Batik, Pusaka Bangsa Setia Jaga Pertemanan Antarbangsa
Batik menembus ruang dan waktu menjadi jembatan pertemanan manusia-manusia di dunia. Pusaka bangsa ini terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja.
Masih dari setitik malam atau lilin yang dibubuhkan pada selembar kain, ragam motif batik terus menjaga pertemanan manusia-manusia di dunia. Lebih dari sekadar wastra sederhana, batik menembus batas diplomasi tanpa batasan.
Unggahan Instagram @ridwan kamil milik Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada Selasa (25/5/2021) memberi kejutan. Di sana terpampang tangkapan layar foto akun Instagram milik @xxteukxx dan @yesung1106. Ada gambar model menggunakan busana batik. Unggahan milik Kamil disukai 305.503 akun hingga Jumat (28/5) siang.
”’You are now officially ready for pergi kondangan or ikut pilkada’ in Indonesia,” kata Kamil merujuk dua momen khas Indonesia, ketika banyak orang yang ikut serta di dalamnya kerap menggunakan batik.
Unggahan itu punya pesan tidak sederhana. Akun @xxteukxx adalah milik Leeteuk dan @yesung1106 milik Yesung. Keduanya adalah personel Super Junior, boy band tenar asal Korea Selatan.
Batik yang dikenakan keduanya juga hasil rancangan Kamil sendiri yang dibuat Rumah Batik Komar, galeri batik ternama milik Komarudin Kudiya di Kota Bandung. Kamil mengatakan, batik itu bermotif garuda kujang kancana dengan kombinasi mega mendung dan kawung di bagian tengah dan bawah.
Menurut Kamil, awalnya kain batik itu diberikan bagi Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Park Tae-sung yang datang ke Bandung Maret 2021. Dubes Korsel itu sempat meminta izin akan memberikan kain itu untuk artis K-pop. Namun, dia tidak menyangka bahwa kain itu akan dibuat menjadi jas dan dipakai personel Super Junior. Kamil mengatakan, itu menjadi bukti kekuatan batik yang terus mempererat diplomasi budaya antarbangsa.
”Ternyata orang Korea mah pakai batiknya berbeda dengan kita. Kemeja batik ditambahi lagi jas batik dan keren. Saya pun akan mencoba menirunya,” kata Kamil.
Unggahan itu sedikit banyak kembali mengingatkan nama besar batik. Pusaka dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangs (UNESCO) tahun 2009 itu bukan hanya sekadar lini usaha mikro kecil menengah. Lebih dari busana, batik piawai menjadi simbol diplomasi umat manusia dengan beragam kreasinya, dari dulu hingga kini.
Baca juga : Pelestarian Batik Tidak Boleh Putus
Diplomasi daerah
Dalam buku Kisah Goresan Malam, Selisik Batik Harian Kompas, masyarakat Priangan diperkirakan sudah mengenal ragam hias batik sejak abad ke-12. Hal itu tertulis dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian, naskah kuno berisi pandangan dan tata cara hidup masyarakat Sunda.
Kala itu, di Kerajaan Sunda terdapat batik motif kembang muncang, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, boeh siang, surat awi, ragen panganten, hingga boeh alus. Warna-warna yang digunakan kuning dan coklat tanah, serta biru dari pohon tarum. Keruntuhan Kerajaan Sunda tahun 1579 membuat motif-motif tersebut minim disebut lagi.
Berjalan waktu, batik di Jabar tidak bisa lepas dari pengaruh pendatang asal Jawa Tengah. Dalam buku Dancing Peacock, Colours and Motifs of Priangan Batik, yang ditulis Didit Pradito, Herman Jusuf, dan Saftiyaningsih Ken Atik, disebut batik berkembang di Priangan sejak Mataram berkuasa di Jawa. Priangan pernah menjadi pusat pemasok logistik angkatan perang Mataram melawan VOC.
Guru besar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Nina Herlina, mengungkapkan pendapat lain. Ia mengatakan, keberadaan batik di Priangan tidak lepas dari peran prajurit Pangeran Diponegoro. Kalah perang dalam perang melawan kolonial Belanda sekitar tahun 1830, para prajurit melarikan diri ke sejumlah daerah di Jabar, seperti Tasikmalaya hingga Cirebon.
Kolonial Belanda mengendus rencana itu. Tidak ingin kecolongan, mereka meminta para bupati setempat mencegahnya. Para prajurit tidak kalah cerdik. Tahu sedang dicari, mereka menanggalkan atribut keprajuritan.
Ragam keahlian yang sudah dimiliki sebagian dari mereka, sebelum perang menyelamatkan nyawa. Erat menjadi bentuk diplomasi damai, mereka berbaur dengan warga setempat menjadi pedagang, petani, dan pebatik.
Ragam keahlian yang sudah dimiliki sebagian dari mereka, sebelum perang menyelamatkan nyawa. Erat menjadi bentuk diplomasi damai, mereka berbaur dengan warga setempat menjadi pedagang, petani, dan pebatik.
Pengaruh itu, misalnya, berperan besar memunculkan motif batik sukaraja di Tasikmalaya yang mirip batik Jawa Tengah. Beberapa motif terkenal antara lain belah ketupat, lancah sawat ungu, merak ngibing, sisit naga, hingga rereng sintung.
Ciri khasnya, warna terang tetapi tenang. Warna ungu, merah bata, biru, soga, hingga hijau muda menjadi pilihan utama. Perpaduan budaya itu berjalan dengan baik. Batik menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat hingga sekarang.
Baca juga : Rumah Sejarah bagi Sekelebat Batik Cirebon
Bertemu pembesar Belanda
Nina Lubis dalam buku Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 menyebut, awalnya batik menjadi busana para bangsawan atau menak. Di awal abad ke-19, perempuan menak Sunda biasa menggunakan batik motif sawud dasar muslim buatan Sukapura Pegunungan. Modelnya berpotongan delapan dan disambung kain mori putih.
