UU Sumbar Dinilai Lupakan Keberadaan Kepulauan Mentawai
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang ditandatangani Presiden pada 25 Juli lalu dinilai melupakan keberadaan adat dan budaya Kepulauan Mentawai di provinsi itu.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
MUARA SIBERUT, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang ditandatangani Presiden pada 25 Juli lalu dinilai melupakan keberadaan adat dan budaya Kepulauan Mentawai di provinsi itu. Masyarakat Mentawai yang sudah menjadi bagian dari Sumbar sejak Indonesia merdeka merasa dikerdilkan dan dikucilkan.
Hal yang menjadi polemik dalam UU itu adalah Pasal 5 Huruf c yang berbunyi, ”Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”.
Falsafah hidup masyarakat Minangkabau adalah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK). Artinya, adat Minangkabau berlandaskan agama Islam, agama Islam berlandaskan pada kitab suci Al Quran.
Ketua Aliansi Mentawai Bersatu Yosafat Saumanuk, Senin (1/8/2022), mengatakan, aliansi menolak keras pengerdilan budaya Mentawai di dalam UU tersebut. Pasal 5 Huruf c itu berdampak pada pengerdilan dan pengucilan terhadap budaya Mentawai yang ada dan eksis di Sumbar.
Aliansi mewakili masyarakat Mentawai mempertanyakan niat DPR, terutama perwakilan Sumbar, dan Pemerintah yang seolah-olah menganggap Mentawai tidak ada di Sumbar.
”Tentu saja kami merasa didiskriminasi secara budaya dengan tidak memasukkan suku Mentawai sebagai karakteristrik dari UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar,” kata Yosafat, saat membacakan pernyataan sikap aliansi di Padang, yang juga disiarkan secara daring, Senin siang.
Aliansi yang terdiri dari 11 organisasi dan lembaga kepemudaan Mentawai itu mendesak DPR meminta maaf karena lalai menghargai, menghormati, dan melindungi keberadaan kebudayaan Mentawai sebagai salah satu keberagaman dari Provinsi Sumbar. Aliansi juga mendesak revisi UU itu dengan menambahkan dan mengakomodasi keberadayaan kebudayaan Mentawai sebagai salah satu karakteristik Provinsi Sumbar.
”Untuk langkah selanjutnya, kami juga akan menyurati Presiden dan mengajukan judicial review (ke Mahkamah Konstitusi),” ujar Yosafat ketika dihubungi dari Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.
Tokoh masyarakat Mentawai, Yudas Sabaggalet, yang hadir dalam kesempatan itu, mengatakan, Mentawai sudah menjadi bagian dari Provinsi Sumbar sejak Indonesia merdeka. Wakil Presiden pertama Indonesia, Bung Hatta, pada 1952, pernah berkunjung ke Mentawai. Itu bentuk pengakuan negara terhadap Mentawai.
”Sekarang keluar UU ini, seolah-olah kami tidak ada di Sumbar. Ini muncul polemik. Kami tidak memolemikkan tentang ABS-SBK, bukan itu persoalan kami. Soal ABS-SBK itu sepakat. Kalau kami masih diterima di Sumbar, cantumkanlah satu pasal yang menyatakan untuk Mentawai akan diatur kemudian,” kata Bupati Mentawai periode 2011–2016 dan 2017–2022 itu.
Menurut Yudas, di dalam Peraturan Daerah Sumbar tentang pemerintahan nagari, perda sudah sangat terbuka menerima Mentawai. Dalam perda disebutkan, khusus untuk Mentawai tidak pakai pemerintahan nagari, tetapi pemerintahan desa. Namun, di tingkat UU, justru Mentawai tidak diakomodasi seolah-olah bukan bagian dari Sumbar.
Sementara itu, tokoh Mentawai, Rijel Samaloisa, mengatakan, ia secara pribadi tidak mempersoalkan UU tersebut. Walakin, pria kelahiran Bosua, Sipora Selatan, Kepulayan Mentawai, itu memahami adanya respons masyarakat Mentawai terhadap kemunculan UU yang tidak mengakomodasi Mentawai sebagai bagian dari Sumbar.
Di masa lalu, kata Rijel, Mentawai punya sejarah kelam. Mentawai di masa lampau salah satu suku bangsa yang ditaklukkan. Pertama, adanya penghancuran arat sabulungan yang merupakan inti masyarakat Mentawai oleh lembaga pemerintah dan sebagainya. Kedua, pembuatan perda nagari, yang meskipun akhirnya mengakomodasi Mentawai.
