Tertipu, Pekerja Migran Indonesia di Kamboja Minta Dipulangkan
Pemerintah berupaya memulangkan mereka dan menggencarkan sosialisasi untuk mencegah hal serupa di kemudian hari.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sebanyak 53 pekerja migran asal Indonesia menjadi korban penipuan kerja di Kamboja. Mereka mengaku mendapat kekerasan fisik dan sempat diancam akan dijual. Para pekerja yang disalurkan secara ilegal itu berharap bisa segera dipulangkan ke Indonesia.
Puluhan pekerja yang berasal dari Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur itu berangkat ke Kamboja setelah mendapatkan informasi lowongan pekerjaan dari sebuah pamflet yang diunggah di media sosial. Dalam pamflet tersebut diinformasikan, ada sebuah perusahaan asal Kamboja yang membutuhkan pekerja pada bagian layanan pelanggan.
Persyaratan menjadi pekerja cukup sederhana, yakni pria atau wanita usia 19-35 tahun, bisa mengoperasikan komputer, dan sudah tiga kali vaksin Covid-19. Sementara upah yang ditawarkan cukup menggiurkan, yaitu Rp 11,2 juta-Rp 14 juta per bulan.
Gimbal (bukan nama sebenarnya), salah satu pekerja migran yang menjadi korban penipuan, menuturkan, ia dan para pekerja lain direkrut oleh agen penyalur kerja asal Indonesia yang berkantor di Kamboja. Agen penyalur kerja menjelaskan bahwa Gimbal dan yang lain akan dipekerjakan di sebuah perusahaan perjudian daring, di hotel, dan di perusahaan investasi di kota Sihanoukville.
Mereka dijanjikan bekerja pukul 08.00-17.00 setiap Senin-Sabtu dan libur pada hari Minggu. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan fasilitas penunjang, seperti asrama dan makan gratis sebanyak empat kali sehari.
”Siapa yang tidak tertarik kalau dijanjikan seperti itu? Di Indonesia itu kita sulit mencari pekerjaan dengan gaji setinggi itu, apalagi kami cuma punya ijazah sekolah menengah atas,” kata Gimbal saat dihubungi, Jumat (29/7/2022) malam.
Setelah mengurus paspor, Gimbal dan puluhan orang lainnya langsung dikirimi tiket penerbangan menuju Kamboja. Mereka lantas berangkat pada awal Mei 2022.
Sesampainya di Kamboja, mereka langsung diserahkan kepada sejumlah orang. Orang-orang itu disebut Gimbal merupakan pengelola perusahaan investasi bodong.
”Kami disuruh menipu orang-orang, pokoknya sampai mereka mau berinvestasi di perusahaan. Target penipuannya ini orang-orang dari Indonesia. Jujur, kami tidak tega karena bertentangan dengan nurani kami,” ujarnya.
Gimbal dan yang lain merasa tertipu, tetapi mereka bertahan karena mengaku tidak punya pilihan lain. Mereka pun bekerja sesuai dengan yang diperintahkan pengelola perusahaan tersebut.
Sebulan berjalan, kondisi mereka baik-baik saja. Mereka masih bekerja sesuai dengan jam kerja yang disepakati dan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang dijanjikan. Gaji mereka juga dibayarkan sesuai kesepakatan awal, yakni Rp 11,2 juta-Rp 14 juta.
Selain ditipu, penyiksaan baik secara fisik maupun verbal juga mulai terjadi kepada kami.
Memasuki bulan kedua bekerja atau Juni 2022 kondisi berubah. Jam kerja mereka ditambah, yakni mulai pukul 10.00 hingga 24.00 setiap hari tanpa libur. Gaji mereka akan dipotong hingga Rp 1,4 juta setiap kali mereka terlambat.
Selama ini, mereka bekerja dan tinggal dalam satu gedung, hanya berbeda lantai. Pada bulan pertama bekerja, para pekerja bebas masuk dan keluar gedung. Sejak Juni, mereka dilarang keras keluar gedung.
”Selain ditipu, penyiksaan baik secara fisik maupun verbal juga mulai terjadi kepada kami. Contohnya, ada teman kami yang terlambat masuk kerja satu menit saja, kepalanya dibenturkan ke tembok. Teman lain yang sedang sakit tipes juga dipaksa tetap bekerja, kalau menolak disiksa,” tutur Gimbal.
Menurut Gimbal, ia dan pekerja lain tidak bisa beristirahat dengan layak. Setiap hari, mereka baru bisa tidur pada pukul 02.00 dan harus bangun sebelum pukul 08.00. Sebab, mereka harus mengantre untuk mandi. Satu kamar mandi dipakai oleh 10-14 orang.
”Kami sudah tidak tahan lagi ingin agar segera dibebaskan, syukur-syukur kalau bisa dipulangkan ke Indonesia. Kami takut karena kami diancam akan dijual ke perusahaan lain. Kalau mau keluar dari perusahaan, kami diminta membayar penalti Rp 42 juta-Rp 70 juta per orang,” ucapnya.
Mengadu
Beberapa waktu lalu, salah satu dari pekerja yang menjadi korban penipuan kerja di Kamboja itu mengadu kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melalui media sosial. Aduan itu diteruskan kepada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng.
”Saya sudah memerintahkan Disnakertrans untuk proaktif dan mengecek langsung kondisi para TKI tersebut. Sambil itu, kami juga menyiapkan back up untuk mengamankan mereka. (Kami juga minta) untuk berkomunikasi dengan perusahaannya,” ucap Ganjar.
Ditemui terpisah, Kepala Disnakertrans Jateng Sakina Rosellasari menyebut, pihaknya terus menjalani komunikasi dengan berbagai pihak, mulai dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh di Kamboja, hingga Kepolisian RI untuk membebaskan para pekerja. Selain itu, komunikasi juga dilakukan dengan para pekerja migran yang menjadi korban penipuan tersebut.
”Kebanyakan mereka dalam kondisi sehat. Tapi, ada satu orang yang sakit karena kelelahan bekerja,” kata Sakina.
Berdasarkan informasi yang diterima Sakina dari KBRI Phnom Penh, di Kamboja memang sedang marak penipuan kerja di perusahaan investasi palsu. Kondisi itu semakin parah karena publikasi terkait tawaran kerja di Kamboja menjamur di media sosial.
Sepanjang 2021, KBRI Pnom Penh telah menangani dan memulangkan 119 warga negara Indonesia yang menjadi korban investasi palsu di Kamboja. Pada 2022, jumlah kasus meningkat. Hingga Juli, tercatat 291 warga negara Indonesia menjadi korban investasi palsu di Kamboja. Dari jumlah tersebut, 133 orang dipulangkan ke Indonesia.
Sakina meminta masyarakat mewaspadai adanya penipuan bermodus menawarkan kerja dengan syarat mudah dan gaji yang besar. Jika mendapatkan tawaran pekerjaan dari luar negeri, masyarakat perlu aktif mencari tahu apakah perusahaan yang menawarkan lapangan kerja itu terdata di Kementerian Keternagakerjaan atau Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
”Edukasi juga terus kami lakukan kepada para lurah dan kepala desa berikut perangkatnya terkait mekanisme pemberangakatan tenaga kerja sesuai prosedur. Mereka ini nantinya bertugas mengawasi sekaligus mengedukasi masyarakat di sekitarnya supaya tidak ada lagi tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri secara ilegal atau tidak sesuai prosedur,” ujar Sakina.