Lelaki menak juga menggunakan batik untuk bahan destar (ikat kepala). Motifnya beragam, mulai dari sawunggaling hitam, soga gunawijaya, gambir saketi, hingga modang merah bagai pelangi dengan dasar kuning terang.
Pertengahan hingga akhir abad ke-19, batik tetap menemani busana menak Priangan. Batik biasanya menjadi hiasan di pinggang bersama keris kebesaran dan lazim digunakan saat bertemu pembesar Belanda dalam beragam acara resmi.
Mengutip Ardiwinata, Nina mengatakan, batik juga masuk dalam bagian kostum resmi para menak yang disebut jajawaan. Di samping harus menggunakan tutup kepala, jas, kemeja, sabuk, keris, dan selop, menak harus mengenakan kain panjang bermotif batik. Khusus bagi menak kelas atas, motif yang digunakan seperti kawung besar dan kawung ece serta beragam motif parang.
Seiring waktu, batik mulai dikenal luas. Seperti ikut arus dengan bangkitnya gairah dunia pasca-Perang Dunia I, sentra kerajinan batik banyak muncul di sejumlah daerah di Jabar, seperti Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, hingga Indramayu. Aturan ketat penggunaan batik mulai longgar. Batik bisa digunakan siapa saja tanpa memandang status.
Akan tetapi, telah menjadi milik semua orang, batik masih sulit dipisahkan dari citra sandang yang resmi. Lebih banyak digunakan untuk pembuatan baju berbahan kain dan berkerah, batik identik baju kepala daerah hingga undangan resmi. Sisi baiknya, batik terus punya pelanggan. Namun, dampaknya, batik sulit melepaskan diri dari kesan baju-nya ”orang tua”.
Baca juga : Bu Giok, Setia Membatik Keberagaman di Cirebon
Milik dunia
Tidak ingin terjebak dalam aura penuh kekauan, citra itu coba dilawan banyak perajin dan pengusaha batik. Komarudin Kudiya adalah salah satu di antaranya. Dia gemar berinovasi.
Lahir dari keluarga pebatik di Trusmi, sentra batik Cirebon, Komar melengkapi dirinya dengan pengetahuan ilmiah lewat program Strata 2 Magister Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Hasilnya, sejumlah bentuk baru dalam batik yang lebih anyar dan bisa dinikmati banyak kalangan di berbagai penjuru dunia.
Dia pernah mencatatkan namanya dalam Museum Rekor-Dunia Indonesia dan Guinness World Records setelah mendesain dan memproduksi batik sepanjang 446,6 meter dengan 402 motif dan 112 kombinasi warna tahun 2005.
Beberapa di antaranya, pembuatan kain batik menggunakan kombinasi kain sutra dan serat bambu dengan variasi tenun songket. Komar pernah berkolaborasi dengan Pixel People Project membuat batik fraktal. Batik ini menggunakan perangkat lunak dalam pembuatan motifnya. Dia kini tengah mengembangkan shibotik, perpaduan teknik batik dengan shibori dari Jepang.
Untuk menanamkan cinta pada batik, Komar juga getol memberi pelatihan di galeri batik milik Komarudin di Cigadung, Kota Bandung. Materinya mulai dari membuat desain, alat-alat membatik seperti cap tembaga, proses pembuatan batik cap dan batik tulis, hingga proses penjualan batik.
Selain dari Pulau Jawa, siswa, antara lain, berasal dari Banda Aceh, Deli Serdang, Pekanbaru, Jambi, Solok, Polewali Mandar, Lombok, Flores, hingga Jayapura. Dia mengklaim ikut melatih ribuan siswa mengenal batik lebih dalam.
Tidak hanya itu, dia juga menerapkan sistem registrasi, dokumentasi di setiap produk batik buatannya. ”Tujuannya, menjaga hak cipta, keaslian produk batik, dan daya jual batik,” ujar Komar.
Baca juga : Terus Membatik di Tengah Hantaman Pandemi
Saat pandemi Covid-19 datang, Komar enggan menyerah. Dia mengatakan, inovasi menjadi benteng ekonomi bagi 250 orang yang hidup dari Batik Komar. Dia lantas menyikapinya lewat pameran batik virtual di sanggarnya. Di edisi perdana, 24-30 April 2020, misalnya, Komar memanggungkan batik mega mendung khas Cirebon.
Ratusan kain beragam corak dan warna dipamerkan. Ada yang digantung dalam pajangan khusus. Sebagian berupa baju yang diperagakan manekin. Suasananya mirip pameran konvensional minus penonton. Kali ini, penikmat batik hanya menikmatinya melalui Instagram, Facebook, hingga grup Whatsapp. Dengan ini, Komar masih bisa terus menjaga relasi dan hubungan baiknya dengan peminat batik dari dalam dan luar negeri meski pandemi.
”Ada juga sajian lainnya, seperti shibotik, buketan, pagi-sore, hingga batik tiga negeri,” katanya.
Tahun ini, dia juga belum ingin berhenti. Selain menawarkan pelatihan dengan protokol kesehatan dan promosi shibotik, dia getol memperkenalkan batik dalam bentuk lain, seperti untuk scraf hingga hiasan dinding. Komar yakin, dengan segala kreativitas, batik tetap bisa menjadi duta bangsa milik Indonesia untuk dunia.
Sejak lama, batik punya peran penting memelihara persahabatan sebagian manusia di dunia ini. Daya kreasi para penjaga pesona pusaka bangsa ini jelas terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja.
Baca juga : Pelestarian Warisan Budaya Jadi Alternatif Pembangunan Berkelanjutan