Pekerja Migran Tanpa Dokumen, Terlilit Utang dan Hilang Ditelan Lautan
Tujuh bulan terakhir, sedikitnya 37 pekerja migran tanpa dokumen tewas dan 55 lainnya hilang saat menyeberangi Selat Malaka. Bertaruh nyawa ke negeri jiran, mereka pergi mewariskan utang dan kemiskinan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Selasa (21/6/2022) siang, gerimis mengguyur rumah singgah Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Batam, Kepulauan Riau. Cuaca murung itu mengingatkan Sahman (35) dan Amat (41) pada petaka yang terjadi lima hari sebelumnya.
”Waktu itu, saya sudah hilang kesadaran. Cuma kebayang anak dan istri. Enggak ada harapan. Terlambat satu menit saja nelayan itu datang, saya pasti sudah mati,” kata Sahman.
Sahman dan Amat adalah calon pekerja migran Indonesia (PMI) tanpa dokumen yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada Kamis (16/6/2022) malam, mereka dan 28 PMI lain mencoba menyusup ke Malaysia menggunakan perahu dibantu penyelundup dari pesisir Nongsa, Batam.
”Gelap dan gerimis. Enggak kelihatan apa-apa. Dari pantai, kami jalan terus ke arah laut sampai air setinggi pinggang. Dua tekong teriak-teriak (pengemudi perahu) nyuruh kami cepat naik ke perahu,” ujar Sahman.
Saya sebut nama anak, istri, dan ibu untuk pamitan. Sebentar lagi saya bakal mati. (Amat)
Penyelundup itu menggunakan perahu fiber dengan mesin ganda yang masing-masing berdaya 200 tenaga kuda. Perahu itu dapat melaju hingga 80 kilometer per jam. Dengan begitu, mereka bisa mencapai semenanjung Malaysia dalam waktu lebih kurang 1 jam.
Setelah semua naik, perahu dipacu sangat kencang. Naas, baru beberapa menit berlayar, Sahman dan yang lain mendengar bunyi ”krak”. Perahu menghantam sesuatu yang membuat dua mesin perahu rontok. Air pun memenuhi perahu.
Di tengah kepanikan, tekong menghubungi seseorang lewat ponsel. Lalu, dua penyelundup lain datang membawa perahu kayu untuk menolong. Sahman dan Amat serta kawan-kawannya berebut pindah perahu.
Namun, baru beberapa ratus meter berlayar, perahu kayu itu pun akhirnya juga karam kelebihan muatan. Tak ada pelampung di perahu. Semua penumpang berhamburan, tak berdaya diempas ombak Selat Malaka.
Sial bagi Amat. Ia sama sekali tak bisa berenang. Sekuat tenaga ia mencoba berontak menggerakkan kaki dan tangan ke sembarang arah. Namun, air laut terus-menerus masuk ke mulutnya. Tak kuasa, ia menyerah.
”Saya sebut nama anak, istri, dan ibu untuk pamitan. Sebentar lagi saya bakal mati. Setelah itu saya enggak tahu apa yang terjadi,” kata Amat.
Beruntung sungguh. Seorang nelayan melintas di dekat lokasi itu dan mendengar teriakan minta tolong. Amat dan Sahman serta 21 calon PMI lain selamat dari maut. Adapun tujuh orang lainnya belum ditemukan.
Di kampung, Amat bekerja sebagai buruh tani yang menggarap sawah orang lain. Penghasilannya tak lebih dari Rp 2 juta per bulan. Padahal, ia harus menopang hidup dua anak yang masih sekolah dan istri yang sedang sakit.
Suatu hari, seorang tetangga mengenalkan Amat kepada Tohri, calo pekerja migran ilegal. Ia pun tergiur tawaran Tohri untuk bekerja di kebun sawit. Ia bermimpi keluar dari kemiskinan dengan bekerja di Malaysia. ”Saya pinjam uang ke beberapa tetangga Rp 8,8 juta. Uang itu saya kasih ke Pak Tohri untuk biaya berangkat,” kata Amat, menyesal.
Tanpa mengurus paspor dan dokumen kerja, ia berangkat bersama keponakannya, Zohir (21), dan adik iparnya yang bernama Gedur, menuju Batam. Misinya sama, demi memperbaiki nasib keluarga dengan bekerja di negeri jiran.
Zohir selamat dari insiden di perairan Nongsa. Namun, ia mengalami luka-luka di perut akibat terlalu lama memeluk jeriken bensin untuk mengapung setelah perahu mereka tenggelam. Adapun Gedur nasibnya belum diketahui.
Aktivis kemanusiaan di Batam, RD Chrisanctus Paschalis, mengatakan, selama pandemi, daerah asal PMI bermasalah menjadi lebih beragam dari sebelumnya yang terkonsentrasi di Nusa Tenggara dan Jawa. Menurut dia, impitan ekonomi yang semakin berat di masa pandemi membuat banyak orang lebih nekat pergi ke luar negeri dengan segala cara untuk mencari pekerjaan.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, kasus pemberangkatan PMI secara ilegal memang semakin tinggi. Jaringan Safe Migran Batam mencatat, pada 2021 sedikitnya ada 75 kasus perdagangan orang dan buruh migran bermasalah yang terungkap. Ratusan orang dari berbagai daerah menjadi korban.
Dalam catatan Kompas, perairan timur Sumatera menjadi jalur yang paling sering digunakan untuk menyelundupkan PMI ke Malaysia. Dalam tujuh bulan terakhir, sedikitnya ada enam insiden kecelakaan perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen. Total 37 calon PMI tewas dan 55 orang hilang.
Kecelakaan perahu pengangkut PMI tanpa dokumen yang paling parah dalam lima tahun terakhir terjadi pada 15 Desember 2021. Saat itu, perahu pengangkut 64 PMI tenggelam di perairan Johor, Malaysia. Sebanyak 13 orang selamat, 22 meninggal, dan 29 lainnya hilang.
Menyikapi peristiwa naas di Johor itu, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) membentuk tim investigasi yang dipimpin Sekretaris Utama BP2MI Inspektur Jenderal Achmad Kartiko. Sampai saat ini, polisi telah menangkap lima orang terkait peristiwa itu.
Namun, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai, kecelakaan perahu PMI yang terus berulang itu membuktikan aparat belum efektif memberantas sindikat perdagangan orang. Menurut dia, tim investigasi yang dibentuk BP2MI juga tidak mampu mengungkap akar masalah di balik insiden tragis karamnya perahu pengangkut pekerja migran yang terus berulang.
Pekerjaan rumah belum selesai, mengungkap tabir penyelundupan manusia yang berulang. Sebuah upaya yang sebenarnya tak lebih susah daripada memberangus terorisme.