupakan etnis tersendiri, beda dengan Minangkabau.
Kepulauan Mentawai punya pandangan hidup, budaya, bahasa sendiri yang jauh beda dengan Minangkabau.
Setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Juli lalu, UU No 17 Tahun 2022 langsung menuai polemik. Aliansi Mentawai Bersatu, terdiri atas 11 organisasi dan lembaga kepemudaan Mentawai, berulang kali melakukan unjuk rasa dan audiensi dengan pemerintah daerah dan anggota DPRD agar UU itu direvisi.
Juru Bicara Aliansi Mentawai Bersatu Sarno Cependi Samaileppet mengaku sudah mendapat informasi pendaftaran permohonan uji materi tersebut. Aliansi Mentawai Bersatu pun mendukung langkah tersebut. ”Kami berharap permohonan ini dikabulkan MK dan adat kebudayaan Mentawai bisa diakomodasi dalam UU Sumbar,” katanya.
Gubernur Sumbar Mahyeldi dalam audiensi dengan Aliansi Mentawai Bersatu, Kamis (25/8/2022), mengatakan, tidak ada diskriminasi terhadap suku Mentawai dalam UU Sumbar. Oleh karena itu, Mahyeldi menilai tidak ada persoalan pada UU tersebut.
Ia menyatakan, dalam Pasal 5 huruf c UU No 17 Tahun 2022 terdapat klausa yang berbunyi, ”Kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”. Klausa tersebut dinilai sudah mewakili Mentawai dan suku lain di Sumbar.
”Terkait UU itu, saya sudah mencermati dan mendiskusikan juga dengan anggota Komisi II DPR, tidak ada diskriminasi Mentawai di sana,” katanya. Ia pun meminta Aliansi Mentawai Bersatu melakukan uji materi ke MK jika merasa dirugikan oleh UU tersebut.