Hak Kekayaan Intelektual Membawa Harapan Sejahtera Perajin Batik Nitik
Batik nitik asal Kabupaten Bantul memperoleh hak kekayaan intelektual berupa Indikasi Geografis. Selain memberi perlindungan, hak kekayaan intelektual itu diharapkan bisa mendongkrak kesejahteraan perajin batik nitik.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pegiat Kelompok Batik Nitik Blawong menggarap kain batik nitik di Dusun Blawong II, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (12/8/2022).
Dua perempuan asyik membatik di sebuah rumah di Dusun Blawong II, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Bantul, Jumat (12/8/2022) siang. Tangan kanan memegang canting, sementara di tangan kiri terdapat selembar kain putih yang sebagian telah terisi motif batik.
Dengan berhati-hati, keduanya membubuhkan titik-titik ke atas kain yang mereka pegang. Titik-titik yang ditambahkan satu per satu itu kemudian membentuk motif batik indah. Batik yang motifnya dibuat dengan cara membubuhkan titik-titik ke kain itu dikenal dengan nama batik nitik.
”Membuat batik nitik itu butuh waktu lebih lama karena kita mesti membuat titik satu per satu. Garis lurus saja harus dibuat dari titik satu-satu. Jadi, ya harus sabar,” kata Dwi Indah Biwanti (43), salah seorang perempuan yang sedang membatik.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pegiat Kelompok Batik Nitik Blawong menggarap kain batik nitik di Dusun Blawong II, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (12/8/2022).
Indah merupakan Wakil Ketua Kelompok Batik Nitik Blawong yang beranggotakan 24 pembatik di Dusun Blawong II. Kelompok yang terbentuk tahun 2017 itu merupakan satu dari empat kelompok batik nitik di Desa Trimulyo. Selama ini, Trimulyo memang dikenal sebagai sentra batik nitik karena banyak warga desa itu yang membuat batik nitik secara turun-temurun.
Batik nitik sering disebut sebagai salah satu batik tertua di Yogyakarta. Mengacu pada informasi di situs resmi Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), batik nitik berkembang pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono VII, Raja Keraton Yogyakarta yang memerintah tahun 1877-1921.
Berdasar informasi di situs Warisan Budaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada masa kolonial Hindia Belanda, batik nitik awalnya dikembangkan dengan motif menyerupai kain patola.
Saat itu, pemerintah kolonial Belanda memonopoli impor kain patola sehingga harganya naik berlipat. Oleh karena itu, sejumlah pihak kemudian membuat batik nitik dengan motif patola sebagai pengganti kain patola.
Indah menuturkan, batik nitik memiliki sejumlah karakter khas yang berbeda dengan batik tulis lain. Selain cara pembuatan motifnya yang berbeda, canting yang digunakan untuk membuat batik nitik juga berbeda. Ujung canting untuk membuat batik nitik harus dibelah empat sehingga titik yang dibuat di atas kain menjadi berbentuk kotak, bukan bulat.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Pengurus Kelompok Batik Sekar Nitik menunjukkan kain batik nitik yang telah selesai dikerjakan, Jumat (12/8/2022), di Dusun Kembangsongo, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Batik nitik merupakan batik yang motifnya dibuat dengan cara membubuhkan titik-titik ke kain.
Selain itu, pembuatan batik nitik juga tidak didahului dengan membuat pola. Pembatik biasanya hanya membuat garis kotak-kotak di atas kain yang akan dibatik. ”Kalau mau buat batik nitik itu kami enggak bikin pola dulu. Kami hanya buat garis kotak-kotak untuk membantu,” ujar Indah.
Menurut Indah, para anggota Kelompok Batik Nitik Blawong membutuhkan waktu dua minggu hingga satu bulan untuk menyelesaikan satu karya batik nitik. Harga jual karya batik nitik bervariasi, Rp 800.000 hingga Rp 2 juta. ”Harga batik nitik tergantung dari kerumitan motifnya,” ujarnya.
Membuat batik nitik itu butuh waktu lebih lama karena kita mesti membuat titik satu per satu. Garis lurus saja harus dibuat dari titik satu-satu.
Indikasi Geografis
Karena memiliki sejumlah keunikan, batik nitik memperoleh hak kekayaan intelektual (HKI) berupa Indikasi Geografis dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 2020.
Indikasi Geografis merupakan tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang atau produk yang memiliki reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu karena faktor lingkungan geografis. Faktor lingkungan geografis itu berupa faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi keduanya.
Kain batik nitik dengan kode penanda khusus karya Kelompok Batik Nitik Blawong yang dibuat di Dusun Blawong II, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (12/8/2022).
Pengajuan batik nitik untuk mendapat HKI berupa Indikasi Geografis itu dilakukan oleh Paguyuban Batik Tulis Nitik DIY pada 2019. Sebelum melakukan pengajuan, paguyuban itu melakukan riset lebih dulu mengenai sejarah dan kekhasan batik nitik.
Ketua Paguyuban Batik Tulis Nitik DIY Afif Syakur mengatakan, pemberian HKI berupa Indikasi Geografis itu membuat batik nitik makin dikenal dan nilainya meningkat. Keberadaan HKI juga memberi perlindungan terhadap batik nitik. ”Jadi, negara lain atau daerah lain tidak bisa mengklaim batik nitik,” katanya.
