Ratusan Warga di Mentawai Tolak Pembukaan Lahan oleh Koperasi Minyak Atsiri
Pembukaan lahan dan penebangan pohon di lahan seluas 1.500 hektar oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai menuai penolakan ratusan warga Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
PADANG, KOMPAS — Ratusan warga Desa Silabu di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menolak pembukaan lahan dan penebangan pohon oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai untuk perkebunan tanaman penghasil minyak atsiri di tanah ulayat mereka. Dinas Kehutanan Sumbar dituntut agar segera mencabut izin pemanfaatan kayu kegiatan nonkehutanan atau PKKNK milik koperasi.
Ritawarti Sakerebau (53), warga yang menolak, Sabtu (4/12/2021), mengatakan, ia terkejut saat tahu belasan hektar tanah ulayat kaumnya termasuk dalam 1.500 hektar lahan yang dibuka oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai di Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara. Padahal, ia tidak pernah setuju atau bersedia melepaskan lahan tersebut.
”Saya heran, kenapa tiba-tiba dokumen (PKKNK) ini bisa terbit? Padahal, masyarakat tidak sepakat untuk itu? Saya tidak pernah setuju. Ayah saya yang sudah meninggal juga dicaplok namanya,” kata Rita ketika dihubungi dari Padang, Sumbar, Sabtu siang.
Bagi Rita, tanah ulayat kaum beserta pepohonan yang berada di areal penggunaan lain (APL) merupakan aset keluarga. Pepohonan, seperti meranti, yang terdapat di sana merupakan tabungan, baik untuk kebutuhan rumah ataupun ekonomi anak-cucu di masa depan. Maka, ia tidak setuju dengan aktivitas koperasi.
Pengambilan kayu oleh koperasi sangat merugikan karena hanya dihargai Rp 25.000 per meter kubik (m3). Pembukaan perkebunan juga berpotensi menghilangkan hak masyarakat atas lahan itu. Sekarang juga sudah terjadi konflik sosial antara warga yang menolak dan setuju.
Baca juga: Polda Sumbar Periksa 14 Saksi Terkait Dugaan Korupsi di Kepulauan Mentawai
Belum lagi kemungkinan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari penebangan pohon, seperti kekeringan sungai yang merupakan sumber air masyarakat. ”Kami berharap izin koperasi dicabut. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana kampung kami bila aktivitas itu terus berlanjut,” ujar Rita.
Selain Rita, ada ratusan warga lainnya yang menolak pembukaan lahan dan penebangan pohon oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) Sumbar menyebut, berdasarkan surat penolakan yang ditembuskan warga ke forum, ada 150 warga yang menolak. ”Mereka tidak pernah menyerahkan lahan mereka kepada Koperasi Minyak Atsiri Mentawai,” kata Heronimus Eko Pintalius Zebua, Ketua Formma Sumbar.
Menurut Heronimus, koperasi sudah mulai membuka lahan dan menebang pohon sejak Oktober lalu. Itu dilakukan setelah terbitnya izin PKKNK Nomor 903/2330/PR.PH-2021 yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar.
Aktivitas koperasi itu, kata Heronimus, sangat merugikan warga, misalnya dari segi kompensasi produksi kayu. Berdasarkan analisis eknonomi di dalam dokumen rencana tebang PKKNK Koperasi Minyak Atsiri Mentawai, di lahan seluas 1.500 hektar itu, ada 70.733,35 m3 kelompok kayu meranti dan 7.859,26 m3 kelompok rimba campuran.
Atas produksi kayu tersebut, warga cuma mendapatkan ganti rugi Rp 25.000 per m3 kayu. Totalnya sekitar Rp 1,964 miliar, yaitu Rp 1,768 miliar dari 70.733,35 m3 kayu meranti dan Rp 196 juta dari 7.859,26 m3 kayu rimba campuran. Adapun total yang didapat koperasi dari penjualan kayu Rp 113,959 miliar dengan harga kayu meranti Rp 1,5 juta per m3 dan kayu rimba campuran Rp 1 juta per m3.
Koperasi yang berdiri sejak 2018 itu dinilai tidak menguntungkan masyarakat. Menurut Heronimus, selama koperasi berjalan, banyak warga yang menolak karena hasil minyak atsiri tidak menjanjikan.
”Jadi, sekarang kenapa dibuka kebun secara besar-besaran? Kami menduga, bukan minyak atsiri tujuan utama koperasi, melainkan pengambilan kayu secara besar-besaran di Desa Silabu dengan konsep penanaman serai wangi,” ujarnya.
Kami menduga, bukan minyak atsiri tujuan utama koperasi, melainkan pengambilan kayu secara besar-besaran di Desa Silabu dengan konsep penanaman serai wangi. (Heronimus Eko Pintalius Zebua)
Formma juga menduga ada malaadministrasi dalam proses pengajuan izin PKKNK. Berdasarkan pengakuan warga, kata Heronimus, identitas mereka disalahgunakan. ”Mereka diundang pada suatu acara, mengisi formulir tanda tangan. Tiba-tiba saja nama mereka sudah dicatut untuk menyerahkan lahan kepada koperasi minyak atsiri,” kata Heronimus.
