Terdampak Pandemi, Perajin Batik di DIY Berjuang untuk Bangkit
Pandemi Covid-19 membuat penghasilan para perajin batik di Daerah Istimewa Yogyakarta menurun drastis. Namun, para perajin itu tidak menyerah dan terus berjuang untuk bangkit dan menggerakkan kembali usahanya.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Seorang pembatik menunjukkan kain batik yang dibuat dengan pewarna alam, Rabu (18/8/2021), di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Kampung Batik Giriloyo, terdapat 540 pembatik yang tergabung ke dalam 12 kelompok.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menghadirkan dampak besar bagi para perajin batik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat pandemi, penghasilan pembatik di sejumlah wilayah DIY menurun drastis. Namun, mereka tidak menyerah dan terus berjuang untuk bangkit dan menggerakkan kembali usahanya.
Dampak pandemi itu, antara lain, dirasakan oleh para pembatik di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Di kampung batik tersebut, terdapat 540 pembatik yang tergabung ke dalam 12 kelompok. Mereka berasal dari tiga dusun di Desa Wukirsari, yakni Dusun Giriloyo, Cengkehan, dan Karang Kulon.
Ketua II Paguyuban Batik Giriloyo, Nur Ahmadi (43), mengatakan, selama pandemi Covid-19, pendapatan para pembatik di Kampung Batik Giriloyo menurun sekitar 85 persen. Penurunan yang signifikan itu terjadi karena jumlah wisatawan yang datang ke Kampung Batik Giriloyo merosot signifikan akibat pandemi.
Padahal, penjualan batik di Giriloyo sangat bergantung pada kunjungan wisatawan yang datang ke kampung batik tersebut. ”Dampak pandemi ini sangat besar. Kami mengalami penurunan pendapatan sekitar 85 persen,” ujar Nur saat dihubungi, Sabtu (2/10/2021) atau bertepatan dengan peringatan Hari Batik Nasional.
Tulisan penanda di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (18/8/2021).
Menurut Nur, sejak adanya pandemi Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020, Kampung Batik Giriloyo sempat tutup selama beberapa bulan sehingga tak menerima kunjungan wisatawan sama sekali. Pada pertengahan tahun 2020, Kampung Batik Giriloyo sempat buka kembali dan menerima wisatawan dengan protokol kesehatan ketat.
Sebelum pandemi, peminat paket belajar membatik itu lumayan. Kadang sekali datang bisa 200 sampai 300 orang. (Nur Ahmadi)
Akan tetapi, saat itu, jumlah wisatawan yang datang ke Kampung Batik Giriloyo mengalami penurunan signifikan jika dibanding sebelum pandemi Covid-19. ”Sebelum pandemi, pengunjung yang datang bisa mencapai 1.500 orang sebulan. Sekarang enggak sampai 500 orang dalam periode sama,” tutur Nur.
Selain membeli batik, wisatawan yang datang ke Kampung Batik Giriloyo biasanya juga mengikuti kegiatan belajar membatik. Untuk mengikuti kegiatan tersebut, wisatawan biasanya membayar Rp 50.000 per orang. Oleh karena itu, kegiatan belajar membatik tersebut juga memberi pemasukan tambahan bagi para pembatik di Kampung Batik Giriloyo.
”Sebelum pandemi, peminat paket belajar membatik itu lumayan. Kadang sekali datang bisa 200 sampai 300 orang,” kata Nur. Namun, setelah jumlah wisatawan berkurang drastis akibat pandemi, pendapatan dari kegiatan belajar membatik itu juga menurun secara signifikan.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Pengendara sepeda motor melintas di depan tempat usaha batik di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (18/8/2021).
Nur menuturkan, untuk menyiasati penurunan pendapatan akibat pandemi, sejumlah perajin batik di Giriloyo berupaya menambah pendapatan dari pekerjaan lain, misalnya bertani dan berjualan makanan. Meski begitu, mereka tidak benar-benar meninggalkan pekerjaan sebagai pembatik. Hal ini karena aktivitas membatik sudah dijalankan turun-temurun oleh masyarakat Giriloyo.
Bahkan, aktivitas membatik di wilayah Giriloyo diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 saat Kerajaan Mataram Islam membangun kompleks makam di wilayah Imogiri. Saat itu, banyak abdi dalem Kerajaan Mataram Islam yang berinteraksi dengan masyarakat Giriloyo. Dari interaksi itu, masyarakat Giriloyo lalu belajar membatik dari para abdi dalem.
Oleh karena itu, meski pendapatan dari membatik menurun drastis akibat pandemi, para pembatik di Giriloyo tak pernah meninggalkan aktivitas membatik. Bahkan, saat ini, para pembatik di Kampung Batik Giriloyo sedang berjuang agar bisa menerima kunjungan wisatawan lagi setelah beberapa bulan terakhir tutup.
