Puluhan Pekerja Migran Indonesia Korban Penipuan di Kamboja Dievakuasi
Puluhan pekerja migran Indonesia yang menjadi korban penipuan kerja di Kamboja sudah dievakuasi dari tempat kerja mereka. Mereka berharap kasus serupa tidak terulang.
SEMARANG, KOMPAS — Puluhan pekerja migran Indonesia yang menjadi korban penipuan kerja di Kamboja sudah dievakuasi dari tempat kerja mereka. Selanjutnya, mereka akan dipulangkan ke Indonesia. Para pekerja migran itu juga berharap upahnya sepanjang Juli dibayarkan.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dalam konferensi pers daring, Sabtu (30/7/2022) malam, mengatakan, 55 warga negara Indonesia (WNI) yang sebelumnya disekap di Kamboja telah diselamatkan. Sementara itu, lima WNI lainnya sedang diupayakan untuk dievakuasi.
”Sejak menerima informasi mengenai kondisi WNI tersebut, berbagai upaya untuk melakukan evakuasi dan mengamankan para WNI terus dilakukan,” kata Retno.
Retno menyatakan, ke depan harus ada upaya pencegahan yang serius agar tidak ada lagi WNI yang menjadi korban penipuan kerja di luar negeri. Kerja sama lintas negara terkait perlindungan pekerja migran juga terus didorong.
”Kita harus tangani masalah ini dari dan sampai akarnya. Penegakan hukum terhadap para perekrut dalam negeri juga harus dilakukan secara tegas dan kesadaran masyarakat akan modus-modus penipuan perlu diintesifkan. Selain itu, kerja sama lintas negara terkait perlindungan pekerja migran juga terus didorong,” kata Retno.
Baca juga: Tertipu, Pekerja Migran Indonesia di Kamboja Minta Dipulangkan
Sebelumnya diberitakan, sedikitnya 53 pekerja migran asal Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, direkrut kemudian disalurkan secara ilegal oleh agen penyalur kerja abal-abal ke Kamboja. Berbekal paspor wisata, mereka diberangkatkan dari Indonesia pada awal Mei 2022.
Mulanya, mereka dijanjikan bekerja sebagai petugas layanan pelanggan di perusahaan perjudian daring, di hotel, dan di perusahaan investasi dengan gaji mencapai Rp 11,2 juta hingga Rp 14 juta per bulan. Syarat yang diajukan kepada para pekerja itu cukup sederhana, yakni pria atau wanita usia 19-35 tahun, bisa mengoperasikan komputer, dan sudah tiga kali vaksin Covid-19.
Selama di Kamboja, mereka dijanjikan bekerja dari pukul 08.00-17.00 setiap Senin-Sabtu dan libur pada hari Minggu. Selain itu, mereka juga mendapatkan fasilitas penunjang seperti, asrama dan makan gratis sebanyak empat kali sehari.
Sesampainya di Kamboja, tepatnya di Kota Sihanoukville, mereka langsung diserahkan oleh agen penyalur kerja, yang juga merupakan orang Indonesia, kepada para pengelola perusahaan investasi bodong. Di perusahaan itu, para pekerja ditugaskan untuk menipu agar orang-orang mau berinvestasi. Korbannya merupakan orang-orang Indonesia. Para pekerja migran itu merasa diperdaya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah.
Awal bekerja, upah dan jam kerja sesuai dengan yang sudah disepakati. Pada bulan kedua bekerja atau Juni 2022, jam kerja mereka ditambah menjadi pukul 10.00 hingga 24.00 setiap hari tanpa libur. Mereka juga diancam potong gaji hingga Rp 1,4 juta setiap kali mereka terlambat bekerja.
”Sejak saat itu, kekerasan fisik dan verbal mulai kami terima. Teman saya ada yang kepalanya dibenturkan ke tembok karena terlambat bekerja. Teman yang lain dipaksa tetap bekerja meski sedang sakit tifus. Kalau tidak mau disiksa,” kata Gimbal (bukan nama sebenarnya), salah satu pekerja, saat dihubungi, Sabtu malam.
Selain itu, Gimbal menyebut, para pekerja tidak bisa beristirahat dengan layak. Setiap hari mereka baru bisa tidur setelah pukul 02.00 dan harus bangun sebelum pukul 08.00. Hal itu karena mereka harus bergantian menggunakan kamar mandi. Satu kamar mandi dipakai 10-14 orang.
Selama ini, Gimbal dan puluhan pekerja lain tinggal dan bekerja di satu gedung yang sama, hanya berbeda lantai. Awalnya, mereka bebas masuk dan keluar gedung. Sejak bulan kedua bekerja, mereka dilarang keras keluar gedung.