Indah menyebut, setelah batik nitik mendapat Indikasi Geografis, jumlah pesanan yang diterima Kelompok Batik Nitik Blawong meningkat 20-25 persen. Hal ini karena pemberian Indikasi Geografis itu membuat batik nitik menjadi lebih dikenal sehingga lebih banyak orang yang tertarik untuk memakai atau mengoleksi batik tersebut.
Selain itu, pada Maret 2022, seorang pembatik dari Kelompok Batik Nitik Blawong juga difasilitasi DJKI Kemenkumham untuk hadir langsung dalam pameran Expo 2020 Dubai di Uni Emirat Arab. Dalam pameran itu, sang pembatik diminta memperagakan cara membuat batik nitik agar batik tersebut makin dikenal di dunia internasional.
”Ke depan, kami berharap, pemberian Indikasi Geografis itu bisa lebih meningkatkan perekonomian perajin batik nitik,” kata Indah.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Pengurus Kelompok Batik Sekar Nitik menunjukkan kain batik nitik yang telah selesai dikerjakan, Jumat (12/8/2022), di Dusun Kembangsongo, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Peningkatan pesanan juga dirasakan oleh Kelompok Batik Sekar Nitik di Dusun Kembangsongo, Desa Trimulyo. Pengurus Kelompok Batik Sekar Nitik, Rusli Hidayat (35), mengatakan, setelah batik nitik mendapat Indikasi Geografis, pesanan yang diterima kelompok itu meningkat sekitar 40 persen.
Namun, meningkatnya permintaan itu belum diikuti dengan bertambahnya jumlah pembatik. Hingga sekarang, jumlah pembatik di Kelompok Batik Sekar Nitik hanya sekitar 20 orang. Rata-rata dari mereka sudah berusia tua. ”Karena banyak yang pesan, kadang kami kesulitan cari pembatik. Regenerasi pembatik juga susah,” kata Rusli.
Wakil Ketua Kelompok Batik Sekar Nitik Aminah (50) mengatakan, selama ini, kebanyakan anggota kelompok tersebut mengerjakan pesanan batik dari juragan atau pemilik toko. Setelah jadi, batik tersebut akan dijual oleh juragan atau pemilik toko. Pola kerja itu terbentuk karena sebagian besar pembatik masih kesulitan jika harus menjual sendiri karya batik mereka.
”Pembatik di sini jarang yang bikin batik di luar pesanan karena tidak pasti lakunya kapan,” ungkap Aminah. Padahal, jika para pembatik itu mampu menjual sendiri karya batiknya, pendapatan yang mereka peroleh tentu lebih besar.
”Semoga setelah batik nitik mendapat Indikasi Geografis, para pembatik di sini bisa menjual sendiri karyanya dan menerima pesanan dari pembeli langsung tanpa harus melalui perantara,” ujar Aminah.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pegiat Kelompok Batik Nitik Blawong meniup canting saat menggarap kain batik nitik di Dusun Blawong II, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (12/8/2022).
Pendamping kelompok batik nitik di Desa Trimulyo, Erwin Yuniati, mengatakan, jumlah perajin batik nitik di Desa Trimulyo saat ini sekitar 120 orang. Dia juga meyakini, pemberian HKI berupa Indikasi Geografis akan meningkatkan kesejahteraan para pembatik. Sebab, setelah adanya HKI, batik nitik akan makin dikenal dan diminati.
”Dengan adanya Indikasi Geografis, orang banyak nyari batik nitik ke Trimulyo karena di situ sentra batik nitik. Ini jelas meningkatkan perekonomian,” tutur perempuan yang juga pemilik usaha Bahana Batik itu.
Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kemenkumham DIY Elistya Dewi mengatakan, batik nitik memperoleh HKI berupa Indikasi Geografis karena memiliki karakter khas yang berbeda dengan batik dari wilayah lain. ”Indikasi Geografis itu, kan, memang berkait dengan ciri khas dari wilayah tertentu yang tidak bisa ditiru oleh wilayah lainnya,” katanya.
Elistya menambahkan, pemberian HKI berupa Indikasi Geografis memberi banyak manfaat. Salah satunya mendorong batik nitik agar bisa masuk ke perdagangan internasional. ”Indikasi Geografis memang tujuannya untuk mengangkat perekonomian masyarakat setempat, termasuk supaya bisa masuk ke dunia perdagangan internasional. Di dunia internasional itu, kan, sangat memperhatikan legalitas dan keaslian,” tuturnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, sertifikasi HKI menjadi salah satu program prioritasnya. ”Kemenkumham tidak hanya mengurus pasal-pasal atau narapidana, tetapi juga punya program peningkatan perekonomian rakyat lewat sertifikasi HKI,” ucapnya.
Selain pada batik nitik, manfaat sertifikasi HKI, antara lain, juga dirasakan kain endek di Bali. Seperti halnya batik nitik, kain endek juga mendapat sertifikasi HKI Indikasi Geografis. ”Produk fashion di Perancis memakai kain ini dalam Paris Fashion Week sehingga harganya melonjak mahal,” kata Yasonna.
”Hal serupa terjadi pada 10 produk kopi di Sumatera Utara yang mendapat HKI Indikasi Geografis. Jadi, sertifikasi HKI ini bermanfaat untuk perlindungan hak moral, fungsi ekonomi, dan perlindungan hukum,” tambahnya.