Selain itu pemilik lahan juga berpotensi kehilangan hak atas tanah mereka. Apabila koperasi benar-benar membuka perkebunan minyak atsiri, akan ada pengurusan hak guna usaha (HGU) perkebunan. Dengan terbitnya HGU, tanah masyarakat akan beralih status menjadi tanah milik negara.
Oleh sebab itu, Formma menuntut Dinas Kehutanan Sumbar mencabut izin PKKNK Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Formma juga meminta DPRD Kepulauan Mentawai dan Bupati Kepulauan Mentawai menyurati dinas kehutanan agar mengkaji ulang izin PKKNK tersebut. Kepala Polres Kepulauan Mentawai juga diminta meredam konflik sosial yang terjadi di masyarakat.
”Biarkan masyarakat mengelola hutan dan lahan mereka sesuai kearifan lokal. Mereka bisa hidup dengan hutan mereka tanpa melakukan eksploitasi secara besar-besaran,” ujar Heronimus.
Secara terpisah, Direktur Yayasan Citra Mandiri Rifai, yang mendampingi masyarakat yang menolak, mengatakan, saat rapat pembentukan koperasi, koperasi membagikan bibit untuk ditanam masyarakat. Makanya, masyarakat bersedia menjadi anggota koperasi. Tidak ada pembicaraan penebangan kayu dan penyerahan lahan kepada koperasi.
”Namun, yang terjadi di lapangan, koperasi mengurus izin PKKNK. Soal pengurusan izin dan dokumen lainnya masyarakat tidak pernah tahu. Tiba-tiba terbit izin PKKNK. Makanya, masyarakat menolak,” kata Rifai.
Baca juga: Harum Harga Serai Wangi Mengecoh Petani Jambi
Menurut Rifai, izin PKKNK tidak berdiri sendiri karena terlebih dahulu harus ada izin usaha nonkehutanan. Perkebunan yang luasnya di atas 25 hektar, semestinya sudah harus diusahakan oleh badan usaha. Dengan lahan 1.500 hektar yang dikelola koperasi, mesti ada skema hak atas tanah. Karena koperasi tidak punya hak milik atas tanah, ada kekhawatiran menggunakan skema HGU, yang bisa mengalihkan tanah masyarakat ke negara.
Rifai melanjutkan, dengan adanya penolakan masyarakat, semestinya Dinas Kehutanan Sumbar mencabut izin PKKNK koperasi. Penolakan menandakan dinas tidak melakukan proses verifikasi dan penilaian yang benar terhadap proses pengusulan PKKNK oleh koperasi.
Salah satu syarat pengurusan izin PKKNK adalah surat keterangan lahan bebas konflik. Surat tersebut memang dipenuhi oleh koperasi. Walakin, dengan terjadinya penolakan, ada indikasi surat itu keliru atau tidak benar. Dinas kehutanan semestinya punya kesadaran sendiri untuk secara langsung melakukan pengecekan kekeliruan terhadap proses pengurusan PKKNK.
”Kalau ada syarat administratif yang salah, harusnya PKKNK dicabut, paling tidak direvisi. Penolakan ini mengonfirmasi, ternyata pernyataan tertulis yang pernah diberikan koperasi tidak benar. Begitu tahu itu, dinas kehutanan semestinya mencabutnya atau merevisi. Dinas turun ke lapangan, tanya kepada masyarakat yang berkonflik. Keluarkan lahan masyarakat tidak setuju dari PKKNK itu,” ujarnya.
Kata Rifai, jika ingin mengembangkan tanaman penghasil minyak atsiri, seperti serai wangi, koperasi semestinya tidak harus punya kebun. Koperasi bisa memberdayakan masyarakat dengan memberikan bibit untuk ditanam di kebun masing-masing. Hasil panen masyarakat kemudian ditampung dan diolah koperasi.
Terkait kecurigaan bahwa koperasi hanya ingin memanen kayu, Rifai menyebut itu mungkin saja terjadi. Sebab, beberapa tahun lalu pernah terjadi beberapa kali, pemda mengeluarkan izin pemanfaatan kayu (IPK) tanpa adanya izin perkebunan sebelumnya. Pemegang IPK menebang pohon hingga ke luar konsesi, tetapi setelah kayu habis, lahan tidak pernah dijadikan kebun.
Ada kayu
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi Usama Putra mengatakan, dinas menerbitkan izin PKKNK karena seluruh persyaratan, seperti izin usaha perkebunan (IUP) dan izin lingkungan, sudah diterbitkan Pemkab Kepulauan Mentawai. Selain itu, surat keterangan bebas konflik juga sudah dipenuhi pemohon.