Beberapa hari terakhir, mereka juga diancam akan dijual ke perusahaan lain. Kalau mau keluar dari perusahaan, mereka diharuskan membayar denda Rp 42 juta hingga Rp 70 juta per orang.
Kondisi itu membuat mereka tidak tahan. Mereka kemudian melapor ke sejumlah pihak, termasuk kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Laporan itu kemudian ditindaklanjuti. Perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh di Kamboja bersama dengan kepolisian setempat menjemput para pekerja migran itu, Sabtu siang.
”Sekitar setengah jam sebelum jam istirahat makan siang, tiba-tiba para pengelola perusahaan mengumpulkan kami. Mereka geram dan bertanya siapa yang melaporkan mereka. Kami semua kompak menjawab kami semua yang melaporkan,” ucap Gimbal.
Setelah itu, para pengelola perusahaan meminta agar para pekerja tetap bekerja bersama mereka. Mereka juga berjanji akan menawarkan upah yang lebih besar dan akan memperlakukan mereka dengan baik.
Lagi-lagi, para pekerja kompak menolak. Mereka memilih keluar dari perusahaan itu. Karena menolak, seluruh pekerja diminta mengumpulkan ponsel mereka. Satu per satu, ponsel-ponsel itu disetel ulang. Kondisi itu membuat seluruh data di ponsel-ponsel mereka, termasuk rekaman suara, foto-foto, dan video, terhapus.
Seusai memastikan seluruh ponsel pekerja ”aman”, para pengelola perusahaan membebaskan mereka. Mereka lalu berkemas kemudian dievakuasi satu per satu ke kantor Kepolisian Kota Sihanoukville.
Dari tempat itu, mereka akan dibawa ke Phnom Penh untuk menjalani proses wawancara dengan pihak KBRI. Sebab, para pekerja terindikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Selanjutnya, mereka akan direpratriasi ke Indonesia.
Pembelajaran
Gimbal merasa sangat lega karena ia dan pekerja lain bisa dibebaskan. Ia berharap kasus itu bisa menjadi pembelajaran baginya dan orang-orang di sekitarnya, khususnya para calon pekerja migran, agar lebih berhati-hati.
”Pengalaman ini akan menjadi pembelajaran bagi kami agar lebih berhati-hati ke depannya. Untuk pihak perusahaan kami juga berharap agar gaji kami (sepanjang Juli) yang belum dibayar bisa segera dibayarkan,” imbuh Gimbal.
Sementara itu, Ganjar Pranowo mengaku senang dengan upaya sejumlah pihak yang mengupayakan pembebasan puluhan pekerja migran, yang sebanyak sepuluh orang di antaranya merupakan orang Jateng tersebut. Ganjar juga meminta agarcalon pekerja migran dibekali informasi yang detail sebelum berangkat kerja ke luar negeri.
”Tolong berikan informasi yang detail, tata caranya harus benar. Jangan sampai ada yang tidak lengkap administrasinya, apalagi yang berangkat ilegal,” kata Ganjar.
Baca juga : Situasi Covid-19 Membaik, Peluang Penempatan Pekerja Migran Dijajaki
Dua tahun terakhir, penipuan kerja di perusahaan investasi palsu marak di Kamboja. Rata-rata, informasi lowongan kerja itu disebarkan di media sosial. Sepanjang 2021, KBRI Pnom Penh telah menangani dan memulangkan 119 orang warga negara Indonesia yang menjadi korban investasi palsu di Kamboja.
Pada 2022, jumlah kasus meningkat. Hingga Juli, tercatat 291 warga negara Indonesia menjadi korban investasi palsu di Kamboja. Dari jumlah tersebut, 133 orang dipulangkan ke Indonesia
Kepala Disnakertrans Jateng Sakina Rosellasari meminta masyarakat mewaspadai adanya penipuan bermodus menawarkan kerja dengan syarat mudah dan gaji yang besar. Jika mendapatkan tawaran pekerjaan dari luar negeri, masyarakat perlu aktif mencari tahu apakah perusahaan yang menawarkan lapangan kerja itu terdata di Kementerian Keternagakerjaan atau Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
”Edukasi juga terus kami lakukan kepada para lurah dan kepala desa berikut perangkatnya terkait mekanisme pemberangakatan tenaga kerja sesuai prosedur. Mereka ini nantinya bertugas mengawasi sekaligus mengedukasi masyarakat di sekitarnya supaya tidak ada lagi tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri secara ilegal atau tidak sesuai prosedur,” ujar Sakina.