Selanjutnya, adanya izin eksploitasi hutan di Mentawai pada 2009, yang tidak dirasakan manfaatnya oleh warga Mentawai. ”Itu beberapa sejarah yang menjadi poin penting kenapa masyarakat Mentawai mempersoalkan ini sebuah isu perlu direspons,” kata Wakil Bupati Kepulauan Mentawai periode 2011-2016 itu.
Namun, menurut Rijel, UU itu tidak perlu dikhawatirkan. Mentawai tanpa disebut pun di dalam UU secara inheren sudah diakui keberadaannya. Yang diatur di dalam pasal tersebut tentang nagari, tidak menyebutkan desa/lagai di Mentawai. Namun, tetap harus ada kontrol publik untuk mengawal kebijakan ini agar yang menjadi pesan penting dari UU ini betul-betul dilaksanakan, misalnya tidak membuat perda syariah.
”Sumbar menjadi tempat paling baik untuk Mentawai karena sejak lama ada di wilayah Sumbar. Para tokoh politik, tokoh masyarakat, dan pemerintahannya pun mengakui. Hanya memang kami mendorong agar pemerintah provinsi juga memperhatikan pembangunan SDM, infrastruktur, dan hal lain yang penting untuk mempercepat keluarnya Mentawai dari posisi sebagai daerah 3T,” kata dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, Yogyakarta, itu.
Menanggapi polemik yang muncul terkait UU Sumbar itu, Sekretaris Daerah Sumbar Hansastri berkata singkat, ”Pemprov Sumbar siap melaksanakan undang-undang.”
Karakteristik lokal
Secara terpisah, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, Pasal 5 Huruf c itu sebenarnya bentuk pengakuan negara terhadap karakteristik lokal setiap daerah sesuai ketentuan Pasal 18 B dalam UUD 1945.
Karakteristik yang dimiliki Sumbar, yang sebagian besar bersuku Minangkabau, disebutkan terkait kewilayahan, pemerintahan nagari, dan adat, itu dinyatakan dan dicantumkan dalam UU. ”Bahwa ABS-SBK itu pun tidak bisa dibantah sebagai akar budaya masyarakat (Sumbar), terutama beretnis Minangkabau,” kata Charles.
Namun, yang menjadi masalah, kata Charles, adalah adanya kekurangan dari segi penormaan. UU tersebut mengabaikan atau menegasikan keberadaan masyarakat hukum adat lainnya, seperti Mentawai, yang punya karakteristik khusus yang berbeda dengan masyarakat Sumbar pada umumnya yang bersuku Minangkabau.
”Semestinya di situ dinyatakan juga bahwa selain berdasarkan adat budaya Minangkabau yang ABS-SBK juga diakui keberadaan karakteristik budaya lokal lain yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan susunan aslinya, seperti yang ada di Mentawai,” ujar Charles.
Charles memandang persoalan itu muncul lebih karena kealpaan atau kelupaan pembuat UU, bukan kesengajaan. Hal tersebut terjadi karena proses pembahasan UU yang tertutup. Publik tersentak, tiba-tiba saja sudah ada rapat paripurna penetapan UU penyesuaian ketentuan hukum pembentukan Provinsi Sumbar itu. Jika rancangan UU disosialisasikan dan didiskusikan, publik bisa memberikan kritik dan saran.
Jika rancangan UU disosialisasikan dan didiskusikan, publik bisa memberikan kritik dan saran.
”Satu-satunya jalan yaitu mendorong masyarakat, terutama masyarakat Mentawai, kalau (kesalahan ini) dianggap bisa mendiskriminasi saudara-saudara kita ini, sama-sama ke MK untuk meminta penafsiran ke MK bahwa UU ini harus dimaknai seperti apa yang kita kehendaki, yaitu mengakomodasi keberadaan masyarakat Mentawai,” ujarnya.
Adapun pemuatan ABS-SBK pada UU itu yang dikhawatirkan sebagai landasan penerapan syariat Islam di pemerintahan Provinsi Sumbar, Charles berpendapat, itu salah kaprah. Sebab, yang diakui di UU adalah karakteristik adat dan budaya Minangkabau, bukan pemerintahan daerahnya.
Secara hukum kepemerintahan, kata Charles, di pasal terakhir UU itu disebutkan, pelaksanaan pemerintahan Sumbar tetap tunduk pada UU pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, jangan dipahami sebagai otonomi khusus yang berlaku di UU Aceh, DKI Jakarta, dan Papua.
”ABS-SBK itu konteksnya karakteristik adat dan budaya, bukan karakteristik hukum dan pemerintahan. Yang bersandi syarak itu kan adatnya, bukan pemerintahan yang bersandi syarak. Kecuali dikatakan pemerintahannya bersandi syarak. Pemerintahannya tetap berdasarkan Pancasila dan NKRI,” ujar Charles.