Warga Adat Mentawai Minta Gubernur Perjuangkan Mentawai dalam UU Sumbar
Aliansi Mentawai Bersatu menuntut agar Gubernur Sumatera Barat ikut memperjuangkan masyarakat adat Mentawai agar diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Aliansi Mentawai Bersatu menggelar aksi damai di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat di Kota Padang, Sumbar, Selasa (9/8/2022). Aliansi menuntut agar gubernur ikut memperjuangkan masyarakat adat Mentawai agar diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar.
Aksi damai tersebut diikuti oleh 20-an anggota Aliansi Mentawai Bersatu dari pukul 10.00-12.00. Delapan di antara peserta aksi mengenakan pakaian dengan ornamen budaya Mentawai. Dalam aksi yang bertepatan dengan peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional itu, anggota aliansi bergiliran berorasi.
”Masyarakat Mentawai bukanlah penumpang di negeri ini, bukanlah penumpang di Sumatera Barat. Kami adalah bagian dari Sumatera Barat,” kata Yosafat Saumanuk, Ketua Aliansi Mentawai Bersatu, saat berorasi, Selasa.
Aksi itu merupakan lanjutan dari polemik yang muncul dari disahkannya UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar pada 25 Juli lalu. Hal yang menjadi polemik dalam UU itu adalah Pasal 5 Huruf c.
Bunyi Pasal itu, yakni ”Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik, yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”.
Aliansi menilai, Pasal 5 Huruf c itu berdampak pada pengerdilan dan pengucilan terhadap budaya Mentawai yang ada dan eksis di Sumbar. Aliansi pun mempertanyakan niat DPR, terutama perwakilan Sumbar, dan Pemerintah yang seolah-olah menganggap Mentawai tidak ada di Sumbar.
Juru Bicara Aliansi Mentawai Bersatu Sabri Siritoet dalam aksi membacakan poin-poin tuntutan aliansi. Salah satu poinnya adalah meminta respons Gubernur Sumbar mengenai UU Provinsi Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar yang tidak mengakomodasi/mengakui budaya Mentawai.
”Kami juga meminta gubernur melalui kebijakannya memberikan pengakuan terhadap budaya masyarakat Mentawai agar masyarakat adat Mentawai bisa mempertahankan dan menjaga budaya dan hutan adat Mentawai,” kata Sabri.
Sabri juga menyampaikan, adanya penggerusan hutan masyarakat adat Mentawai, salah satunya izin persetujuan pemanfaatan kayu kegiatan nonkehutanan (PPKKNK) karena tidak adanya legalitas kepemilikan masyarakat adat.
Dalam aksi damai itu, aliansi meminta Gubernur Sumbar Mahyeldi menemui dan berdiskusi dengan mereka. Namun, gubernur urung menjumpai mereka karena sedang mendampingi Menteri Dalam Negeri yang sedang berkunjung ke Sumbar. Sementara itu, wakilnya, Audy Joinaldy, sedang ada acara di luar kota.
”Kalau mau bertemu, nanti kami jadwalkan. Gubernur akan cari waktu,” kata AH Arsland, Kepala Bidang Kewaspadaan Badan Kesbangpol Sumbar, seusai menjumpai Aliansi Mentawai Bersatu.
Arsland menyatakan, gubernur sangat merespons aspirasi dari masyarakat Kepulauan Mentawai. Pemprov bersama forum kewaspadaan dini masyarakat sedang membahas terkait polemik yang muncul akibat Pasal 5 huruf c dalam UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar itu.
”(Pemprov) tidak ada (diskriminasi). Itu masalah penegasan di dalam UU saja. Kita semua masyarakat Sumbar, termasuk Mentawai, bagian dari Sumbar,” ujar Arsland.
Yosafat berharap gubernur ataupun wakilnya bisa merespons aksi aliansi. Aliansi mengharapkan, ada penegasan di dalam UU yang mengakomodasi/mengakui keberadaan budaya masyarakat adat Mentawai. Mestinya semua masyarakat Sumbar diperlakukan setara, tidak memandang mayoritas dan minoritas.
”Kami berharap gubernur mau beraudiensi dan mendengarkan pernyataan sikap kami. Kami berharap gubernur merespons, langsung ke atas (pusat), dan membuat penegasan terhadap Mentawai terkait UU ini. Kami berharap pemprov bisa membantu kami,” kata Yosafat.
Sebelumnya, kata Yosafat, aliansi juga sudah berdialog dengan anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus. Guspardi mengatakan akan merespons tuntutan itu dengan mengusulkan legislative review ke DPR.
Ketua Ketua Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) Sumatera Barat Heronimus Eko Pintalius Zebua, yang juga bagian dari aliansi mengatakan, tidak disebutnya Mentawai di dalam Pasal 5 huruf c dalam UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar itu dikhawatirkan akan menghilangkan entitas masyarakat Mentawai.
”Bagaimana kami mau berekspresi terkait kebudayaan kami, kebudayaan Mentawai, jika kami tidak dianggap. Jadi, pertanyaan kami, ada apa dengan Provinsi Sumbar. Ada apa dengan DPR. Kenapa tidak mencatumkan kebudayaan Mentawai yang setara dengan kebudayaan Minangkabau karena sama-sama—dalam tanda kutip—pribumi dari segi kebudayaan,” kata Eko.
Formma Sumbar juga kecewa dengan Presiden Joko Widodo yang menandatangani UU tersebut. Padahal, sudah diakui, partisipasi publik UU itu kurang. ”Mungkin, patut diduga, masyarakat Mentawai tidak dilibatkan dalam proses penyusunan UU. Kami pun terkejut, tiba-tiba saja sudah jadi UU,” ujarnya.