Menurut Nur, pengurus Kampung Batik Giriloyo telah menyiapkan berbagai perlengkapan untuk menjalankan protokol kesehatan saat aktivitas wisata dibuka kembali. Beberapa perlengkapan, misalnya tempat cuci tangan dan alat pengukur suhu, sudah siap digunakan. ”Seluruh pengelola Kampung Batik Giriloyo juga sudah mengikuti vaksinasi,” tuturnya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Batik tulis dipajang di galeri Batik Sungsang, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (14/7/2020). Galeri batik ini berada dalam area Kampung Batik Giriloyo.
Selain itu, pengurus Kampung Batik Giriloyo telah mendaftar untuk mendapatkan Sertifikat Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability (CHSE). Sertifikat itu dikeluarkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk memastikan penerapan protokol dalam aspek kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan di tempat wisata.
Nur menambahkan, pengurus Kampung Batik Giriloyo juga telah mengajukan ke pemerintah untuk mendapat QR Code aplikasi PeduliLindungi. Sebab, sesuai aturan pemerintah, destinasi wisata yang ingin beroperasi kembali harus menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk melakukan skrining terhadap wisatawan dan pegawainya.
Menurut Nur, jika sudah mendapat Sertifikat CHSE dan QR Code, Kampung Batik Giriloyo siap menerima kunjungan wisatawan lagi. Pembukaan kembali kampung batik itu diharapkan bisa meningkatkan pendapatan para pembatik di Giriloyo. ”Kalau wisata sudah dibuka kembali, kami berharap bisa segera bangkit,” ungkapnya.
Penjualan daring
Pandemi Covid-19 juga berdampak kepada sejumlah usaha batik di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Selama ini, Kecamatan Lendah dikenal sebagai salah satu sentra batik di DIY karena di wilayah tersebut terdapat sejumlah usaha batik yang mempekerjakan warga setempat sebagai perajin batik.
KOMPAS/FERGANATA INDRIA RIATMOKO
Pembatik menyelesaikan batik di industri batik Farras, Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (8/11/2016).
Pemilik usaha Sembung Batik di Lendah, Sogirin (51), menuturkan, pada masa awal pandemi Covid-19, pendapatan usaha batik tersebut sempat menurun sekitar 60 persen jika dibandingkan pendapatan sebelum pandemi. Namun, seiring berjalannya waktu, penjualan produk Sembung Batik kembali meningkat.
”Waktu pertama virus korona masuk, ya turun sekitar 60 persen. Tapi sekarang sudah naik meski belum sepenuhnya seperti sebelum ada korona. Sekarang pendapatannya sekitar 85 persen dari pendapatan sebelum korona,” kata Sogirin saat dihubungi, Sabtu siang.
Meski mengalami penurunan pendapatan karena pandemi Covid-19, Sogirin tak menyerah. Untuk menyiasati penurunan pendapatan karena pandemi, Sogirin mencoba memasarkan produk batiknya secara online atau daring. Bahkan, Sogirin merekrut lima pekerja yang khusus mengurus pemasaran daring produk-produk Sembung Batik.
”Jadi, di era pandemi ini, saya malah menambah tenaga kerja yang khusus mengurus pemasaran online. Sebelum pandemi, kan, pemasaran online tidak saya garap,” tutur Sogirin.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja memberi motif warna pada batik yang dibuat di tempat usaha Sembung Batik di Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (10/1/2014).
Menurut Sogirin, pemasaran secara daring itu, di antaranya, dilakukan melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram. Dia menyebut, pemasaran daring itu cukup berhasil meningkatkan penjualan produk Sembung Batik selama pandemi Covid-19.
”Sebelum korona itu, kan, yang menjadi tulang punggung penjualan itu, kan, galeri atau toko. Sekarang kebalikannya, yang jadi tulang punggung malah dari online,” ungkap Sogirin.
Selain meningkatkan penjualan, pemasaran secara daring itu juga membuat beberapa orang dari luar kota datang ke Sembung Batik untuk belajar membatik. ”Dari luar DIY ada yang belajar membatik di sini, misalnya dari Jombang, Trenggalek, dan Riau. Itu juga semua dari online,” tutur Sogirin.
Di era pandemi ini, saya malah menambah tenaga kerja yang khusus mengurus pemasaran online. Sebelum pandemi, kan, pemasaran online tidak saya garap. (Sogirin)
Sogirin menambahkan, saat ini, kebanyakan produk Sembung Batik yang laku adalah batik-batik dengan motif kontemporer. Batik dengan motif kontemporer itu biasanya dibuat dengan gabungan beberapa teknik, misalnya batik tulis, batik cap, dan goresan batik yang bersifat abstrak.
”Kontemporer itu ada batik tulisnya, ada batik capnya, ada goresan abstraknya. Jadi campur-campur. Peminatnya anak-anak muda. Yang pesan lewat online ini, kan, kebanyakan anak muda,” katanya.