”Karena di lokasi usaha perkebunan ada kayu, ada hak negara di dalamnya, makanya perlu diterbitkan PKKNK. Apabila IUP tidak ada kayu di dalamnya, tidak perlu PKKNK karena tidak ada hak negara di sana. Artinya, ini akibat ada IUP di APL yang di dalamnya ada kayu. Dinas kehutanan hanya mengeluarkan itu karena sudah ada IUP, izin lingkungan, sosial, dan lainnya,” kata Yozarwardi.
Terkait surat keterangan bebas konflik, kata Yozarwardi, tim terpadu dari berbagai dinas sudah turun ke lapangan untuk mengonfirmasi sebelum diterbitkan PKKNK. Jika pun belakangan ada penolakan, dinas masih mencermatinya dan pihak koperasi meyakinkan bahwa mereka terus melakukan sosialisasi. Walakin, tidak mungkin proses panjang perizinan itu dicabut gara-gara penolakan itu.
Ditambahkan Yozarwardi, penolakan tersebut merupakan hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Ia akan terus mengamati perkembangannya ke depan. Dinas melakukan verifikasi dan klarifikasi ke berbagai pihak, termasuk kepada pemohon, pemkab, dan masyarakat lokal.
”Intinya, kegiatan (koperasi) ini tentu ada dampak. Makanya, mereka sudah ada izin lingkungan. Tinggal dilihat dokumen amdalnya ada atau tidak. Saya rasa komunikasi multipihak harus dijalankan. Mungkin saja komunikasinya tidak terjalin,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengatakan, ia sudah berkoordinasi dengan Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi. Namun, Yudas menegaskan, pemkab tidak pernah memberikan izin pemanfaatan kayu (IPK), tetapi hanya IUP tanaman penghasil minyak atsiri.
”Saya tidak tahu bagaimana teman-teman di provinsi menerjemahkannya. Izin yang kami berikan bukan IPK, melainkan untuk kebun atsiri. Itu kan (koperasi yang dikelola) mantan bupati (Kepulauan Mentawai). Izin perkebunan atsiri itu betul untuk ekonomi kerakyatan,” kata Yudas.
Menurut Yudas, adanya masyarakat yang menolak, itu persoalan sosial dan hukum. Yudas mengaku belum mendapat surat resmi dari masyarakat. ”Kalau ada surat resminya, saya akan koordinasi dengan instansi vertikal, seperti apa jalan keluarnya,” ujar Yudas.
Adapun Manajer Koperasi Minyak Atsiri Mentawai Tarminta mengatakan, koperasi sudah mengurus semua perizinan sesuai prosedur yang berlaku. Ia membantah adanya upaya penyalahgunaan identitas masyarakat. Koperasi juga tidak pernah mengambil alih lahan masyarakat.
Tarminta menjelaskan, koperasi sebenarnya tidak bermaksud mengurus kayu-kayu tersebut, tetapi hanya IUP untuk kebun serai wangi, nilam, masohi, kayu putih, dan kayu manis Sri Lanka. Namun, karena di areal IUP ada kayu produktif yang bisa memberikan pendapatan kepada negara, Dinas Kehutanan Sumbar menyarankan koperasi mengurus izin PKKNK. ”Keluarlah izin itu oleh Dishut Provinsi. Jadi, semua sudah ada izinnya,” katanya.
Menurut Tarminta, perkebunan itu sebenarnya dibangun oleh semua anggota koperasi. Pengurusan IUP berdasarkan dokumen para anggota koperasi. Tidak ada istilah penyerahan lahan pada koperasi, yang ada hanya istilah persetujuan anggota koperasi untuk membangun perkebunan.
”Kalau ada yang bilang tidak pernah ada penyerahan, memang tidak ada penyerahan. Tidak mengenal istilah penyerahan karena yang membangun perkebunan itu sesungguhnya adalah anggota Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Maka, seluruh data anggota menjadi dokumen untuk pengurusan IUP ketika koperasi sudah berdiri,” ujarnya.
Tarminta turut membantah koperasi hanya ingin memanen kayu. Menurut dia, harga kompensasi kayu untuk masyarakat Rp 35.000 per m3. Adapun harga Rp 1 juta-1,5 juta adalah harga kayu usai diolah oleh perusahan kontraktor, sudah termasuk biaya modal dan pajak. Keuntungan koperasi atas pengolahan kayu juga akan dinikmati anggota koperasi.
”Tudingan koperasi akan mengurus HGU juga terlalu naif, jangan mengelabui masyarakat. Tidak mudah mengurus HGU. Tidak bisa berubah juga IUP koperasi menjadi HGU. Lahan 1.500 hektar itu luas areal yang diplot, tidak semua efektif dibangun. Menurut perhitungan kami, cuma maksimal cuma 60 persen yang efektif karena ada jurang, bebatuan, lereng terjal, dan lainnya,” ujar Tarminta.
Menurut Tarminta, perkebunan penghasil minyak atsiri yang dikelola koperasi akan berdampak positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Adanya perkebunan akan membuka akses jalan ke perkebunan masyarakat sehingga menggerakkan perekonomian. Serapan lapangan kerja juga terbuka bila perkebunan itu terwujud. Rantai pemasaran produk juga dipangkas dengan adanya koperasi ini.